oleh Wahyu B. Prasojo
PengertianKalimat Sirah السيرة berarti perjalanan, jalan, cara madzhab atau thoriqoh[1]. Atau jalan, kelakuan, perikehidupan.[2]
Kamus Al Mu’jam Al Wasith menyebutnya, الحالة التي يكون
عليها الإنسان وغيره.. Keadaan-keadaan yang dilalui
manusia atau yang selainnya. [3] Dalam Al Qur’an disebutkan:
قَالَ خُذْهَا وَلَا
تَخَفْ سَنُعِيدُهَا سِيرَتَهَا الْأُولَى
Peganglah ia dan jangan takut, Kami akan mengembalikannya kepada keadaannya semula. (QS. Thaha : 21)
Ayat ini mengisahkan perintah kepada
Nabi Musa as melempar tongkat yang ada di tangannya, sebagai petunjuk Allah bagi beliau untuk
menghadapi para penyihir Fir’aun. Begitu dilemparkan, tongkat tersebut menjelma
menjadi ular dan mengalahkan sihir ular para penyihir itu. Tetapi hal itu juga membuat Nabi Musa as merasa
ketakutan. Namun Allah Subhanahu wa Ta’ala Memerintahkan Nabi Musa as
untuk kemudian mengambilnya.[4] Kata سِيرَتَهَا /sirataha (keadaannya)
di atas, dinisbatkan kepada (keadaan) tongkat. Bahwa ular tersebut akan
dikembalikan bentuknya oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadi tongkat seperti
sedia kala.[5]
Sedangkan النبوية berarti sesuatu yang
disandarkan kepada nabi, dalam hal ini maksudnya adalah Nabi Muhammad saw. Maka
Sirah Nabawiyah adalah,
وسيرة
النبويّة وكتب السيرة: مأخذوه من سيرة بمعنى الطريقة وأدخل فيها الغزوات وغيرُ
ذلك. يقال قرأت سيرة فلان: أي تاريخ حياته[6]
Adapun sirah nabawiyah dan kitab-kitab Sirah:
Segala sessuatu yang diambil dari perjalanan hidup beliau yang berarti
Thariqah. Serta tercakup di dalamnya peperangan-peperangan dan yang selain itu.
Jika disebutkan seseorang membaca buku sirah fulan, maksudnya ia
sedang membaca sejarah hidupnya.
Jadi Sirah Nabawiyah bisa berarti jalan kenabian, perjalanan hidup Nabi,
perikehidupan Nabi dan semacamnya. Untuk idiom siroh nabawiyah ini dipakai pengertian
thoriqoh, sehingga siroh nabawiyah berarti jalan hidup nabi Muhammad saw. Atau cara
nabi saw menjalani kehidupannya.
Sirah Nabawiyah pada hakikatnya merupakan suatu ungkapan tentang risalah
yang diemban oleh Rasulullah saw kepada masyarakat manusia, untuk mengeluarkan mereka
dari kegelapan menuju cahaya, dari peribadatan kepada makhluq menuju peribadatan
kepada Al Khaliq.[7]
Sirah nabawiyah adalah ilmu yang kompeten yang mengumpulkan apa yang diterima
dari fakta-fakta sejarah kehidupan Nabi Muhammad secara komprehensif dari
sifat-sifatnya, etika dan moral.[8]
Oleh karenanya, mempelajari siroh nabawiyah tidaklah semata-mata untuk mengetahui
rangkaian atau kronologi dari peristiwa-peristiwa sejarah. Ia memiliki tujuan besar yang berkaitan dengan kesempurnaan iman seorang muslim.
Keistimewaan & Urgensi Sirah Nabawiyah
Sirah Nabawiyah sebagai kajian sejarah memiliki fungsi rekreatif yang dapat
memberikan hiburan yang segar. [9]
Musthafa As siba’iy menuliskan bahwa di antara
keistimewaan mengkaji Sirah Nabawiyah adalah para pembacanya akan mendapatkan
kenikmatan ruhiyah (spritual), fikiran dan historis.[10]
Sirah Nabi itu menyuburkan jiwa, membangkitkan semangat, menenangkan fikiran
sekaligus manhaj jalan hidup.[11]
Dengan gaya penulisan yang komunikatif sirah nabawiyah dapat memberikan
kesenangan. Pembaca dapat berekreasi tanpa beranjak dari tempat. Pembaca sirah
nabawiyah juga dapat menyaksikan peristiwa-peristiwa yang telah dilalui oleh
Nabi dan generasi awal orang-orang Islam, di tempat-tempat yang jauh maupun
dekat.
Lebih lanjut Musthafa As Siba’iy menulis tentang keistimewaan Sirah Rasulullah
saw sebagai berikut:
1.
Adalah sebenar-benar sirah dan sejarah nabi dari seluruh nabi
yang pernah diutus.
