oleh Wahyu Bhekti Prasojo
Agama, Peradaban dan Politik
Sejak ribuan tahun, bangsa-bangsa membangun peradaban dengan segala aspeknya, mulai ilmu pengetahuan, teknologi, pertanian, perdagangan, militer dan lain
sebagainya
dengan
bersumber
dari agama.[1] Meskipun
agama
yang menjadi sumber peradaban itu berbeda-beda.
Pada lingkungan masyarakat yang menyandarkan
peradabannya kepada sumber
agama seperti itulah, para Rasul yang membawa agama-agama dilahirkan. Di Mesir, Nabi Musa
dilahirkan dan dibesarkan dalam asuhan Fir’aun. Setelah menghadapi tentangan
bangsa Mesir terhadap dakwahnya, beliau lalu hijrah ke Palestina.
Di Palestina, Nabi Isa dilahirkan. Murid-muridnya
kemudian menyebarkan ajarannya sehingga mereka mengalami banyak penganiayaan.
Namun kemudian agama
Kristen menyebar
luas di tangan bangsa Romawi, sehingga sebagian
besar
wilayah kekuasaannya menganutnya.
Di wilayah Timur Tengah daerah daerah seperti Suriah, Libanon dan Palestina juga menganut Kristen. Dari Mesir, Kristen lalu menyebar ke Sudan dan Ethiopia
di arah selatan. Sementara itu, di Persia, ada agama
Majusi juga mendapat pengikut yang luas hingga Timur Jauh dan India.
Selama berabad-abad Barat
dan Timur saling menghormati keyakinan agama
masing-masing. Peradaban Asyiria dan Mesir Kuno yang membentang sepanjang Funisia
telah menghalangi perbenturan di antara peradaban-peradaban
yang tumbuh di kedua sisinya. Sampai ketika Mesir dikuasai Romawi, terbukalah penghalang itu karena sifat
Romawi yang ekspansif.
Dengan dikuasainya Mesir, mereka langsung berbatasan dengan
Persia di Timur.[2]
Secara geopolitis kondisi ini
menempatkan Jazirah Arab di tengah kekuatan-
kekuatan politik besar dunia yang merupakan
pesaing bagi hegemoni Islam di masa
datang. Pada awal abad ke enam itu, kedua kekuatan itu telah mulai berbenturan, melalui konflik-konflik di antara beberapa negara kecil di wilayah Jazirah Arab yang menjadi vasal kedua negara besar itu.[3]
Dalam pertarungan yang panjang, Persia nampak unggul pada awalnya. Motifnya politik dan ekonomi. Orang-orang Persia tidak berminat mengajarkan agamanya kepada orang-orang Romawi. Mereka tetap pada keyakinan mereka masing-masing, begitu pula ketika pada akhirnya Romawi memenangi persaingan
itu. Namun demikian
persaingan yang panjang itu telah membawa
kedua negara kepada keruntuhan masing-masing.
Romawi
kemudian kalah bersaing dengan Bizantium
yang sama-sama Kristen. Sedangkan Persia mengalami kemunduran karena sebab-sebab internal sampai kemudian -nantinya- ditaklukkan Islam.
Lalu-lintas Perdagangan
Secara geografis letak semenanjung
Arab strategis.[4]
Ia berada diantara benua Asia dan Afrika, seolah-olah berada
di pusat dunia. Munawar Kholil menyebutnya seperti Hati
Bumi (dunia).[5] Ia diapit oleh wilayah-wilayah berpenduduk ramai di utara, barat dan timur. Sedangkan di selatan adalah laut. Situasi ini sekaligus menempatkan Jazirah Arab pada jalur perdagangan antar bangsa. Mereka yang datang dari barat (afrika terutama
bagian utara), barat laut dan utara (eropa) lewat darat (jalur sutra atau silk road) bertemu dengan yang dari timur
(india dan tiongkok) dan dari selatan (asia tenggara) melalui jalur pelayaran
(sea road)[6] di jazirah
arab yaitu di pelabuhan-pelabuhan Yaman. Jalur perdagangan laut ini telah dilalui pedagang
internasional selama berabad-abad, dalam
berbagai periode.[7] Mekkah, yang dilewati jalur
ini
juga tumbuh
menjadi kota perdagangan internasional. Para pedagang dan pemodalnya telah menjadi
kaya raya melebihi harapan mereka sendiri.[8] Jalur ini melewati pasar-pasar antara lain;
Fumatul Jandal di ujung
utara Hijaz dekat perbatasan Syiria, Mushshaqar di Bahrain, Suhar di Oman, Dabba salah satu pelabuhan Oman, Maharah di
antara Aden dan Oman, Aden, San’a, Rabyah di Hadramaut, Ukaz di ujung
Nejd dekat Thaif, Dzul Majaz dekat Thaif, Mina,
Nazat dekat Khaybar, Hijr di Yamamah dan Bashrah di Syiria.[9]
Pada awalnya, orang-orang Arab hanya memanfaatkan jalur ini untuk kepentingan
ekonomi semata. Baru kemudian setelah Muhammad memulai misi kenabiannya, berita
tumbuh dan berkembangnya
Islam yang terjadi di sana dapat dengan cepat tersebar dan
diketahui orang banyak.[10]
Bahasa, Budaya dan Karakter Bangsa Arab
kir bangsa Arab ketika itu.[13] Ramadhan Al Buthi menjelaskan
hal
ini membuat pola fikir bangsa Arab pada umumnya ummy, maksudnya bersih dari ideology-ideologi.[14] Kondisi
masyarakat yang seperti ini lebih cocok untuk menyemaikan suatu ajaran baru karena hati dan jiwa yang masih bersih
(kosong) cenderung lebih mudah menerima suatu pengetahuan ketimbang
hati dan jiwa yang sudah terisi pengetahuan sebelumnya.
