Siroh Nabawiyah Sebagai Kajian Sejarah - Saungpikir

Tuesday, August 17, 2021

Siroh Nabawiyah Sebagai Kajian Sejarah

 oleh Wahyu B. Prasojo

Pengertian

Kalimat Sirah السيرة berarti perjalanan, jalan, cara madzhab atau thoriqoh[1]. Atau jalan, kelakuan, perikehidupan.[2] Kamus Al Mu’jam Al Wasith menyebutnya, الحالة التي يكون عليها الإنسان وغيره.. Keadaan-keadaan yang dilalui manusia atau yang selainnya. [3]  Dalam Al Qur’an disebutkan:

قَالَ خُذْهَا وَلَا تَخَفْ سَنُعِيدُهَا سِيرَتَهَا الْأُولَى

Peganglah ia dan jangan takut, Kami akan mengembalikannya kepada keadaannya semula. (QS. Thaha : 21)

Ayat ini mengisahkan perintah kepada Nabi Musa as  melempar tongkat yang ada di tangannya, sebagai petunjuk Allah bagi beliau untuk menghadapi para penyihir Fir’aun.  Begitu dilemparkan, tongkat tersebut menjelma menjadi ular dan mengalahkan sihir ular para penyihir itu. Tetapi hal itu juga membuat Nabi Musa as merasa ketakutan. Namun Allah Subhanahu wa Ta’ala Memerintahkan Nabi Musa as untuk kemudian mengambilnya.[4] Kata سِيرَتَهَا /sirataha (keadaannya) di atas, dinisbatkan kepada (keadaan) tongkat. Bahwa ular tersebut akan dikembalikan bentuknya oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadi tongkat seperti sedia kala.[5]

Sedangkan النبوية berarti sesuatu yang disandarkan kepada nabi, dalam hal ini maksudnya adalah Nabi Muhammad saw. Maka Sirah Nabawiyah adalah,

وسيرة النبويّة وكتب السيرة: مأخذوه من سيرة بمعنى الطريقة وأدخل فيها الغزوات وغيرُ ذلك. يقال قرأت سيرة فلان: أي تاريخ حياته[6]

Adapun sirah nabawiyah dan kitab-kitab Sirah: Segala sessuatu yang diambil dari perjalanan hidup beliau yang berarti Thariqah. Serta tercakup di dalamnya peperangan-peperangan dan yang selain itu. Jika disebutkan seseorang membaca buku sirah fulan, maksudnya ia sedang membaca sejarah hidupnya.

 

Jadi Sirah Nabawiyah bisa berarti jalan kenabian, perjalanan hidup Nabi, perikehidupan Nabi dan semacamnya. Untuk idiom siroh nabawiyah ini dipakai pengertian thoriqoh, sehingga siroh nabawiyah berarti jalan hidup nabi Muhammad saw. Atau cara nabi saw menjalani kehidupannya.

Sirah Nabawiyah pada hakikatnya merupakan suatu ungkapan tentang risalah yang diemban oleh Rasulullah saw kepada masyarakat manusia, untuk mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya, dari peribadatan kepada makhluq menuju peribadatan kepada Al Khaliq.[7]

Sirah nabawiyah adalah ilmu yang kompeten yang mengumpulkan apa yang diterima dari fakta-fakta sejarah kehidupan Nabi Muhammad secara komprehensif dari sifat-sifatnya, etika dan moral.[8]

Oleh karenanya, mempelajari siroh nabawiyah tidaklah semata-mata untuk mengetahui rangkaian atau kronologi dari peristiwa-peristiwa sejarah. Ia memiliki tujuan besar yang berkaitan dengan kesempurnaan iman seorang muslim.

Keistimewaan & Urgensi Sirah Nabawiyah

Sirah Nabawiyah sebagai kajian sejarah memiliki fungsi rekreatif yang dapat memberikan hiburan yang segar. [9] Musthafa As siba’iy menuliskan bahwa di antara keistimewaan mengkaji Sirah Nabawiyah adalah para pembacanya akan mendapatkan kenikmatan ruhiyah (spritual), fikiran dan historis.[10] Sirah Nabi itu menyuburkan jiwa, membangkitkan semangat, menenangkan fikiran sekaligus manhaj jalan hidup.[11] Dengan gaya penulisan yang komunikatif sirah nabawiyah dapat memberikan kesenangan. Pembaca dapat berekreasi tanpa beranjak dari tempat. Pembaca sirah nabawiyah juga dapat menyaksikan peristiwa-peristiwa yang telah dilalui oleh Nabi dan generasi awal orang-orang Islam, di tempat-tempat yang jauh maupun dekat.

