Mengapa Islam Turun di Jazirah Arab? - Saungpikir

Friday, September 27, 2024

Mengapa Islam Turun di Jazirah Arab?

 

oleh Wahyu Bhekti Prasojo


Agama, Peradaban dan Politik

Sejak ribuan tahun, bangsa-bangsa membangun peradaban dengan segala aspeknya, mulai ilmu pengetahuan, teknologi, pertanian, perdagangan, militer dan lain sebagainya  dengan  bersumber  dari  agama.[1]  Meskipun  agama  yang  menjadi  sumber peradaban itu berbeda-beda.

Pada lingkungan masyarakat yang menyandarkan peradabannya kepada sumber agama seperti itulah, para Rasul yang membawa agama-agama dilahirkan. Di Mesir, Nabi Musa dilahirkan dan dibesarkan dalam asuhan Fir’aun. Setelah menghadapi tentangan bangsa Mesir terhadap dakwahnya, beliau lalu hijrah ke Palestina.

Di Palestina, Nabi Isa dilahirkan. Murid-muridnya kemudian menyebarkan ajarannya sehingga mereka mengalami banyak penganiayaan. Namun kemudian agama Kristen  menyebar  luas  di  tangan  bangsa  Romawi, sehingga sebagian  besar  wilayah kekuasaannya menganutnya. Di wilayah Timur Tengah daerah daerah seperti Suriah, Libanon dan Palestina juga menganut Kristen. Dari Mesir, Kristen lalu menyebar ke Sudan dan Ethiopia di arah selatan. Sementara itu, di Persia, ada agama Majusi juga mendapat pengikut yang luas hingga Timur Jauh dan India.

Selama  berabad-abad Barat  dan  Timur  saling menghormati keyakinan agama masing-masing. Peradaban Asyiria dan Mesir Kuno yang membentang sepanjang Funisia telah menghalangi perbenturan di antara peradaban-peradaban yang tumbuh di kedua sisinya. Sampai ketika Mesir dikuasai Romawi, terbukalah penghalang itu karena sifat Romawi yang ekspansif. Dengan dikuasainya Mesir, mereka langsung berbatasan dengan

Persia di Timur.[2]

Secara  geopolitis kondisi ini  menempatkan Jazirah Arab di  tengah kekuatan- kekuatan politik besar dunia yang merupakan pesaing bagi hegemoni Islam di masa datang. Pada awal abad ke enam itu, kedua kekuatan itu telah mulai berbenturan, melalui konflik-konflik di antara beberapa negara kecil di wilayah Jazirah Arab yang menjadi vasal kedua negara besar itu.[3]

Dalam pertarungan yang panjang, Persia nampak unggul pada awalnya. Motifnya politik dan ekonomi. Orang-orang Persia tidak berminat mengajarkan agamanya kepada orang-orang Romawi. Mereka tetap pada keyakinan mereka masing-masing, begitu pula ketika pada akhirnya Romawi memenangi persaingan itu. Namun demikian persaingan yang panjang itu telah membawa kedua negara kepada keruntuhan masing-masing. Romawi   kemudian   kalah   bersaing   dengan   Bizantium   yang   sama-sama   Kristen. Sedangkan Persia mengalami kemunduran karena sebab-sebab internal sampai kemudian -nantinya- ditaklukkan Islam.

 

Lalu-lintas Perdagangan

Secara geografis letak semenanjung Arab strategis.[4] Ia berada diantara benua Asia dan Afrika, seolah-olah berada di pusat dunia. Munawar Kholil menyebutnya seperti Hati Bumi (dunia).[5] Ia diapit oleh wilayah-wilayah berpenduduk ramai di utara, barat dan timur. Sedangkan di selatan adalah laut. Situasi ini sekaligus menempatkan Jazirah Arab pada jalur perdagangan antar bangsa. Mereka yang datang dari barat (afrika terutama bagian utara), barat laut dan utara (eropa) lewat darat (jalur sutra atau silk road) bertemu dengan yang dari timur (india dan tiongkok) dan dari selatan (asia tenggara) melalui jalur pelayaran  (sea  road)[6]  di  jazirah  arab  yaitu  di  pelabuhan-pelabuhan Yaman.  Jalur perdagangan laut ini telah dilalui pedagang internasional selama berabad-abad, dalam berbagai  periode.[7]   Mekkah,  yang  dilewati  jalur  ini  juga  tumbuh  menjadi  kota perdagangan internasional. Para  pedagang dan  pemodalnya telah  menjadi  kaya  raya melebihi harapan mereka sendiri.[8] Jalur ini melewati pasar-pasar antara lain;

Fumatul Jandal di ujung utara Hijaz dekat perbatasan Syiria, Mushshaqar di Bahrain, Suhar di Oman, Dabba salah satu pelabuhan Oman, Maharah di antara Aden dan Oman, Aden, Sana, Rabyah di Hadramaut, Ukaz di ujung Nejd dekat Thaif, Dzul Majaz dekat Thaif, Mina, Nazat dekat Khaybar, Hijr di Yamamah dan Bashrah di Syiria.[9]