2.
Menggambarkan dengan sangat jelas kehidupan Rasulullah
saw dalam setiap fase kehidupannya.
3.
Menceritakan sejarahnya seorang manusia
yang dimuliakan dengan risalah kenabian.
4.
Gambaran kesempurnaan kepribadian Rasulullah sebagai manusia dalam wilayah individu maupun sebagai anggota masyarakat.
5.
Dalil
yang tegas akan kebenaran risalah kenabian, tidak ada keraguan di dalamnya. [12]
Tujuan mempelajari Sirah Nabawiyah
Kajian sejarah juga memilliki fungsi Edukatif, [13] yaitu sejarah itu sebagai materi pelajaran. Oleh karenanya, kajian atau
studi sirah nabawiyah merupakan upaya aplikatif yang bertujuan memperjelas hakikat
Islam secara utuh melalui teladannya yang tertinggi yaitu Nabi Muhammad saw.[14] Sehingga kaum muslimin mendapatkan gambaran
Islam yang paripurna yang tercermin dalam kehidupan beliau
saw. Yaitu dengan mengambil ibrah atau pelajaran dari peristiwa-peristiwa masa itu.
لقد
كان لكم في رسول الله أسوة حسنة لمن كان يرجو الله واليوم الآخر وذكر الله كثيرا
Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan
yang baik bagimu, yaitu bagi
orang-orang yang mengharap rahmat Allah
dan hari akhir dan dia banyak berdzikir kepada
Allah.QS.33;21
فآمنوا
بالله ورسوله النبي الأمي الذي يؤمن بالله وكلماته واتبعوه لعلكم تهتدون
…maka berimanlah kamu kepada
Allah dan RasulNya, nabi yang ummi yang
beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimatNya dan ikutilah dia,
supaya kamu mendapat petunjuk. QS.7;158
Tujuan besar ini akan dapat dicapai karena pada kajian sirah itu kita akan
dapat mengenali kepribadian Nabi Muhammad saw sebagai manusia utama pembawa dan
penyiar agama bersama segala seluk-beluk perjuangannya. Di samping tujuan-tujuan
ilmu pengetahuan Islam seperti peningkatan pemahaman Al Qur’an dan pengetahuan-pengetahuan
praktikal Islam, kajian Siroh Nabawiyah akan membantu kita mendapatkan gambaran
bentuk ideal aplikasi aspek-aspek kehidupan dalam skala pribadi dan masyarakat.
Sementara itu, para da’iy dan pembina ummat sekaligus akan dapat menemukan metode yang efektif pembentukan masyarakat ideal itu.[15]
Dalam tujuan Edukatif ini secara akademis, kajian sejarah Islam dan
khususnya Sejarah hidup Nabi bertujuan meluruskan distorsi atau penyimpangan
fakta di dalamnya.[16]
Juga membersihkannya dari pernyataan-pernyataan yang bukan fakta sejarah, yang
sengaja atau tidak telah masuk dalam materi pelajaran dan kajian sejarah Islam.[17]
Mempelajari
sejarah berarti belajar dari pengalaman yang pernah dilakukan masyarakat, baik
pada masa sekarang atau masyarakat sebelumnya. Keberhasilan di masa lampau akan
dapat memberi pengalaman pada masa sekarang. Sebaliknya, kesalahan masyarakat
di masa lampau akan menjadi pelajaran berharga yang harus diwaspadai di masa
kini.
Berbagai kisah sejarah yang terjadi
memberikan inspirasi bagi pembaca atau pendengarnya.[18]
Kisah-kisah perjuangan Nabi dan para sahabatnya yang
membuahkan hasil setelah mengalami banyak kesulitan dan penderitaan, akan
membangkitkan semangat generasi Islam sekarang untuk
berjuang dan percaya kepada hasil yang akan dicapainya. Begitu pula kisah-kisah
kegagalan, memberikan peringatan untuk menghindarinya, mengevaluasi dan
memodifikasinya menjadi keberhasilan. Bahkan bagi para pemerhati reformasi sosial, menjadikan
kisah sejarah ini sebagai inspirasi perjuangan adalah aksioma.[19]
Objek dan Metode Kajian
Sebagai kajian sejarah sirah nabawiyah juga harus dikaji secara
holistic dan integral, dengan cara mengaitkan
factor-faktor yang melingkupi suatu peristiwa. Karena sejarah adalah kejadian, institusi dan pribadi yang mempunyai
signifikansi secara historis, yaitu yang cukup punya pengaruh terhadap orang
lain, kejadian-kejadian lain dan institusi-institusi lain, sehingga membuatnya
bermanfaat untuk diingat.[20] Pengertian ini terkandung dalam
kata history dalam bahasa Inggris yaitu; branch of knowledge dealing
with past events, political, social, economic, of the country, continent
or the world.[21]
Untuk itu peristiwa-peristiwa sejarah mestilah dikaji dengan metodologi sebagai berikut:
1.