Lebih lanjut Musthafa As Siba’iy menulis tentang keistimewaan Sirah Rasulullah saw sebagai berikut:

1.      Adalah sebenar-benar sirah dan sejarah nabi dari seluruh nabi yang pernah diutus.

2.      Menggambarkan dengan sangat jelas kehidupan Rasulullah saw dalam setiap fase kehidupannya.

3.      Menceritakan sejarahnya seorang manusia yang dimuliakan dengan risalah kenabian.

4.      Gambaran kesempurnaan kepribadian Rasulullah sebagai manusia dalam wilayah individu maupun sebagai anggota masyarakat.

5.       Dalil yang tegas akan kebenaran risalah kenabian, tidak ada keraguan di dalamnya. [12]

Tujuan mempelajari Sirah Nabawiyah

Kajian sejarah juga memilliki fungsi Edukatif, [13]  yaitu sejarah itu sebagai materi pelajaran. Oleh karenanya, kajian atau studi sirah nabawiyah merupakan upaya aplikatif yang bertujuan memperjelas hakikat Islam secara utuh melalui teladannya yang tertinggi yaitu Nabi Muhammad saw.[14] Sehingga kaum muslimin mendapatkan gambaran Islam yang paripurna yang tercermin dalam kehidupan beliau saw. Yaitu dengan mengambil ibrah atau pelajaran dari peristiwa-peristiwa masa itu.

لقد كان لكم في رسول الله أسوة حسنة لمن كان يرجو الله واليوم الآخر وذكر الله كثيرا

Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang-orang yang mengharap rahmat Allah dan hari akhir dan dia banyak berdzikir kepada Allah.QS.33;21

فآمنوا بالله ورسوله النبي الأمي الذي يؤمن بالله وكلماته واتبعوه لعلكم تهتدون

…maka berimanlah kamu kepada Allah dan RasulNya, nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimatNya dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk. QS.7;158

Tujuan besar ini akan dapat dicapai karena pada kajian sirah itu kita akan dapat mengenali kepribadian Nabi Muhammad saw sebagai manusia utama pembawa dan penyiar agama bersama segala seluk-beluk perjuangannya. Di samping tujuan-tujuan ilmu pengetahuan Islam seperti peningkatan pemahaman Al Qur’an dan pengetahuan-pengetahuan praktikal Islam, kajian Siroh Nabawiyah akan membantu kita mendapatkan gambaran bentuk ideal aplikasi aspek-aspek kehidupan dalam skala pribadi dan masyarakat. Sementara itu, para da’iy dan pembina ummat sekaligus akan dapat menemukan metode yang efektif pembentukan masyarakat ideal itu.[15]

Dalam tujuan Edukatif ini secara akademis, kajian sejarah Islam dan khususnya Sejarah hidup Nabi bertujuan meluruskan distorsi atau penyimpangan fakta di dalamnya.[16] Juga membersihkannya dari pernyataan-pernyataan yang bukan fakta sejarah, yang sengaja atau tidak telah masuk dalam materi pelajaran dan kajian sejarah Islam.[17]

Mempelajari sejarah berarti belajar dari pengalaman yang pernah dilakukan masyarakat, baik pada masa sekarang atau masyarakat sebelumnya. Keberhasilan di masa lampau akan dapat memberi pengalaman pada masa sekarang. Sebaliknya, kesalahan masyarakat di masa lampau akan menjadi pelajaran berharga yang harus diwaspadai di masa kini.

Berbagai kisah sejarah yang terjadi memberikan inspirasi bagi pembaca atau pendengarnya.[18] Kisah-kisah perjuangan Nabi dan para sahabatnya yang membuahkan hasil setelah mengalami banyak kesulitan dan penderitaan, akan membangkitkan semangat generasi Islam sekarang untuk berjuang dan percaya kepada hasil yang akan dicapainya. Begitu pula kisah-kisah kegagalan, memberikan peringatan untuk menghindarinya, mengevaluasi dan memodifikasinya menjadi keberhasilan. Bahkan bagi para pemerhati reformasi sosial, menjadikan kisah sejarah ini sebagai inspirasi perjuangan adalah aksioma.[19]

Objek dan Metode Kajian

Sebagai kajian sejarah sirah nabawiyah juga harus dikaji secara holistic dan integral, dengan cara mengaitkan factor-faktor yang melingkupi suatu peristiwa. Karena sejarah adalah kejadian, institusi dan pribadi yang mempunyai signifikansi secara historis, yaitu yang cukup punya pengaruh terhadap orang lain, kejadian-kejadian lain dan institusi-institusi lain, sehingga membuatnya bermanfaat untuk diingat.[20] Pengertian ini terkandung dalam kata history dalam bahasa Inggris yaitu; branch of knowledge dealing with past events, political, social, economic, of the country, continent or the world.[21]

Untuk itu peristiwa-peristiwa sejarah mestilah dikaji dengan metodologi sebagai berikut:

1.      Deskriptif: yaitu menggambarkan peristiwa-peristiwa dari data-data dan bukti-bukti yang ada. Sejauh mana kebenaran dari suatu peristiwa pada masa lampau tergantung kepada validitas bukti-bukti yang menyokongnya.