 

Pada awalnya, orang-orang Arab hanya memanfaatkan jalur ini untuk kepentingan ekonomi semata. Baru kemudian setelah Muhammad memulai misi kenabiannya, berita tumbuh dan berkembangnya Islam yang terjadi di sana dapat dengan cepat tersebar dan diketahui orang banyak.[10]

 

Bahasa, Budaya dan Karakter Bangsa Arab

  Abu Hasan Ali An Nadawi menyebutkan adanya faktor kelebihan karakteristik bangsa Arab yang membuat mereka pantas menyandang tugas memperbarui peradaban manusia. Yaitu; hati mereka bersih, kebanyakan mereka memiliki kemauan yang kuat, suka berterus terang dan to the point, mereka menghormati kejujuran, kuat menjaga amanah dan berani serta mereka itu pada umumnya berjiwa bebas dan egaliter.[11] Mereka juga pada umumnya dermawan, menjaga harga diri, santun dan bersahaja.[12] Karakter semacam  ini,  menurut    Mubarakfury disebabkan  karena  belum  adanya  agama  atau peradaban besar yang mempengaruhi  pola fi
kir
bangsa Arab ketika itu.[13] Ramadhan Al Buthi menjelaskan hal ini membuat pola fikir bangsa Arab pada umumnya ummy, maksudnya bersih dari ideology-ideologi.[14] Kondisi masyarakat yang seperti ini lebih cocok untuk menyemaikan suatu ajaran baru karena hati dan jiwa yang masih bersih (kosong) cenderung lebih mudah menerima suatu pengetahuan ketimbang hati dan jiwa yang sudah terisi pengetahuan sebelumnya.

Juga  karena  kondisi  jazirah  yang  kering  dan  berbukit-bukit  seolah  menjadi benteng alam yang melindungi penduduknya dari kemungkinan ekspansi bangsa-bangsa lain. Kondisi alam yang kering dan keras melahirkan jiwa-jiwa bebas dan pemberani.[15] Karakter ini bersama karakter-karakter yang disebutkan Syaikh An Nadawi sebelumnya terbukti sangat dibutuhkan bagi perjuangan menyebarkan Islam di kemudian hari.

Karakter dan budaya ini mempengaruhi pembentukan bahasa yang digunakan masyarakat. Bahasa Arab adalah bahasa yang tumbuh dan berkembang mengikuti sifat dan karakter bangsa Arab yang terbuka. Ia tidak banyak mengandung kiasan-kiasan. Idiom-idiomnya menjelaskan maksud dan arti kata sebagaimana adanya, tidak ada sayap- sayap. Bahasa Arab juga adalah bahasa yang sangat detail membedakan suatu hakikat dengan hakikat yang lainnya. Karakter bahasa seperti ini juga sangat baik untuk menjelaskan maksud dari pernyataan-pernyataan. Karakter bahasa semacam inilah yang sesuai untuk menjelaskan hakikat, maksud dan tujuan-tujuan Islam dengan benar dan jelas.

 

Tradisi Monotheisme

Sejak beratus-ratus tahun yang lalu, Jazirah Arab adalah salah satu tempat diturunkannya para Nabi untuk mengajarkan kepada manusia tentang keEsaan Tuhan (tauhid). Nabi Hud diutus kepada kaum Aad, di suatu wilayah bernama Ahqaf, yang terletak antara Yaman dan Oman.[16]

Nabi Saleh dikirim kepada kaum Tsamud yang mendiami sebuah wilayah antara Hijaz dan Syam yang disebut Hijr.  Lokasi tempat tinggal Kaum Tsamud dapat diketahui dari hadits Nabi Muhammad SAW ketika Perang Tabuk tahun 630 M. Tabuk saat ini provinsi di  utara Arab Saudi. Tabuk berbatasan dengan  Provinsi Madinah di  selatan. Dalam Perang Tabuk, pasukan Rasulullah melintasi Al-Hijr sekitar 400 kilometer dari Madinah dan 500 kilometer dari Petra di Yordania.[17] Al Hijr disebut juga oleh orang-orang Arab dengan Madain Saleh (Kota Nabi Saleh).[18]

Nabi Hud berdakwah sampai akhir hayatnya dan dimakamkan di Hadramaut. Sedangkan Nabi Saleh pasca kaumnya diazab, hijrah ke Ramallah Palestina bersama 120 pengikutnya. Sebagian riwayat menyebutkan beliau hijrah ke Mekkah sampai wafatnya dan di makamkan di sana.[19]

Kemudian Nabi Ibrahim mengajarkan tauhid dan membangun peradaban di Mekkah. Sepeninggal beliau,  Nabi  Ismail  melanjutkan dakwahnya sampai ajarannya dianut penduduk Jazirah Arab dan sekitanya. Kebanyakan orang Arab pada masa-masa menjelang turunnya Islam mengklaim bahwa mereka mengikuti millah (agama) Nabi Ibrahim. Mereka menjalankan beberapa ritual peninggalan Nabi Ibrahim seperti Haji dan Qurban.