Deskriptif: yaitu menggambarkan peristiwa-peristiwa dari
data-data dan bukti-bukti yang ada. Sejauh mana kebenaran dari suatu peristiwa pada masa lampau tergantung kepada validitas bukti-bukti
yang menyokongnya.
2.
Komparatif
:yaitu membandingkan peristiwa sejarah itu dengan realitas
yang lain pada masa yang lebih lampau, pada masa yang bersamaan dan atau pada masa kini.
3.
Analitis
:yaitu upaya untuk memahami
detail-detail hubungan yang ada pada dan sekitar peristiwa sejarah itu.
4.
Ketiga metode
di atas adalah alat untuk membuat Sintesa
:yaitu upaya merumuskan pengetahuan tentang hal-hal berguna.
Selanjutnya
sebagai tulisan
sejarah, maka digunakan pula
metode sejarah yaitu; heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan historiografi.[22]
1.
Heuristik adalah
kegiatan mencari, menemukan dan mengumpulkan sumber data yang terkait dengan
masalah yang sedang diteliti.
2.
Kritik Sumber.
Sumber untuk penulisan sejarah ilmiah bukan sembarang sumber, tetapi
sumber-sumber itu terlebih dahulu harus dinilai melalui kritik ekstern dan
kritik intern. Kritik ekstern menilai, apakah sumber itu benar-benar sumber
yang diperlukan? Apakah sumber itu asli, turunan, atau palsu? Dengan kata lain,
kritik ekstern menilai keakuratan sumber. Sedangkan kritik intern menilai apakah isi yang
terdapat dalam sumber tersebut valid atau tidak. Tujuan utama kritik sumber
adalah untuk menyeleksi data, sehingga diperoleh fakta.
3.
Interpretasi.
Setelah fakta untuk mengungkap dan membahas masalah yang diteliti cukup
memadai, kemudian dilakukan interpretasi, yaitu penafsiran akan makna fakta dan
hubungan antara satu fakta dengan fakta lain.[23]
Penafsiran atas fakta dilakukan agar ditemukan struktur logisnya. Interpretasi
harus mempunyai pijakan yang jelas, untuk menghindari suatu penafsiran yang
semena-mena, akibat dari pemikiran yang sempit.[24]
4.
Historiografi.
Kegiatan terakhir dari penelitian sejarah (metode sejarah) adalah merangkaikan
fakta berikut maknanya secara kronologis/diakronis dan sistematis, menjadikan
tulisan sejarah sebagai kisah. Kedua sifat uraian itu harus benar-benar tampak,
karena kedua hal itu merupakan bagian dari ciri karya sejarah ilmiah, sekaligus
ciri sejarah sebagai ilmu. Selain kedua hal tersebut, penulisan sejarah,
khususnya sejarah yang bersifat ilmiah, juga harus memperhatikan kaidah-kaidah
penulisan karya ilmiah umumnya.
Adapun dewasa ini, historiografi telah menggunakan
pendekatan yang multidimensional, di mana hubungan-hubungan yang terjadi dalam
fakta sejarah dilacak pada struktur masyarakat, pola kelakuan, kecendrungan
proses dalam berbagai bidang dan lain-lain. Juga dijelaskan tentang hubungan
ilmu sejarah dengan ilmu-ilmu social, seperti geografi, ilmu politik, ekonomi,
sosiologi dan anthropologi.[25]
Dengan redaksi kalimat yang berebeda, Ibnu Khaldun
berabad tahun yang lalu menyaratkan bahwa seorang penulis sejarah harus
memiliki pengetahuan yang jelas tentang prinsip-prinsip yang disimpulkan dari kebiasaan, tentang
fakta-fakta politik yang fundamental, tentang watak peradaban, tentang hal
ihwal yangn terjadi dalam kehidupan social manusia.[26]
Kemudian ketika sebuah dekskripsi tentang suatu peristiwa telah ditulis, ia
haruslah diperiksa ulang menggunakan prinsip yang berlaku pada situasi
historis. Kemudian dibandingkan dengan materi-materi yang serupa pada peristiwa-peristiwa sejarah
lainnya. Meyelidikinya dengan ukuran filsafat dan pengetahuan tentang watak
alam semesta.[27]
Sumber-sumber Sirah Nabawiyah
Penulisan sejarah membutuhkan sumber yang beragam
dan pengetahuan yang bermacam-macam. Sumber data adalah subjek dari mana data
itu bisa diperoleh. Untuk studi sirah nabawiyah ada
beberapa macam. Sebagian dapat disebut sebagai sumber primer, seperti Al Qur’an dan hadits-hadits shahih. Sementara yang lain dapat dikategorikan
sebagai sumber sekunder, seperti buku-buku asy syamail (karakteristik
nabi) dan dalail (bukti-bukti kenabian), juga buku-buku yang membahas sirah
nabawiyah secara khusus. Yang belakangan ini merupakan karya sejarah yang
merupakan hasil kajian terhadap sumber-sumber primer seperti hadits-hadits
shahih. Selain itu dapat pula menggunakan buku-buku sejarah secara umum[28] dengan kritik yang ketat.