2.      Komparatif :yaitu membandingkan peristiwa sejarah itu dengan realitas yang lain pada masa yang lebih lampau, pada masa yang bersamaan dan atau pada masa kini.

3.      Analitis :yaitu upaya untuk memahami detail-detail hubungan yang ada pada dan sekitar peristiwa sejarah itu.

4.      Ketiga metode di atas adalah alat untuk membuat Sintesa :yaitu upaya merumuskan pengetahuan tentang hal-hal berguna.

Selanjutnya sebagai tulisan sejarah, maka digunakan pula metode sejarah yaitu; heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan historiografi.[22]

1.      Heuristik adalah kegiatan mencari, menemukan dan mengumpulkan sumber data yang terkait dengan masalah yang sedang diteliti.

2.      Kritik Sumber. Sumber untuk penulisan sejarah ilmiah bukan sembarang sumber, tetapi sumber-sumber itu terlebih dahulu harus dinilai melalui kritik ekstern dan kritik intern. Kritik ekstern menilai, apakah sumber itu benar-benar sumber yang diperlukan? Apakah sumber itu asli, turunan, atau palsu? Dengan kata lain, kritik ekstern menilai keakuratan sumber. Sedangkan kritik intern menilai apakah isi yang terdapat dalam sumber tersebut valid atau tidak. Tujuan utama kritik sumber adalah untuk menyeleksi data, sehingga diperoleh fakta.

3.      Interpretasi. Setelah fakta untuk mengungkap dan membahas masalah yang diteliti cukup memadai, kemudian dilakukan interpretasi, yaitu penafsiran akan makna fakta dan hubungan antara satu fakta dengan fakta lain.[23] Penafsiran atas fakta dilakukan agar ditemukan struktur logisnya. Interpretasi harus mempunyai pijakan yang jelas, untuk menghindari suatu penafsiran yang semena-mena, akibat dari pemikiran yang sempit.[24]

4.      Historiografi. Kegiatan terakhir dari penelitian sejarah (metode sejarah) adalah merangkaikan fakta berikut maknanya secara kronologis/diakronis dan sistematis, menjadikan tulisan sejarah sebagai kisah. Kedua sifat uraian itu harus benar-benar tampak, karena kedua hal itu merupakan bagian dari ciri karya sejarah ilmiah, sekaligus ciri sejarah sebagai ilmu. Selain kedua hal tersebut, penulisan sejarah, khususnya sejarah yang bersifat ilmiah, juga harus memperhatikan kaidah-kaidah penulisan karya ilmiah umumnya.

Adapun dewasa ini, historiografi telah menggunakan pendekatan yang multidimensional, di mana hubungan-hubungan yang terjadi dalam fakta sejarah dilacak pada struktur masyarakat, pola kelakuan, kecendrungan proses dalam berbagai bidang dan lain-lain. Juga dijelaskan tentang hubungan ilmu sejarah dengan ilmu-ilmu social, seperti geografi, ilmu politik, ekonomi, sosiologi dan anthropologi.[25]

Dengan redaksi kalimat yang berebeda, Ibnu Khaldun berabad tahun yang lalu menyaratkan bahwa seorang penulis sejarah harus memiliki pengetahuan yang jelas tentang prinsip-prinsip yang disimpulkan dari kebiasaan, tentang fakta-fakta politik yang fundamental, tentang watak peradaban, tentang hal ihwal yangn terjadi dalam kehidupan social manusia.[26] Kemudian ketika sebuah dekskripsi tentang suatu peristiwa telah ditulis, ia haruslah diperiksa ulang menggunakan prinsip yang berlaku pada situasi historis. Kemudian dibandingkan dengan materi-materi yang serupa pada peristiwa-peristiwa sejarah lainnya. Meyelidikinya dengan ukuran filsafat dan pengetahuan tentang watak alam semesta.[27]