Di Mekkah pula, untuk keperluan peribadatan monotheistik itu, Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail membangun Ka’bah. Al Quran menceritakan tentang hal itu.

 

وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَاهِيمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَإِسْمَاعِيلُ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

 

Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): "Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Al Baqarah127)

 

At  Thabary  menjelaskan  bahwa  Ibrahim  membangun  pondasi  Kabah  yang sebelumnya dibangun oleh Nabi Adam.[20]

 

إِنَّ أَوَّلَ بَيْتٍ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِي بِبَكَّةَ مُبَارَكًا وَهُدًى لِلْعَالَمِينَ

Sesungguhnya rumah  yang  mula-mula dibangun untuk  (tempat beribadah) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia.(Ali Imran 96)

 

Dzahir ayat ini menjelaskan bahwa Ka’bah adalah bangunan pertama yang khusus dibangun untuk menyembah Allah. Jadi Kabah adalah symbol Tauhid yang akan memudahkan manusia mengingat kembali agama yang telah diajarkanNya melalui para nabi yang diutusNya. Sangat lazim jika tempat dimana bermulanya risalah tauhid diajarkan, juga menjadi tempat penutup dan penyempurna risalah tauhid itu.

Daftar Pustaka

Akbar, Ali Arkeologi Al Quran, Lembaga Kajian dan Peminatan Sejarah, Depok, 2020.

Armstrong, Karen, Muhammad, Prophet of Our Time, terjemahan, Bandung, Mizan, 2013.

Fauzia, Ika Yunia & Abdul Kadir Riyadi, Prinsip Dasar Ekonomi Islam, Perspektif Maqashid Syari’ah, Jakarta, Kencana Prenada Media, 2014

Haekal, Muhammad  Husain, Sejarah  Hidup  Muhammad,  terjemahan,  Pustaka  Akhlaq, Indonesia, 2015.

Kholil, Munawar,    Kelengkapan  Tarikh  Nabi  Muhammad  saw,  Jakarta,  Gema  Insani Press,2001.

al Mubarakfury, Shafiyurrahman, Ar Rahiq Al Maktum, terjemahan, Jakarta, Robbani Press, 2002.

Al Nadawy, Abu Hasan Ali Sirah Nabawiyah, Jeddah, Darusy Syuruq, 1979.

Souyb, Yousuf Orientalisme dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1985.

Al Thabary, Abu Jafar, Jami’ul Bayan fii Ta’wil Al Quran, Muasasah Ar Risalah, 2000.

Van Leur, J.C., Perdagangan dan Masyarakat Indonesia, terjemahan, Yogyakarta, Penerbit Ombak, 2015.



[1] Muhammad  Husain  Haekal,  Sejarah  Hidup  Muhammad,  terjemahan,  Pustaka  Akhlaq, Indonesia, 2015, hlm.56.

[2] Haekal, ibid,hlm.58.

[3] Haikal, ibid, hlm.62

[4] Shafiyurrahman Al Mubarakfury, Ar Rahiq Al Maktum, terjemahan, Jakarta, Robbani Press, 2002, hlm.1.

[5] Munawar  Kholil,  Kelengkapan  Tarikh  Nabi  Muhammad  saw,  Jakarta,  Gema  Insani

Press,2001, Jilid 1, hlm.13.

[6] Yousuf Souyb, Orientalisme dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1985, hlm.56.

[7] J.C. Van Leur, Perdagangan dan Masyarakat Indonesia, terjemahan, Yogyakarta, Penerbit

Ombak, 2015, hlm.5.

[8] Karen Amstrong, Muhammad, Prophet of Our Time, terjemahan, Bandung, Mizan, 2013, hlm. 42.

[9] Ika Yunia Fauzia & Abdul Kadir Riyadi, Prinsip Dasar Ekonomi Islam, Perspektif Maqashid Syari’ah, Jakarta, Kencana Prenada Media, 2014, hlm. 198-199.

[10] Haikal, op.cit, hlm.66.

 

[11] Abu Hasan Ali An Nadawy, Sirah Nabawiyah, Jeddah, Darusy Syuruq, 1979, hlm.36

[12] Al Mubarakfury, op.cit, hlm. 45.

[13] Al Mubarakfury, ibid, hlm. 45.

[14] Ramadhan Al Buthy, op.cit, hlm.6

[15] Al Mubarakfury, loc.cit, hlm.1.

[16] Munawar Kholil, op.cit, hlm 20

[17] Ali Akbar, Arkeologi Al Quran, Lembaga Kajian dan Peminatan Sejarah, Depok, 2020, hlm.137.

[18] Ali Akbar, ibid,hlm.138.

[19] Munawar Kholil, op.cit, hlm 21.

[20] Abu Jafar, Jami’ul Bayan fii Ta’wil Al Quran, Muasasah Ar Risalah, 2000, Juz 3, hlm.57.

 

Comments


EmoticonEmoticon