1. Al Qur’an Al Karim
Sumber asasi bagi kajian siroh nabawiyah adalah Al Qur’an.[29] Dalam
Al Qur’an kita menjumpai referensi-referensi tentang peristiwa tertentu dalam kehidupan Nabi saw. Dalam hal ini Al Qur’an melakukannya dengan dua cara;
yang pertama dengan mengungkapkan sebagian dari peristiwa dalam kehidupan Nabi saw[30].
Misalnya tentang masa kecil Rasulullah
yang yatim.
أَلَمۡ يَجِدۡكَ
يَتِيما فََٔاوَىٰ ٦
Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim,
lalu Dia melindungimu.(Adh Dhuha 6).
Juga tentang kesulitan-kesulitan
yang dialami Nabi dalam berdakwah, tentang hijrah Nabi dan kaum muslimin, perjanjian-perjanjian, dan beberapa peperangan. Al Quran menyebutkan sebuah episode dalam
gerakan hijrah, yaitu ketika Nabi dan Abu Bakar bersembunyi di gua Tsur.
إِلَّا
تَنْصُرُوهُ فَقَدْ نَصَرَهُ اللَّهُ إِذْ أَخْرَجَهُ الَّذِينَ كَفَرُوا ثَانِيَ
اثْنَيْنِ إِذْ هُمَا فِي الْغَارِ إِذْ يَقُولُ لِصَاحِبِهِ لَا تَحْزَنْ إِنَّ
اللَّهَ مَعَنَا فَأَنْزَلَ اللَّهُ سَكِينَتَهُ عَلَيْهِ وَأَيَّدَهُ بِجُنُودٍ
لَمْ تَرَوْهَا وَجَعَلَ كَلِمَةَ الَّذِينَ كَفَرُوا السُّفْلَى وَكَلِمَةُ
اللَّهِ هِيَ الْعُلْيَا وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Jikalau kamu tidak menolongnya maka sesungguhnya Allah telah menolongnya
(yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Mekah) mengeluarkannya (dari Mekah)
sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di
waktu dia berkata kepada temannya: "Janganlah kamu berduka cita,
sesungguhnya Allah beserta kita." Maka Allah menurunkan ketenangan-Nya
kepada dan membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya, dan Allah
menjadikan seruan orang-orang kafir itulah yang rendah. Dan kalimat Allah
itulah yang tinggi. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (At Taubah ayat 40).
Abu Ja’far Ath Thabary mengatakan bahwa yang dimaksud dua orang di dalam
gua adalah Nabi Muhammad dan Abu Bakar.[31]
Kedua; dengan cara mengomentari kasus-kasus atau peristiwa-peristiwa yang
terjadi untuk memecahkan masalah-masalah yang terjadi, atau mengungkapkan masalah
yang belum jelas atau untuk menarik perhatian kaum muslimin kepada pelajaran
yang dikandungnya.[32] Misalnya pertanyaan pasukan Nabi tentang
harta rampasan perang pasca pertempuran di Badar. Dalam surat Al Anfal ayat 1,
diceritakan,
يَسْأَلُونَكَ
عَنِ الْأَنْفَالِ قُلِ الْأَنْفَالُ لِلَّهِ وَالرَّسُولِ فَاتَّقُوا اللَّهَ
وَأَصْلِحُوا ذَاتَ بَيْنِكُمْ وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنْ كُنْتُمْ
مُؤْمِنِينَ
Mereka menanyakan kepadamu tentang (pembagian)
harta rampasan perang. Katakanlah: "Harta rampasan perang itu kepunyaan
Allah dan Rasul, sebab itu bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah perhubungan
di antara sesamamu, dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu adalah
orang-orang yang beriman".
Contoh lainnya, Al Qur’an menjelaskan tentang pertanyaan para sahabat
tentang haidh, yang mana pada masa jahiliyah orang-orang mengeluarkan kaum
perempuan mereka yang sedang haidh dari rumah.[33] Sementara Al Qur’an hanya
melarang kaum lelaki mendekati isteri-isteri mereka secara seksual, tanpa harus
menempatkan mereka di luar rumah tempat tinggalnya.
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ
الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلَا
تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ
أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ
الْمُتَطَهِّرِينَ
Mereka bertanya kepadamu tentang haid.
