ILMU PENGETAHUAN DALAM PANDANGAN ISLAM - Saungpikir

Monday, September 6, 2021

ILMU PENGETAHUAN DALAM PANDANGAN ISLAM




Wahyu Bhekti Prasojo

Islam Adalah Agama yang Berteraskan Ilmu

Agama dan kehidupan beragama merupakan fenomena yang tak terlepaskan dari kehidupan dan perjalanan sejarah kehidupan manusia. Setidaknya ada lima atau lebih agama besar yang telah dan sampai masa akan datang masih akan mengendalikan roda sejarah manusia itu.

Sementara itu agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw diyakini pemgikutnya dapat mewujudkan kehidupan manusia yang sejahtera lahir dan batin. Islam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.[1]

Ilmu pengetahuan menurut Islam tidak bersekat dan tidak terpisah dari agama. Bahkan Alqur’an itu sendiri adalah salah satu sumber ilmu pengetahuan. Sebagaimana Allah menyebutkan dalam Alqur’an tentang orang-orang yang berilmu, berpikir dan berakal.

Dalam Al Qur’an ada banyak kata yang mengandung arti berfikir selain dari kata akal. Misalnya kata دَبَّرَ (merenungkan) dalam 8 ayat, فَقِهَ  (mengerti) dalam 20 ayat, نَظَرَ  (melihat secara abstrak) dalam 30 ayat dan تَفَكَّرَ  (berfikir) dalam 16 ayat. Sedangkan kata عقل dijumpai lebih dari 30 ayat.[2]

وَسَخَّرَ لَكُمُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُومُ مُسَخَّرَاتٌ بِأَمْرِهِ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ

“Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami(nya).” (An-Nahl: 12)

وَهُوَ الَّذِي مَدَّ الْأَرْضَ وَجَعَلَ فِيهَا رَوَاسِيَ وَأَنْهَارًا وَمِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ جَعَلَ فِيهَا زَوْجَيْنِ اثْنَيْنِ يُغْشِي اللَّيْلَ النَّهَارَ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

Dan Dia-lah Tuhan yang membentangkan bumi dan menjadikan gunung-gunung dan sungai-sungai padanya. Dan menjadikan padanya semua buah-buahan berpasang-pasangan, Allah menutupkan malam kepada siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan. (Ar-Ra’d: 3)

Hidayat Nataatmadja mengungkapkan peran agama sebagai sumber ilmu subjektif yang haq. Sains sebagai ilmu objektif yang haq memiliki kriteria yang akurat mengenai cara yang harus ditempuh kapan suatu datum atau informasi bisa disebut ilmiah dan diberi validitas sebagai suatu ilmiah kemudian diikatkan secara subjektif dengan kebenaran yang kita cari.[3] Maksudnya,tidak ada cara lain untuk memecahkan masalah fundamental dalam metodologi ilmu subjektif kecuali dari Al Qur’an yang mengandung ajaran agama, sebab ilmu subyektif itu lebih tinggi dari ilmu obyektif.[4] Maka pemisahan sains dari agama adalah salah kaprah.

Ilmu Pengetahuan Adalah Kebutuhan Dasar Manusia

Ilmu adalah cahaya yang dikaruniakan Allah kepada manusia. Ia mempunyai peranan yang amat besar dalam kehidupan manusia. Maju mundurnya peradaban manusia bergantung pada seberapa jauh pencapaian mereka dalam menguasai ilmu pegetahuan. Untuk itu Islam senantiasa memerintahkan kepada manusia agar menghidupkan budaya keilmuan.

Hakikat ini digambarkan Allah dalam kisah penciptaan Abul Basyar, Adam (semoga keselamatan tercurah padanya). Bahwa setelah Adam mencapai bentuknya yang sempurna sebagai manusia, Allah membekalinya dengan ilmu pengetahuan.

 

وَعَلَّمَ آدَمَ الْأَسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلَائِكَةِ فَقَالَ أَنْبِئُونِي بِأَسْمَاءِ هَؤُلَاءِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ

Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar!"(Al Baqarah 31)

Abu Ja’far Ath Thabary menuliskan sebuah riwayat yang bersumber dari Ibnu Abbas, bahwa Allah mengajarkan kepada Adam nama-nama semuanya yaitu nama-nama yang kemudian akan dikenali oleh manusia, seperti; manusia dan hewan-hewan, bumi, daratan, lautan, gunung-gunung dan segala sesuatu yang saling menyerupai atau mirip, nama bangsa-bangsa dan lain-lain.[5] Maksud ayat ini adalah Allah mengajarkan kepada Nabi Adam teknologi kehidupan. Yaitu nama-nama seluruh makhluq, peran dan tugas mereka. Mulai dari matahari, bulan, laut, pepohonan dan buah-buahan.[6]

Untuk dapat memahami segala gejala alam dan menemukan konklusi darinya, Allah menganugerahi manusia dengan akal. Menurut Harun Nasution, ayat-ayat yang di dalamnya mengandung kata-kata, memikirkan, merenungkan, mengerti dan semacamnya mengandung perintah Allah agar manusia mempergunakan akal dan daya fikirnya.[7] Dengan bekal pengetahuan itulah Nabi Adam dan keturunannya akan dapat mengatasi segala kesulitan dan tantangan alam serta menjalani kehidupan dengan selamat.