Sumber-sumber Sirah Nabawiyah

Penulisan sejarah membutuhkan sumber yang beragam dan pengetahuan yang bermacam-macam. Sumber data adalah subjek dari mana data itu bisa diperoleh. Untuk studi sirah nabawiyah ada beberapa macam. Sebagian dapat disebut sebagai sumber primer, seperti Al Qur’an dan hadits-hadits shahih. Sementara yang lain dapat dikategorikan sebagai sumber sekunder, seperti buku-buku asy syamail (karakteristik nabi) dan dalail (bukti-bukti kenabian), juga buku-buku yang membahas sirah nabawiyah secara khusus. Yang belakangan ini merupakan karya sejarah yang merupakan hasil kajian terhadap sumber-sumber primer seperti hadits-hadits shahih. Selain itu dapat pula menggunakan buku-buku sejarah secara umum[28] dengan kritik yang ketat.

1. Al Qur’an Al Karim

Sumber asasi bagi kajian siroh nabawiyah adalah Al Qur’an.[29] Dalam Al Qur’an kita menjumpai referensi-referensi tentang peristiwa tertentu dalam kehidupan Nabi saw. Dalam hal ini Al Qur’an melakukannya dengan dua cara; yang pertama dengan mengungkapkan sebagian dari peristiwa dalam kehidupan Nabi saw[30]. Misalnya tentang masa kecil Rasulullah yang yatim.

أَلَمۡ يَجِدۡكَ يَتِيما فَ‍َٔاوَىٰ ٦

Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu.(Adh Dhuha 6).

Juga tentang kesulitan-kesulitan yang dialami Nabi dalam berdakwah, tentang hijrah Nabi dan kaum muslimin, perjanjian-perjanjian, dan beberapa peperangan. Al Quran menyebutkan sebuah episode dalam gerakan hijrah, yaitu ketika Nabi dan Abu Bakar bersembunyi di gua Tsur.

إِلَّا تَنْصُرُوهُ فَقَدْ نَصَرَهُ اللَّهُ إِذْ أَخْرَجَهُ الَّذِينَ كَفَرُوا ثَانِيَ اثْنَيْنِ إِذْ هُمَا فِي الْغَارِ إِذْ يَقُولُ لِصَاحِبِهِ لَا تَحْزَنْ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا فَأَنْزَلَ اللَّهُ سَكِينَتَهُ عَلَيْهِ وَأَيَّدَهُ بِجُنُودٍ لَمْ تَرَوْهَا وَجَعَلَ كَلِمَةَ الَّذِينَ كَفَرُوا السُّفْلَى وَكَلِمَةُ اللَّهِ هِيَ الْعُلْيَا وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

Jikalau kamu tidak menolongnya  maka sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Mekah) mengeluarkannya (dari Mekah) sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada temannya: "Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita." Maka Allah menurunkan ketenangan-Nya kepada dan membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya, dan Allah menjadikan seruan orang-orang kafir itulah yang rendah. Dan kalimat Allah itulah yang tinggi. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (At Taubah ayat 40).

Abu Ja’far Ath Thabary mengatakan bahwa yang dimaksud dua orang di dalam gua adalah Nabi Muhammad dan Abu Bakar.[31]

Kedua; dengan cara mengomentari kasus-kasus atau peristiwa-peristiwa yang terjadi untuk memecahkan masalah-masalah yang terjadi, atau mengungkapkan masalah yang belum jelas atau untuk menarik perhatian kaum muslimin kepada pelajaran yang dikandungnya.[32] Misalnya pertanyaan pasukan Nabi tentang harta rampasan perang pasca pertempuran di Badar. Dalam surat Al Anfal ayat 1, diceritakan,

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَنْفَالِ قُلِ الْأَنْفَالُ لِلَّهِ وَالرَّسُولِ فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَصْلِحُوا ذَاتَ بَيْنِكُمْ وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

Mereka menanyakan kepadamu tentang (pembagian) harta rampasan perang. Katakanlah: "Harta rampasan perang itu kepunyaan Allah dan Rasul, sebab itu bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah perhubungan di antara sesamamu, dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu adalah orang-orang yang beriman".

Contoh lainnya, Al Qur’an menjelaskan tentang pertanyaan para sahabat tentang haidh, yang mana pada masa jahiliyah orang-orang mengeluarkan kaum perempuan mereka yang sedang haidh dari rumah.[33]  Sementara Al Qur’an hanya melarang kaum lelaki mendekati isteri-isteri mereka secara seksual, tanpa harus menempatkan mereka di luar rumah tempat tinggalnya.