Katakanlah: "Haid itu adalah kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu
menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka,
sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di
tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.(Al Baqarah 222)
Contoh lainnya,
يَسْأَلُونَكَ عَنِ
الشَّهْرِ الْحَرَامِ قِتَالٍ فِيهِ قُلْ قِتَالٌ فِيهِ كَبِيرٌ وَصَدٌّ عَنْ
سَبِيلِ اللَّهِ وَكُفْرٌ بِهِ وَالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَإِخْرَاجُ أَهْلِهِ
مِنْهُ أَكْبَرُ عِنْدَ اللَّهِ وَالْفِتْنَةُ أَكْبَرُ مِنَ الْقَتْلِ وَلَا
يَزَالُونَ يُقَاتِلُونَكُمْ حَتَّى يَرُدُّوكُمْ عَنْ دِينِكُمْ إِنِ
اسْتَطَاعُوا وَمَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ
فَأُولَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَأُولَئِكَ
أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah:
"Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia)
dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidilharam dan
mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan
berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh. Mereka tidak
henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari
agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barang siapa yang murtad
di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah
yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni
neraka, mereka kekal di dalamnya. (Al Baqarah 217)
Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim, Ath Thabrani dalam Mu’jamul Kabir dan Bayhaqi
dalam sunannya, meriwayatkan dari Jundub bin Abdullah bahwa Rasulullah mengutus
beberapa lelaki dipimpin oleh Abdullah bin Jahsy. Dalam perjalanan mereka
bertemu dengan Ibnul Hadrami, lalu membunuhnya. Mereka tidak tahu bahwa ketika
itu adalah bulan Rajab atau Jumadil. Maka
orang-orang musyrik berkata, ‘Kalian membunuh pada bulan haram.’ Maka turunlah
ayat ke 217. Kemudian sebagian dari mereka berkata, ‘Jika mereka mendapatkan
dosa karena melakukan hal itu, maka mereka juga tidak mendapat pahala. Maka
turunlah ayat 218.[34] Yang menjelaskan bahwa pasukan Abdullah bin
Jahsy itu mendapatkan ampunan dari Allah.
Al Qur’an dapat dipercaya sebagai sumber Sirah Nabawiyah karena ia adalah
sumber yang sangat terjaga orisinalitasnya. Para ahli menyebutkan bahwa ia
diriwayatkan dari generasi ke generasi orang-orang Islam secara mutawatir.[35]
Artinya setiap kata, kalimat dan ayat-ayatnya sebelum dituliskan dalam mushaf,
terlebih dahulu mendapatkan konfirmasi yang luas, sejak awal ia dikodifikasi
oleh para sahabat Nabi saw yang berkompeten dalam masalah ini, hingga masa-masa
setelah mereka dan seterusnya. Maka Al Qur’an dapat dipastikan menyediakan
keterangan yang akurat dan
valid tentang suatu peristiwa dalam sejarah Nabi saw. Meski demikian, Al Qur’an
tidak menggambarkan peristiwa-peristiwa sejarah hidup Nabi dengan rinci. Sehingga
diperlukan sumber lain untuk mendapatkan gambaran yang utuh.
2. Hadits
Sumber asasi yang kedua adalah hadits-hadits shahih yang terkandung dalam kitab-kitab
Imam Hadits yang terkenal jujur dan amanah, yaitu Kutubussittah, Muwaththa’
Imam Malik dan Musnad Imam Ahmad. Hadits sangat penting dalam kajian sirah,
karena hadits menguraikan keyakinan dan perilaku
Islam. Gambaran utuh tentang
sejarah Islam dan Sirah Nabawiyah tidak dapat dibangun tanpa pengetahuan yang memadai tentang hadits dan hal-hal
yang berhubungan dengan praktek adminstrasi, ekonomi, social dan cultural pada zaman Nabi
saw.
Sebagai sumber data sejarah, sumber-sumber hadits ini lebih luas dan lebih rinci
dari pada sumber Al Qur’an. Contohnya hadits yang menjelaskan peristiwa goa
Tsur.
حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ مُوسَى، أَخْبَرَنَا
هِشَامٌ، عَنْ مَعْمَرٍ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ، عَنْ
عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا: " وَاسْتَأْجَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَأَبُو بَكْرٍ رَجُلًا مِنْ بَنِي الدِّيلِ، ثُمَّ مِنْ
بَنِي عَبْدِ بْنِ عَدِيٍّ هَادِيًا خِرِّيتًا - الخِرِّيتُ: المَاهِرُ
بِالهِدَايَةِ - قَدْ غَمَسَ يَمِينَ حِلْفٍ فِي آلِ العَاصِ بْنِ وَائِلٍ، وَهُوَ
عَلَى دِينِ كُفَّارِ قُرَيْشٍ، فَأَمِنَاهُ فَدَفَعَا إِلَيْهِ رَاحِلَتَيْهِمَا،
وَوَاعَدَاهُ غَارَ ثَوْرٍ بَعْدَ ثَلاَثِ لَيَالٍ، فَأَتَاهُمَا
بِرَاحِلَتَيْهِمَا صَبِيحَةَ لَيَالٍ ثَلاَثٍ، فَارْتَحَلاَ وَانْطَلَقَ
مَعَهُمَا عَامِرُ بْنُ فُهَيْرَةَ، وَالدَّلِيلُ الدِّيلِيُّ، فَأَخَذَ بِهِمْ
أَسْفَلَ مَكَّةَ وَهُوَ طَرِيقُ السَّاحِلِ "[36]
Hadits ini menceritakan lebih detail tentang peristiwa berdiamnya Rasul dan
Abu Bakar di goa Tsur. Dalam perjalanan hijrahnya Rasulullah dan Abu Bakar
menyewa seorang lelaki dari Bani ad Diil, kemudian seorang dari Bani Abdi bin
Ady, seorang lelaki yang ahli menunjukkan jalan, lelaki itu masih beragama
orang-orang Quraisy, ia dapat dipercaya untuk menunjukkan jalan bagi keduanya
dengan menerima upah. Kemudian ia diminta untuk datang ke goa Tsur 3 hari. Maka
ia mengantarkan Nabi dan Abu Bakar pada pagi hari malam ketiga. Bersama mereka
kemudian ada Amir bin Fuhayra dan penunjuk jalan dari Bani ad Dail. Kelompok
kecil itu memilih jalur dibagian selatan
kota Mekkah, yang lebih aman.
Namun demikian,
hadits-hadits belum tersusun menurut kronologi peristiwa yang dilalui oleh Nabi
saw. Hal ini terjadi karena dua hal. Yang pertama karena sebagian besar kitab-kitab hadits itu disusun
berdasarkan pembahasan bab-bab persoalan aqidah, fiqih, atau
pengetahuan-pengetahuan Islam secara umum. Sehingga penjelasan yang berkaitan dengan
sejarah Nabi tersebar di berbagai tempat di antara penjelasan-penjelasan masalah
fiqih. Yang kedua, ketika menghimpun hadits, para Imam Hadits tidak mencatat peristiwa
sejarahnya secara khusus dan terpisah, melainkan hanya mencatat keterangan yang
dapat menjelaskan dalil bagi suatu hukum syari’ah atau ketenetuan fiqih.[37] Misalnya, hadits-hadits Ahkam menjelaskan masalah-masalah ibadah dan peraturan-peraturan seperti puasa, shalat, zakat, haji, system politik, social dan administrasi.[38]
Termasuk dalam sumber hadits adalah kitab-kitab hadits yang isinya merupakan
kumpulan hadits yang khusus membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan Nabi
saw, seperti bukti-bukti kenabian yang disebut dalail, dan sifat-sifat
Nabi saw yang disebut syamail. Seperti Kitab Syamail Muhammadiyah, karya At Tirmudzy.[39] Kitab ini
mengumpulkan hadits-hadits perihal kepribadian Nabi Muhammad. Mulai ciri-ciri
fisik, tata perilakunya, sampai barang-barang peninggalannya yang terbagi dalam
56 bab. Ibnul Atsir menyebutkan dalam Kitab Tarikhnya, bahwa Kitab
ini adalah Jami’ (kumpulan hadits) yang hebat dan sebaik-baik kitab.[40]
At Turmudzy sendiri adalah ulama terpercaya. Sam’any dalam Al Ansab
menyebutnya sebagai Imam pada zamannya dan tiada yang seperti dia. Adz Dzahaby
dalam Al Mizan menyebutnya Hafidz Alim, Pemilik Al Jami’ (Kumpulan Hadits) dan
Tsiqah (terpercaya) apa-apa yang dikumpulkannya.[41] Bahkan Bukhary pernah berkata padanya, apa
yang engkau hasilkan lebih bermanfaat dari apa yang aku hasilkan.[42]
3. Kitab-Kitab Tarikh dan Sirah Nabawiyah
Dapat juga ditelusuri kitab-kitab sirah rujukan seperti, Siroh Ibnu Hisyam,
karya Abu Muhammad Abdul Malik bin Ayyub al Hamiry (w. 213 atau 218 H). Ibnu Hisyam
menghimpun kitab sirohnya dari Al Maghazi dan As Siyarnya Ibnu Ishaq.[43] Ia mereduksi israililiyat dan syair-syair
dari sirah Ibnu Ishaq. Kemudian menambahkan berbagai informasi tentang bahasa dan
genealogi (silsilah). Kitab ini diterima oleh mayoritas ulama.[44] Buku ini menjadi rujukan bagi penulis-penulis
siroh setelahnya.