Juga karena
kondisi
jazirah yang
kering dan
berbukit-bukit
seolah menjadi
benteng alam yang melindungi penduduknya dari kemungkinan
ekspansi bangsa-bangsa lain. Kondisi
alam yang kering dan keras melahirkan jiwa-jiwa bebas dan pemberani.[15] Karakter ini bersama karakter-karakter yang disebutkan Syaikh An Nadawi sebelumnya
terbukti sangat dibutuhkan bagi perjuangan menyebarkan Islam di kemudian hari.
Karakter dan budaya ini mempengaruhi pembentukan bahasa yang digunakan masyarakat. Bahasa Arab adalah bahasa yang tumbuh dan berkembang mengikuti sifat dan karakter bangsa Arab yang terbuka. Ia tidak banyak mengandung kiasan-kiasan. Idiom-idiomnya menjelaskan maksud dan arti kata sebagaimana adanya, tidak ada sayap-
sayap. Bahasa Arab juga adalah bahasa yang sangat detail membedakan
suatu hakikat dengan hakikat yang lainnya. Karakter
bahasa seperti ini juga sangat baik untuk
menjelaskan maksud dari pernyataan-pernyataan. Karakter bahasa semacam inilah yang
sesuai untuk menjelaskan hakikat, maksud dan tujuan-tujuan Islam dengan benar dan
jelas.
Tradisi Monotheisme
Sejak beratus-ratus tahun yang lalu,
Jazirah Arab adalah salah satu tempat diturunkannya para
Nabi untuk mengajarkan kepada manusia
tentang keEsaan Tuhan (tauhid). Nabi Hud
diutus
kepada kaum ‘Aad,
di suatu wilayah bernama ‘Ahqaf, yang terletak antara Yaman dan Oman.[16]
Nabi Saleh dikirim kepada kaum Tsamud yang mendiami sebuah wilayah antara Hijaz dan Syam yang disebut Hijr. Lokasi tempat tinggal Kaum Tsamud dapat diketahui dari hadits
Nabi Muhammad SAW ketika Perang Tabuk tahun 630 M. Tabuk saat ini provinsi di utara Arab Saudi. Tabuk berbatasan dengan Provinsi
Madinah di selatan. Dalam Perang Tabuk, pasukan Rasulullah melintasi Al-Hijr sekitar 400 kilometer dari Madinah dan 500 kilometer dari Petra di Yordania.[17] Al Hijr disebut juga oleh orang-orang Arab dengan Madain Saleh (Kota Nabi Saleh).[18]
Nabi Hud berdakwah sampai akhir hayatnya dan dimakamkan di Hadramaut.
Sedangkan
Nabi Saleh pasca kaumnya diazab, hijrah ke Ramallah Palestina bersama 120
pengikutnya. Sebagian riwayat menyebutkan beliau hijrah ke Mekkah sampai wafatnya
dan
di makamkan di sana.[19]
Kemudian Nabi Ibrahim mengajarkan tauhid dan membangun peradaban di Mekkah. Sepeninggal beliau, Nabi
Ismail
melanjutkan dakwahnya sampai ajarannya
dianut penduduk Jazirah Arab dan sekitanya. Kebanyakan orang Arab pada masa-masa
menjelang turunnya Islam mengklaim bahwa mereka mengikuti millah
(agama) Nabi
Ibrahim. Mereka menjalankan
beberapa ritual peninggalan
Nabi Ibrahim seperti Haji dan Qurban.
Di Mekkah
pula, untuk keperluan peribadatan monotheistik itu, Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail membangun Ka’bah. Al Qur’an menceritakan tentang hal itu.
وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَاهِيمُ
الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَإِسْمَاعِيلُ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ
أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): "Ya Tuhan kami terimalah daripada
kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Al Baqarah127)
At Thabary
menjelaskan
bahwa Ibrahim
membangun pondasi Ka’bah yang sebelumnya dibangun oleh Nabi Adam.[20]
إِنَّ أَوَّلَ
بَيْتٍ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِي بِبَكَّةَ مُبَارَكًا وَهُدًى لِلْعَالَمِينَ
Sesungguhnya rumah yang
mula-mula dibangun untuk
(tempat beribadah) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk
bagi semua manusia.(Ali Imran 96)
Dzahir ayat
ini menjelaskan bahwa Ka’bah adalah bangunan pertama yang khusus dibangun untuk menyembah Allah. Jadi Ka’bah adalah symbol Tauhid yang akan
memudahkan manusia mengingat kembali agama yang telah diajarkanNya melalui para nabi yang
diutusNya. Sangat
lazim jika tempat dimana bermulanya risalah tauhid
diajarkan, juga menjadi tempat penutup
dan penyempurna risalah tauhid itu.
Daftar Pustaka
Akbar, Ali Arkeologi Al Quran, Lembaga Kajian dan Peminatan Sejarah, Depok, 2020.
Armstrong, Karen, Muhammad, Prophet of Our Time, terjemahan, Bandung, Mizan, 2013.
Fauzia, Ika Yunia &
Abdul Kadir Riyadi, Prinsip Dasar Ekonomi Islam, Perspektif Maqashid
Syari’ah, Jakarta, Kencana Prenada Media, 2014
Haekal, Muhammad Husain, Sejarah Hidup Muhammad, terjemahan,
Pustaka
Akhlaq,
Indonesia, 2015.
Kholil, Munawar, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad saw, Jakarta,
Gema
Insani Press,2001.
al Mubarakfury, Shafiyurrahman, Ar
Rahiq Al Maktum,
terjemahan, Jakarta, Robbani Press, 2002.
Al Nadawy, Abu Hasan Ali Sirah Nabawiyah, Jeddah, Darusy Syuruq, 1979.
Sou’yb, Yousuf Orientalisme dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1985.
Al Thabary, Abu Ja’far, Jami’ul Bayan fii Ta’wil Al Qur’an, Muasasah Ar Risalah, 2000.
Van Leur, J.C., Perdagangan dan Masyarakat Indonesia, terjemahan, Yogyakarta, Penerbit Ombak, 2015.
[1] Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad,
terjemahan, Pustaka Akhlaq, Indonesia, 2015, hlm.56.
[2] Haekal, ibid,hlm.58.
[3] Haikal, ibid, hlm.62
[4] Shafiyurrahman Al Mubarakfury, Ar
Rahiq Al Maktum,
terjemahan, Jakarta, Robbani Press, 2002, hlm.1.
[5] Munawar Kholil,
Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad saw,
Jakarta,
Gema
Insani
Press,2001, Jilid 1,
hlm.13.
[6] Yousuf Sou’yb, Orientalisme dalam Islam,
Jakarta, Bulan Bintang, 1985,
hlm.56.
[7] J.C. Van Leur, Perdagangan dan Masyarakat Indonesia, terjemahan, Yogyakarta, Penerbit
Ombak, 2015, hlm.5.
[8] Karen Amstrong, Muhammad, Prophet of Our Time, terjemahan, Bandung, Mizan, 2013, hlm. 42.
[9] Ika Yunia Fauzia & Abdul Kadir Riyadi, Prinsip Dasar
Ekonomi Islam, Perspektif Maqashid Syari’ah, Jakarta, Kencana Prenada
Media, 2014, hlm. 198-199.
[10] Haikal, op.cit, hlm.66.
[11] Abu
Hasan Ali An Nadawy, Sirah Nabawiyah, Jeddah, Darusy Syuruq, 1979, hlm.36
[12] Al Mubarakfury, op.cit, hlm. 45.
[13] Al Mubarakfury, ibid, hlm. 45.
[14] Ramadhan Al Buthy, op.cit, hlm.6
[15] Al Mubarakfury, loc.cit, hlm.1.
[16] Munawar Kholil, op.cit, hlm 20
[17] Ali Akbar, Arkeologi Al Quran,
Lembaga Kajian dan Peminatan Sejarah, Depok, 2020,
hlm.137.
[18] Ali Akbar, ibid,hlm.138.
[19] Munawar Kholil, op.cit, hlm 21.
[20] Abu
Ja’far, Jami’ul Bayan fii Ta’wil Al Qur’an,
Muasasah Ar Risalah, 2000, Juz 3,
hlm.57.