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ

Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: "Haid itu adalah kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.(Al Baqarah 222)

Contoh lainnya,

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الشَّهْرِ الْحَرَامِ قِتَالٍ فِيهِ قُلْ قِتَالٌ فِيهِ كَبِيرٌ وَصَدٌّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ وَكُفْرٌ بِهِ وَالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَإِخْرَاجُ أَهْلِهِ مِنْهُ أَكْبَرُ عِنْدَ اللَّهِ وَالْفِتْنَةُ أَكْبَرُ مِنَ الْقَتْلِ وَلَا يَزَالُونَ يُقَاتِلُونَكُمْ حَتَّى يَرُدُّوكُمْ عَنْ دِينِكُمْ إِنِ اسْتَطَاعُوا وَمَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُولَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ

Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidilharam dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh. Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barang siapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. (Al Baqarah 217)

Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim, Ath Thabrani dalam Mu’jamul Kabir dan Bayhaqi dalam sunannya, meriwayatkan dari Jundub bin Abdullah bahwa Rasulullah mengutus beberapa lelaki dipimpin oleh Abdullah bin Jahsy. Dalam perjalanan mereka bertemu dengan Ibnul Hadrami, lalu membunuhnya. Mereka tidak tahu bahwa ketika itu adalah bulan Rajab atau Jumadil. Maka orang-orang musyrik berkata, ‘Kalian membunuh pada bulan haram.’ Maka turunlah ayat ke 217. Kemudian sebagian dari mereka berkata, ‘Jika mereka mendapatkan dosa karena melakukan hal itu, maka mereka juga tidak mendapat pahala. Maka turunlah ayat 218.[34] Yang menjelaskan bahwa pasukan Abdullah bin Jahsy itu mendapatkan ampunan dari Allah.

Al Qur’an dapat dipercaya sebagai sumber Sirah Nabawiyah karena ia adalah sumber yang sangat terjaga orisinalitasnya. Para ahli menyebutkan bahwa ia diriwayatkan dari generasi ke generasi orang-orang Islam secara mutawatir.[35] Artinya setiap kata, kalimat dan ayat-ayatnya sebelum dituliskan dalam mushaf, terlebih dahulu mendapatkan konfirmasi yang luas, sejak awal ia dikodifikasi oleh para sahabat Nabi saw yang berkompeten dalam masalah ini, hingga masa-masa setelah mereka dan seterusnya. Maka Al Qur’an dapat dipastikan menyediakan keterangan yang akurat  dan valid tentang suatu peristiwa dalam sejarah Nabi saw. Meski demikian, Al Qur’an tidak menggambarkan peristiwa-peristiwa sejarah hidup Nabi dengan rinci. Sehingga diperlukan sumber lain untuk mendapatkan gambaran yang utuh.

2. Hadits

Sumber asasi yang kedua adalah hadits-hadits shahih yang terkandung dalam kitab-kitab Imam Hadits yang terkenal jujur dan amanah, yaitu Kutubussittah, Muwaththa’ Imam Malik dan Musnad Imam Ahmad. Hadits sangat penting dalam kajian sirah, karena hadits menguraikan keyakinan dan perilaku Islam. Gambaran utuh tentang sejarah Islam dan Sirah Nabawiyah tidak dapat dibangun tanpa pengetahuan yang memadai tentang hadits dan hal-hal yang berhubungan dengan praktek adminstrasi, ekonomi, social dan cultural pada zaman Nabi saw.

Sebagai sumber data sejarah, sumber-sumber hadits ini lebih luas dan lebih rinci dari pada sumber Al Qur’an. Contohnya hadits yang menjelaskan peristiwa goa Tsur.

حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ مُوسَى، أَخْبَرَنَا هِشَامٌ، عَنْ مَعْمَرٍ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ، عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا: " وَاسْتَأْجَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَأَبُو بَكْرٍ رَجُلًا مِنْ بَنِي الدِّيلِ، ثُمَّ مِنْ بَنِي عَبْدِ بْنِ عَدِيٍّ هَادِيًا خِرِّيتًا - الخِرِّيتُ: المَاهِرُ بِالهِدَايَةِ - قَدْ غَمَسَ يَمِينَ حِلْفٍ فِي آلِ العَاصِ بْنِ وَائِلٍ، وَهُوَ عَلَى دِينِ كُفَّارِ قُرَيْشٍ، فَأَمِنَاهُ فَدَفَعَا إِلَيْهِ رَاحِلَتَيْهِمَا، وَوَاعَدَاهُ غَارَ ثَوْرٍ بَعْدَ ثَلاَثِ لَيَالٍ، فَأَتَاهُمَا بِرَاحِلَتَيْهِمَا صَبِيحَةَ لَيَالٍ ثَلاَثٍ، فَارْتَحَلاَ وَانْطَلَقَ مَعَهُمَا عَامِرُ بْنُ فُهَيْرَةَ، وَالدَّلِيلُ الدِّيلِيُّ، فَأَخَذَ بِهِمْ أَسْفَلَ مَكَّةَ وَهُوَ طَرِيقُ السَّاحِلِ "[36]