Yang lainnya, Thabaqat Ibnu Sa’ad, karya Muhammad bin Sa’ad bin Munii’
AzZuhriy (lahir di Bashrah tahun 168 dan wafat di Baghdad pada 230 H). Dia adalah
sekretaris Muhammad bin Umar Al Waqidiy (130-207H), Sejarawan terkenal dalam kajian
peperangan dan sirah.[45]
Kemudian yang ketiga adalah Tarikh Rusul wal Muluk, karya Abu Ja’far
Muhammad bin Jariir ath Thabari (223-310H). Buku ini tidak khusus membicarakan sirah
Rasulullah saw saja, melainkan sejarah ummat terdahulu, tokoh-tokoh penting dalam
sejarah sampai kepada negeri-negeri Islam sampai menjelang kewafatannya.[46] Tetapi bagian pertama buku ini berbicara
tentang siroh Nabi Muhammad saw. Thabari merupakan ulama yang dapat dipercaya. Ia
banyak mendasarkan kajian kepada karya Ibnu Ishaq. Metodenya bukan kritik riwayat
untuk membedakan antara yang shahih dan yang dha’if, tapi membiarkan para pembaca
menilai sendiri mana yang lebih akurat.[47] Ia mengutip pendapat banyak kalangan, bahkan
yang memiliki perbedaan pendapat yang relative ekstrim. Bahkan ia juga mengutip
dari Abi Makhnaf, seorang syi’ah.[48]
Daftar Pustaka
Al Bukhary, Muhammad bin Ismail Abu Abdullah Al Ja’fy, Shahih Bukhary,
Daar at Tuuqa an Najah, 1422.
Al Buthy, Muhammad Sa’id Ramadhan, Sirah Nabawiyah, Analisis Ilmiah Manhajiyah terhadap
Sejarah Pergerakan Islam di Masa Rasulullah saw,terjemahan, (Jakarta,
Robbani Press, 1993.
Hariyono, Mempelajari Sejarah Secara Efektif, Dunia Pustaka Jaya, Jakarta, 1995.
Al Hasyimy, Abid Tawfiq, Thuruq Tadris At Tarbiyah Al Islamiyah,
Muasasah Risalah, Beyrut, 1414.
Hornby, A.S.,
etc, The Advanced Learner’s Dictionary of Current English, Oxford
University Press, 1973.
Mahmud, Abdul Halim, Metodologi Studi Islam, terjemahan,
Islahy Press, Jakarta, tt.
Al Mubarakfury, Shafiyyurahman, ArRahiiq Al Makhtum, terjemahan, Jakarta;
Robbani Press, 2002.
Munawwir, Ahmad Warson, Kamus Al Munawwir, Surabaya; Pustaka Progressif,
1997.
Musthafa, Ibrahim et,all, Al Mu’jam Al
Wasith, Istambul, Makatabah Islamiyah, 1972.
As Siba’iy, Musthafa, Siroh Nabawiyah,
Durus wal Ibar, Darul Kutub Arabiyah, Damaskus, 1972.
_________, Shirah Nabawiyah, terjemahan,
Abdur Rohim Mukti, Indiva, Surakarta 2014.
As Suyuthy, Jalaludin, Al Lubab an Nuqul fii Azbab an Nuzul, Darul
Kutub Ilmiyah, Beyrut, tt.
Thabari, Muhammad bin Jarir bin Zayd bin Katsir bin Ghalib Abu Ja’far, Jami’ul
Bayan fii Ta’wil Al Qur’an, Mu’asasah Risalah, 2000.
Tjandrasasmita,
Uka, Naskah
Klasik dan Penerapannya Bagi Kajian Sejarah Islam di Indonesia,
Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementrian
Agama RI, 2012.
Umari,
Akram Dhiyauddin, Masyarakat Madani, Tinjauan Historis Zaman Nabi, terjemahan, Jakarta: Gema Insani
Press 1999.
Yunus, Mahmud, Kamus Arab Indonesia, Jakarta, Mahmud Yunus wa
Dzurriyah, 1998.
Sumber Internet :
Wikipedia, waktu akses 8 Januari 2020, 11;25 wib.
[1] Ahmad Warson Munawwir,
Kamus Al Munawwir, Surabaya; Pustaka Progressif,
1997, hal.684.
[2] Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Jakarta, Mahmud Yunus wa
Dzurriyah, 1998, hlm.187.
[3] Ibrahim Musthafa et,all, Al Mu’jam Al Wasith, Istambul,
Makatabah Islamiyah, 1972. hlm.467.
[4] Muhammad bin Jarir bin Zayd bin Katsir bin Ghalib Abu Ja’far
Thabari, Jami’ul Bayan fii Ta’wil Al Qur’an, (Mu’asasah Risalah,
2000), Juz 18, hlm.295.
[5] Ibid, Juz 18, hlm.296.