Studi Islam Adalah Kewajiban Syariah Atas Setiap Individu Muslim

Maka kelompok ayat yang pertama turun kepada Rasulullah saw langsung berisi perintah bagi orang-orang beriman untuk belajar. Yaitu suatu kegiatan yang berkaitan sangat erat dengan ilmu pengetahuan dan pengembangannya.

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ  خَلَقَ الإنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ  اقْرَأْ وَرَبُّكَ الأكْرَمُ  الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ  عَلَّمَ الإنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ

“Bacalah (wahai Muhammad) dengan nama Tuhanmu yang menciptakan sekalian makhluk.  Dia menciptakan manusia dari sebuku darah beku. Bacalah dan Tuhanmu yang maha pemurah. Yang mengajar manusia melalui pena. Dia mengajarkan  manusia apa yang tidak diketahuinya”. )Al-‘Alaq ayat 1-5(

Pada ayat-ayat di atas dapat difahami pesan bahwa begitu Risalah Islam turun, perintah pertama yang diturunkan ialah untuk membaca. Membaca segala hal yang ada di alam dan kehidupan ini. Serta disebutkan pena serta tulisan sebagai bagian terpenting dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Muhammad Abduh sebagaimana dikutip oleh Hamka, menuliskan,

Tidak didapati kata-kata yang lebih mendalam dan alasan yang lebih sempurna dari pada ayat ini di dalam menyatakan pentingnya membaca dan menulis ilmu pengetahuan dalam segala cabang dan bagiannya. Dengan itu pula dibuka segala wahyu yang akan turun dibelakangnya. Maka kalau kaum muslimin tidak mendapat petunjuk dengan ayat ini dan tidak memperhatikan jalan-jalan untuk maju, merobek segala selubung pembungkus yang menutup penglihatan mereka selama ini terhadap ilmu pengetahuan, atau menjebol pintu yang selama ini terkunci sehingga mereka terkurung dalam kamar gelap, sebab dikunci erat-erat oleh pemuka mereka, sehingga mereka meraba-raba dalam kegelapan kebodohan, dan kalau ayat ini tidak menggetarkan hati kaum muslimin, tidaklah mereka akan bangkit lagi selama-lamanya.[8]

Dijelaskan pula bahwa pengajaran Allah kepada manusia  “dengan perantaraan pena” (Al Alaq ayat 4). Sebagaimana diketahui bahwa pena sejak dulu hingga sekarang dan nanti merupakan sarana pengembangan ilmu pengetahuan yang paling luas dan paling medalam pengaruhnya. Pada saat ayat ini diturunkan hakikat ini belum sejelas yang kita rasakan dan kita kenal sekarang. Tetapi Allah Maha Mengetahui nilai pena, sehingga Dia menyampaikan isyarat ini sejak detik awal dari masa risalah yang terakhir ini.[9]

Demikian pentingnya sehingga masalah ini disampaikan sejak awal ayat-ayat Qur’an diturunkan. Bahkan Pena (Al Qalam) menjadi nama bagi surat yang diturunkan setelah Al Alaq. [10] Bahkan Ibnu Abbas menyebutkan bahwa yang paling awal diciptakan Allah dari segala macam benda adalah pena. [11]

Ketika Allah SWT berfirman, وَعَلَّمَ آدَمَ الْأَسْمَاءَ كُلَّهَا , (dan diajarkan kepada Adam nama-nama benda seluruhnya), dapat juga difahami sebagai peringatan bagi orang-orang beriman bahwa mereka tidak akan dapat memakmurkan bumi tanpa mengetahui bagaimana cara mengaturnya.[12] Kaum muslimin tidak boleh hanya memahami Islam sebatas shalat dan atau shaum. Sebab Allah telah mengajarkan kepada Adam, ilmu dan teknologi untuk memakmurkan bumi.[13]

Karena menuntut ilmu adalah perintah Allah, maka Allah menjamin pelakunya dengan pahala ibadah. Rasulullah bersabda

وَأَنَّ العُلَمَاءَ هُمْ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ، وَرَّثُوا العِلْمَ، مَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ، وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَطْلُبُ بِهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الجَنَّةِ[14]

 

Bahwa sesungguhnya para Ulama adalah pewaris para Nabi, mereka mewariskan ilmu. Barangsiapa yang mengambil bagiannya, ia telah mendapatkan bagian yang banyak. Dan barangsiapa yang berjalan menuntut ilmu maka Allah mudahkan jalannya menuju syurga”.