Hadits ini menceritakan lebih detail tentang peristiwa berdiamnya Rasul dan Abu Bakar di goa Tsur. Dalam perjalanan hijrahnya Rasulullah dan Abu Bakar menyewa seorang lelaki dari Bani ad Diil, kemudian seorang dari Bani Abdi bin Ady, seorang lelaki yang ahli menunjukkan jalan, lelaki itu masih beragama orang-orang Quraisy, ia dapat dipercaya untuk menunjukkan jalan bagi keduanya dengan menerima upah. Kemudian ia diminta untuk datang ke goa Tsur 3 hari. Maka ia mengantarkan Nabi dan Abu Bakar pada pagi hari malam ketiga. Bersama mereka kemudian ada Amir bin Fuhayra dan penunjuk jalan dari Bani ad Dail. Kelompok kecil itu  memilih jalur dibagian selatan kota Mekkah, yang lebih aman.

Namun demikian, hadits-hadits belum tersusun menurut kronologi peristiwa yang dilalui oleh Nabi saw. Hal ini terjadi karena dua hal. Yang pertama karena sebagian besar kitab-kitab hadits itu disusun berdasarkan pembahasan bab-bab persoalan aqidah, fiqih, atau pengetahuan-pengetahuan Islam secara umum. Sehingga penjelasan yang berkaitan dengan sejarah Nabi tersebar di berbagai tempat di antara penjelasan-penjelasan masalah fiqih. Yang kedua, ketika menghimpun hadits, para Imam Hadits tidak mencatat peristiwa sejarahnya secara khusus dan terpisah, melainkan hanya mencatat keterangan yang dapat menjelaskan dalil bagi suatu hukum syari’ah atau ketenetuan fiqih.[37] Misalnya, hadits-hadits Ahkam menjelaskan masalah-masalah ibadah dan peraturan-peraturan seperti puasa, shalat, zakat, haji, system politik, social dan administrasi.[38]

Termasuk dalam sumber hadits adalah kitab-kitab hadits yang isinya merupakan kumpulan hadits yang khusus membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan Nabi saw, seperti bukti-bukti kenabian yang disebut dalail, dan sifat-sifat Nabi saw yang disebut syamail. Seperti Kitab Syamail Muhammadiyah, karya At Tirmudzy.[39] Kitab ini mengumpulkan hadits-hadits perihal kepribadian Nabi Muhammad. Mulai ciri-ciri fisik, tata perilakunya, sampai barang-barang peninggalannya yang terbagi dalam 56 bab. Ibnul Atsir menyebutkan dalam Kitab Tarikhnya, bahwa Kitab ini adalah Jami’ (kumpulan hadits) yang hebat dan sebaik-baik kitab.[40]

At Turmudzy sendiri adalah ulama terpercaya. Sam’any dalam Al Ansab menyebutnya sebagai Imam pada zamannya dan tiada yang seperti dia. Adz Dzahaby dalam Al Mizan menyebutnya Hafidz Alim, Pemilik Al Jami’ (Kumpulan Hadits) dan Tsiqah (terpercaya) apa-apa yang dikumpulkannya.[41]  Bahkan Bukhary pernah berkata padanya, apa yang engkau hasilkan lebih bermanfaat dari apa yang aku hasilkan.[42]

3. Kitab-Kitab Tarikh dan Sirah Nabawiyah

Dapat juga ditelusuri kitab-kitab sirah rujukan seperti, Siroh Ibnu Hisyam, karya Abu Muhammad Abdul Malik bin Ayyub al Hamiry (w. 213 atau 218 H). Ibnu Hisyam menghimpun kitab sirohnya dari Al Maghazi dan As Siyarnya Ibnu Ishaq.[43] Ia mereduksi israililiyat dan syair-syair dari sirah Ibnu Ishaq. Kemudian menambahkan berbagai informasi tentang bahasa dan genealogi (silsilah). Kitab ini diterima oleh mayoritas ulama.[44] Buku ini menjadi rujukan bagi penulis-penulis siroh setelahnya.