[6] Ibrahim Musthafa et,all, loc.cit, hlm.467.
[7] Shafiyyurahman
Al Mubarakfury, ArRahiiq Al Makhtum, terjemahan (Jakarta; Robbani
Press, 2002, hal.1)
[8]
Wikipedia, waktu akses 8
Januari 2020, 11;25 wib.
[9]
Hariyono, Mempelajari Sejarah Secara Efektif, Dunia Pustaka Jaya, Jakarta, 1995, hal.195.
[10]
Musthafa As Siba’iy, Shirah Nabawiyah, terjemahan,
Abdur Rohim Mukti, Indiva, Surakarta 2014, hlm.13.
[11] Abid Tawfiq Al Hasyimy, Thuruq Tadris At Tarbiyah Al Islamiyah,
Muasasah Risalah, Beyrut, 1414, hlm.308.
[12] Musthafa
As Siba’iy, Siroh Nabawiyah, Durus wal Ibar, Darul Kutub Arabiyah,
Damaskus, 1972, hlm.13-22.
[13] Hariyono, op.cit, hal. 192.
[14] Muhammad
Sa’id Ramadhan Al Buthy, Sirah Nabawiyah, Analisis Ilmiah Manhajiyah terhadap Sejarah Pergerakan Islam di Masa Rasulullah saw,terjemahan, (Jakarta, Robbani Press, 1993, hal.3)
[15]Al Buthy, ibid, hal.5.
[16] Abdul Halim Mahmud, Metodologi Studi Islam, terjemahan,
Islahy Press, Jakarta, hlm.18.
[17] Abdul Halim Mahmud, ibid, hlm.22.
[18] Hariyono, op.cit, hal. 193.
[19]
Musthafa As
Siba’iy,loc.cit, hlm.13
[20] Hariyono,
op.cit, hal.88.
[21] A.S.
Hornby, etc, The Advanced Learner’s Dictionary of Current English,
Oxford University Press, 1973, p. 469.
[22] Hariyono, op.cit, hal 109.
[23]Uka Tjandrasasmita, Naskah Klasik dan
Penerapannya Bagi Kajian Sejarah Islam di Indonesia, Puslitbang Lektur
dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI, 2012,
hal.32.
[24] Hariyono, loc.cit, hal. 110.
[25] Uka Tjandrasasmita, op.cit,
hal.35.
[26] Ibnu Khaldun, op.cit, hal 12.
[27] Ibnu Khaldun, ibid, hal.13.
[28] Akram Dhiyauddin Umari, Masyarakat Madani,
Tinjauan Historis Zaman Nabi, terjemahan,
(Jakarta: Gema Insani Press 1999), hal. 43.
[29] Musthafa
as Sibaiy, op.cit, hlm.25.
[30] Ramadhan
Al Buthy, op.cit, hal.6.
[31] Abu Ja’far Ath Tabary, op.cit, Juz 14, hlm.257.
[32]Ramadhan Al
Buthy, ibid, hal.6.
[33] Ath Thabary, op.cit, Juz 4, hlm.373.
[34] Jalaludin As Suyuthy, Al Lubab an Nuqul fii Azbab an Nuzul, Darul
Kutub Ilmiyah, Beyrut, tt, Juz 1, hlm.31.
[35] Mutawatir adalah level sebuah riwayat yang disampaikan oleh banyak orang
yang dinilai orang-orang itu tidak mungkin bersepakat untuk berbohong. Pada
dasarnya semua redaksi Al Qur’an diriwayatkan oleh banyak sekali orang,
demikian pula cara membacanya.
[36] Muhammad bin Ismail Abu Abdullah Al Bukhary Al Ja’fy, Shahih Bukhary,
Daar at Tuuqa an Najah, 1422, Juz 3, hlm.88.
[37] Ramadhan
Al Buthy, op.cit, hal.7
[38] Akram Dhiyauddin Umari,
op.cit, hal.46.
[39] Dia adalah Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah bin Musa bin Adh Dhahak As Sulamy (209-279 H)
[40] Muhammad Al Muntaqy Al Kasnawy, Pengantar untuk Kitab Syamail Muhammadiyah At Turmudzy, Juz 1, hlm.13.
[41] Muhammad Al Muntaqy Al Kasnawy, ibid, hlm.7.
[42] Muhammad Al Muntaqy Al Kasnawy, ibid, hlm.8.
[43]Ramadhan Al
Buthy, ibid, hal. 9.
[44]Akram Dhiyauddin Umari,
op.cit, hal.55.
[45]Musthafa as Sibaiy, op.cit, hal.31
[46]Musthafa as
Sibaiy, ibid, hal.32.
[47]Akram Dhiyauddin Umari,
op.cit, hal.57.
[48]Musthafa as
Sibaiy, op.cit, hal.32.