Pengembangan Ilmu Pengetahuan Adalah Tanggungjawab Kontemporer Ummat Islam

Dengan motivasi Islam yang besar untuk menuntut ilmu, maka kaum muslim idealnya adalah pemburu ilmu pengetahuan, penjaganya dan pengembangnya. Karena Ummat Islam adalah yang secara jelas mendapatkan perintah langsung dari Allah untuk memakmurkan bumi. Merekalah yang paling bertanggungjawab untuk menguasai ilmu pengetahuan untuk digunakan mempermudah kegiatan manusia dalam melakukan aktifitas dan kegiatannya. Ilmu pengetahuan merupakan produk dari kebudayaan enlightenment, pencerahan. Ilmu pengetahuan digunakan sebagai sarana mempermudah manusia mencapai dan mendapatkan tujuan hidupnya. [15]

Maka menuntut ilmu dan mengembangkannya adalah kewajiban kolektif ummat Islam.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ وَإِذَا قِيلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majelis", maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Al Mujadalah 11).

قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ

Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.(Az Zumar 9).

Secara empiris, peradaban Islam lebih kreatif dan orisinal dalam pengembangan ilmu pengetahuan, bukan falsafah yang spekulatif dan teoritis. Hal-hal yang bersifat kefalsafahan yang membentuk suatu pandangan dunia dan hidup yang menyeluruh sesungguhnya telah disediakan Al Qur’an, yang oleh Muhammad Iqbal disebut sebagai mengajarkan metode berfikir empiris.[16] Orang-orang Arab (muslim) telah menemukan konsep nol, rumus minus, angka irrasional dan meletakkan dasar-dasar untuk ilmu kimia baru, yaitu ide-ide yang melempangkan jalan bagi dunia ilmu pengetahuan modern.[17]

Selanjutnya Rasulullah SAW menjelaskan bahwa setiap ilmuwan akan dimintai pertanggung jawaban atas ilmu yang dimilikinya.

عَنْ أَبِي بَرْزَةَ الأَسْلَمِيِّ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَا تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ القِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمُرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ، وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَ فَعَلَ، وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَ أَنْفَقَهُ، وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَ أَبْلَاهُ»[18]

Dari Abu Barzah Al-Aslami, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Tidak bergeser kedua telapak kaki seorang hamba pada hari kiamat sehingga ia ditanya tentang umurnya; dalam hal apa ia menghabiskannya,  tentang ilmunya; dalam hal apa ia manfaatkan, tentang hartanya; dari mana ia mendapatkannya dan dalam hal apa ia membelanjakannya, dan tentang pisiknya; dalam hal apa ia mempergunakannya”. (HR At-Tirmidzi).

Tanggung jawab ilmuwan dalam pengembangan ilmu sekurang-kurangnya berdimensi religious atau etis dan social. Pada intinya, dimensi religious atau etis seorang ilmuwan hendaknya tidak melanggar kepatutan yang dituntut darinya berdasarkan etika umum dan etika keilmuan yang ditekuninya. Sedangkan dimensi sosial pengembangan ilmu mewajibkan ilmuwan berlaku jujur, mengakui keterbatasannya bahkan kegagalannya, mengakui temuan orang lain, menjalani prosedur ilmiah tertentu yang sudah disepakati dalam dunia keilmuan atau mengkomunikasikan hal baru dengan para sejawatnya atau kajian pustaka yang sudah ada untuk mendapatkan konfirmasi, menjelaskan hasil-hasil temuannya secara terbuka dan sebenar-benarnya sehingga dapat dimengerti orang lain sebagaimana ia juga memperoleh bahan-bahan dari orang lain guna mendukung teori-teori yang dikembangkannya. Karena tanggung jawab ilmuwan merupakan ikhtiar mulia sehingga seorang ilmuwan tidak mudah tergoda, apalagi tergelincir untuk menyalahgunakan ilmu.[19]

Bagi Nurcholis Madjid, sumber sumbangan Islam bagi ilmu pengetahuan adalah faham tauhid;monotheisme yang tegas tidak mengenal kompromi. Yaitu ajaran yang menegaskan bahwa Tuhan yang Maha Esa adalah asal usul dan tujuan hidup manusia termasuk peradaban dan ilmu pengetahuannya. Sedangkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi secara metode dan empirisme adalah sah (valid), tetapi amat miskin dalam hal moral dan etika. Inilah tugas tauhid, utuk menyadarkan manusia akan fungsinya sebagai hamba Allah yang telah dipilih menjadi khalifahNya, agar mampu mempertanggungjawabkan segala tindakannya atas bumi yang diamanahkan padanya. Ilmu pengetahuan berasal dari Tuhan dan harus digunakan dalam semangat mengabdi padaNya.[20]

Hasbunallah wa ni’mal wakil.