Yang lainnya, Thabaqat Ibnu Sa’ad, karya Muhammad bin Sa’ad bin Munii’ AzZuhriy (lahir di Bashrah tahun 168 dan wafat di Baghdad pada 230 H). Dia adalah sekretaris Muhammad bin Umar Al Waqidiy (130-207H), Sejarawan terkenal dalam kajian peperangan dan sirah.[45]

Kemudian yang ketiga adalah Tarikh Rusul wal Muluk, karya Abu Ja’far Muhammad bin Jariir ath Thabari (223-310H). Buku ini tidak khusus membicarakan sirah Rasulullah saw saja, melainkan sejarah ummat terdahulu, tokoh-tokoh penting dalam sejarah sampai kepada negeri-negeri Islam sampai menjelang kewafatannya.[46] Tetapi bagian pertama buku ini berbicara tentang siroh Nabi Muhammad saw. Thabari merupakan ulama yang dapat dipercaya. Ia banyak mendasarkan kajian kepada karya Ibnu Ishaq. Metodenya bukan kritik riwayat untuk membedakan antara yang shahih dan yang dha’if, tapi membiarkan para pembaca menilai sendiri mana yang lebih akurat.[47]  Ia mengutip pendapat banyak kalangan, bahkan yang memiliki perbedaan pendapat yang relative ekstrim. Bahkan ia juga mengutip dari Abi Makhnaf, seorang syi’ah.[48]

Daftar Pustaka

Al Bukhary, Muhammad bin Ismail Abu Abdullah Al Ja’fy, Shahih Bukhary, Daar at Tuuqa an Najah, 1422.

Al Buthy, Muhammad Sa’id Ramadhan, Sirah Nabawiyah, Analisis Ilmiah Manhajiyah terhadap Sejarah Pergerakan Islam di Masa Rasulullah saw,terjemahan, (Jakarta, Robbani Press, 1993.

Hariyono, Mempelajari Sejarah Secara Efektif, Dunia Pustaka Jaya, Jakarta, 1995.

Al Hasyimy, Abid Tawfiq, Thuruq Tadris At Tarbiyah Al Islamiyah, Muasasah Risalah, Beyrut, 1414.

Hornby, A.S., etc, The Advanced Learner’s Dictionary of Current English, Oxford University Press, 1973.

Mahmud, Abdul Halim, Metodologi Studi Islam, terjemahan, Islahy Press, Jakarta, tt.

Al Mubarakfury, Shafiyyurahman, ArRahiiq Al Makhtum, terjemahan, Jakarta; Robbani Press, 2002.

Munawwir, Ahmad Warson, Kamus Al Munawwir, Surabaya; Pustaka Progressif, 1997.

Musthafa, Ibrahim et,all, Al Mu’jam Al Wasith, Istambul, Makatabah Islamiyah, 1972.

As Siba’iy, Musthafa, Siroh Nabawiyah,  Durus wal Ibar, Darul Kutub Arabiyah, Damaskus, 1972.

_________, Shirah Nabawiyah, terjemahan, Abdur Rohim Mukti, Indiva, Surakarta 2014.

As Suyuthy, Jalaludin, Al Lubab an Nuqul fii Azbab an Nuzul, Darul Kutub Ilmiyah, Beyrut, tt.

Thabari, Muhammad bin Jarir bin Zayd bin Katsir bin Ghalib Abu Ja’far, Jami’ul Bayan fii Ta’wil Al Qur’an, Mu’asasah Risalah, 2000.

Tjandrasasmita, Uka, Naskah Klasik dan Penerapannya Bagi Kajian Sejarah Islam di Indonesia, Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI, 2012.

Umari, Akram Dhiyauddin, Masyarakat Madani, Tinjauan Historis Zaman Nabi, terjemahan, Jakarta: Gema Insani Press 1999.

Yunus, Mahmud, Kamus Arab Indonesia, Jakarta, Mahmud Yunus wa Dzurriyah, 1998.

 

Sumber Internet :

Wikipedia, waktu akses 8 Januari 2020, 11;25 wib.



[1] Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al Munawwir, Surabaya; Pustaka Progressif, 1997, hal.684.

[2] Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Jakarta, Mahmud Yunus wa Dzurriyah, 1998, hlm.187.

[3] Ibrahim Musthafa et,all, Al Mu’jam Al Wasith, Istambul, Makatabah Islamiyah, 1972. hlm.467.

[4] Muhammad bin Jarir bin Zayd bin Katsir bin Ghalib Abu Ja’far Thabari, Jami’ul Bayan fii Ta’wil Al Qur’an, (Mu’asasah Risalah, 2000), Juz 18, hlm.295.

[5] Ibid, Juz 18, hlm.296.

[6] Ibrahim Musthafa et,all, loc.cit, hlm.467.

[7] Shafiyyurahman Al Mubarakfury, ArRahiiq Al Makhtum, terjemahan (Jakarta; Robbani Press, 2002, hal.1)

[8] Wikipedia, waktu akses 8 Januari 2020, 11;25 wib.

[9] Hariyono, Mempelajari Sejarah Secara Efektif, Dunia Pustaka Jaya, Jakarta, 1995, hal.195.

[10] Musthafa As Siba’iy, Shirah Nabawiyah, terjemahan, Abdur Rohim Mukti, Indiva, Surakarta 2014, hlm.13.

[11] Abid Tawfiq Al Hasyimy, Thuruq Tadris At Tarbiyah Al Islamiyah, Muasasah Risalah, Beyrut, 1414, hlm.308.

[12] Musthafa As Siba’iy, Siroh Nabawiyah,  Durus wal Ibar, Darul Kutub Arabiyah, Damaskus, 1972, hlm.13-22.

[13] Hariyono, op.cit, hal. 192.

[14] Muhammad Sa’id Ramadhan Al Buthy, Sirah Nabawiyah, Analisis Ilmiah Manhajiyah terhadap Sejarah Pergerakan Islam di Masa Rasulullah saw,terjemahan, (Jakarta, Robbani Press, 1993, hal.3)

[15]Al Buthy, ibid, hal.5.

[16] Abdul Halim Mahmud, Metodologi Studi Islam, terjemahan, Islahy Press, Jakarta, hlm.18.

[17] Abdul Halim Mahmud, ibid, hlm.22.

[18] Hariyono, op.cit, hal. 193.

[19] Musthafa As Siba’iy,loc.cit, hlm.13

[20] Hariyono, op.cit, hal.88.

[21] A.S. Hornby, etc, The Advanced Learner’s Dictionary of Current English, Oxford University Press, 1973, p. 469.

[22] Hariyono, op.cit, hal 109.

[23]Uka Tjandrasasmita, Naskah Klasik dan Penerapannya Bagi Kajian Sejarah Islam di Indonesia, Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI, 2012, hal.32.

[24] Hariyono, loc.cit, hal. 110.

[25] Uka Tjandrasasmita, op.cit, hal.35.

[26] Ibnu Khaldun, op.cit, hal 12.

[27] Ibnu Khaldun, ibid, hal.13.

[28] Akram Dhiyauddin Umari, Masyarakat Madani, Tinjauan Historis Zaman Nabi, terjemahan, (Jakarta: Gema Insani Press 1999), hal. 43.

[29] Musthafa as Sibaiy, op.cit, hlm.25.

[30] Ramadhan Al Buthy, op.cit, hal.6.

[31] Abu Ja’far Ath Tabary, op.cit,  Juz 14, hlm.257.

[32]Ramadhan Al Buthy, ibid, hal.6.

[33] Ath Thabary, op.cit, Juz 4, hlm.373.

[34] Jalaludin As Suyuthy, Al Lubab an Nuqul fii Azbab an Nuzul, Darul Kutub Ilmiyah, Beyrut, tt, Juz 1, hlm.31.

[35] Mutawatir adalah level sebuah riwayat yang disampaikan oleh banyak orang yang dinilai orang-orang itu tidak mungkin bersepakat untuk berbohong. Pada dasarnya semua redaksi Al Qur’an diriwayatkan oleh banyak sekali orang, demikian pula cara membacanya.

[36] Muhammad bin Ismail Abu Abdullah Al Bukhary Al Ja’fy, Shahih Bukhary, Daar at Tuuqa an Najah, 1422, Juz 3, hlm.88.

[37] Ramadhan Al Buthy, op.cit, hal.7

[38] Akram Dhiyauddin Umari, op.cit, hal.46.

[39] Dia adalah Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah bin Musa bin Adh Dhahak As Sulamy (209-279 H)

[40] Muhammad Al Muntaqy Al Kasnawy, Pengantar untuk Kitab Syamail Muhammadiyah At Turmudzy, Juz 1, hlm.13.

[41] Muhammad Al Muntaqy Al Kasnawy, ibid, hlm.7.

[42] Muhammad Al Muntaqy Al Kasnawy, ibid, hlm.8.

[43]Ramadhan Al Buthy, ibid, hal. 9.

[44]Akram Dhiyauddin Umari, op.cit, hal.55.

[45]Musthafa as Sibaiy, op.cit, hal.31

[46]Musthafa as Sibaiy, ibid, hal.32.

[47]Akram Dhiyauddin Umari, op.cit, hal.57.

[48]Musthafa as Sibaiy, op.cit, hal.32.

Comments


EmoticonEmoticon