 

DAFTAR PUSTAKA

Azra, Azyumardi, Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, (Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1998).

Al Bukhary, Muhammad bin Ismail Abu Abdullah, Shahih Bukhary, (Daar At Tuuqa An Najah, 1422).

Hamka, Tafsir Al Azhar, (Pustaka Panjimas Jakarta, 1988)

Madjid, Nurcholis, Islam, Doktrin dan Peradaban, (Paramadina & Dian Rakyat Jakarta, 2008)

_______, Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan, (Mizan Pustaka, Bandung,2013).

Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, (Rajagrafindo Persada, Jakarta, 1998)

Ath Thabari, Muhammad bin Jarir, Abu Ja’far, Jami’ul Bayan Fi Ta’wil Al Qur’an, (Mu’asasah Risalah, 2000)

At Tirmidzy, Muhammad bin Isa bin Saurah bin Musa bin Ad Dhahak, Sunan At Tirmidzy, (Syirkah Maktabah wa Mathba’ah Musthafa Al Halaby Mesir, 1975).

Quthb, Sayyid, Fii Dzhilal al Qur'an, alih bahasa Aunur Rafiq Saleh Tamhid, (Robbani Press, Jakarta, 2003).

Zain, Nur, Hidayat Nataatmaja, Kritik Terhadap Sains Barat, dalam Metodologi Studi Islam, Percikan Pemikiran Tokoh dalam Membumikan Agama, (ArRuzz Media, Jogjakarta, 2011).

Sumber Internet

Malina Rajalan, Tanggungjawab Muslim terhadap Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Wadah Ilmiah, http://malianarajalan.blogspot.com/2017/02/tanggungjawab-muslim-terhadap.html. akses 4 /2/2020.



[1] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 1998, hlm.1

[2] Azyumardi Azra, Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1998, hlm. 37.

[3] Nur Zain, Hidayat Nataatmaja,Kritik Terhadap Sains Barat, dalam Metodologi Studi Islam, Percikan Pemikiran Tokoh dalam Membumikan Agama, ArRuzz Media, Jogjakarta, 2011, hlm.25.

[4] Nur Zain, ibid, hlm.25.

[5] Muhammad bin Jarir Abu Ja’far Ath Thabari,, Jami’ul Bayan Fi Ta’wil Al Qur’an, Mu’asasah Risalah, 2000, Juz 1, hlm.482.

[6] Amru Khalid, Khowatir Qur’aniyah, Nazharat Ahdafi Suwaril Qur’an, alih bahasa Khozin Abu Faqih dkk, Al I’tishom, Jakarta, 2019, hlm.19.

[7] Azyumardi Azra, op.cit, hlm.38.

[8] Hamka, Tafsir Al Azhar, 1988, Pustaka Panjimas Jakarta, hlm.211.

[9] Sayyid Quthb, Fii Dzhilal al Qur'an, alih bahasa Aunur Rafiq Saleh Tamhid, Robbani Press, Jakarta,2003, Jilid 13, h.478.

[10] Amru Kholid, op.cit, hlm.703

[11] Ath Thabari, op.cit, Juz.23, hlm.521

[12] Amru Kholid, op.cit, hlm.19.

[13] Amru Kholid, ibid, hlm.20.

[14]Muhammad bin Ismail Abu Abdullah Al Bukhary, Shahih Bukhary, Daar At Tuuqa An Najah, 1422, Juz 1, hlm.24.

[15] Malina Rajalan, Tanggungjawab Muslim terhadap Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Wadah Ilmiah, http://malianarajalan.blogspot.com/2017/02/tanggungjawab-muslim-terhadap.html. akses 4 /2/2020, 10:46 wib.

[16] Nurcholis Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban, Paramadina & Dian Rakyat, Jakarta, 2008, hlm.136-137.

[17] Nurcholis Madjid, ibid, hlm.137.

[18] Muhammad bin Isa bin Saurah bin Musa bin Ad Dhahak At Tirmidzy, Sunan At Tirmidzy, Syirkah Maktabah wa Mathba’ah Musthafa Al Halaby Mesir, 1975, Juz 4, hlm 612, No. 2417.Ia berkata: “Ini hadits hasan shahih. Sedangkan Nashirudin Albany menyebutnya Shahih.

[19] Malina Rajalan, Tanggungjawab Muslim terhadap Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Wadah Ilmiah, http://malianarajalan.blogspot.com/2017/02/tanggungjawab-muslim-terhadap.html. akses 4 /2/2020, 13;22 wib.

[20] Nurcholis Madjid, Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan, Mizan Pustaka, Bandung,2013, hlm.331-332. 

Comments


EmoticonEmoticon