Wahyu
Bhekti Prasojo
Pengertian
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata pendekatan diartikan sebagai; (1) proses, cara, perbuatan
mendekati (hendak berdamai, bersahabat, dan sebagainya). Contoh: 'pendekatan yang
telah dilakukannya selama ini tampaknya tidak berhasil'. (2) usaha dalam rangka
aktivitas penelitian untuk mengadakan hubungan dengan orang yang diteliti,
metode untuk mencapai pengertian tentang masalah penelitian; acangan;[1]
Dalam
term ini, pendekatan
adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu yang
selanjutnya digunakan dalam memahami agama.
Berikut akan dijelaskan
beberapa pendekatan studi Islam, yang umumnya meliputi: (1) Pendekatan Teologis
Normatif; (2) Pendekatan Antropologis; (3) Pendekatan Sosiologis; (4)
Pendekatan Filosofis; (5) Pendekatan Historis; (6) Pendekatan Psikologis;
(7) Pendekatan Ideologis Komprehensif; dan (8) Pendekatan
Kebudayaan.
1.
Pendekatan Teologis Normatif
Pendekatan
teologis normatif dalam memahami agama secara harfiah dapat
diartikan sebagai upaya memahami agama dengan menggunakan kerangka Ilmu
Ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan bahwa wujud empirik dari suatu
keagamaan dianggap sebagai yang paling benar dibandingkan dengan lainnya.[2] Pendekatan normatif dapat
diartikan studi Islam yang memandang masalah dari sudut legal formal atau dari
segi normatifnya. Dengan kata lain, pendekatan normatif lebih melihat studi
Islam dari apa yang tertera dalam teks Alquran dan Hadits.
Pendekatan
teologis normatif dalam pemahaman keagamaan adalah pendekatan yang menekankan
pada pada bentuk forma atau simbol-simbol keagamaan yang masing-masing bentuk
forma atau simbol-simbol keagamaan tersebut mengklaim dirinya sebagai yang paling
benar sedangkan yang lainnya sebagai salah. Aliran teologi
yang seperti itu yakin dan fanatik bahwa pemahamannyalah yang benar
sedangkan paham yang lainnya dianggap salah, sehingga memandang paham orang
lain itu keliru, sesat, kafir, murtad, dan seterusnya.[3]
Di
sisi lain, melalui
pendekatan teologis normatif ini, seseorang dapat memiliki sikap militansi dalam
beragama, yakni berpegang teguh kepada yang diyakininya. Amin
Abdullah menyebutkan sebagai dedikasi yang tinggi karena berfikir sebagai
pelaku agama bukan sebagai pengamat.[4]
Harun Nasution menyebutkan sebagai memberi landasan yang kokoh tidak mudah
terombang-ambing oleh pergeseran zaman.[5]
2. Pendekatan
Antropologis
Dalam
konteksnya sebagai metodologi, objek kajian Antropologi adalah masyarakat apa
adanya, mencakup unsur-unsur tradisional, mengenai aneka warna, bahasa-bahasa
dan sejarah perkembangannya serta persebarannya, dan mengenai dasar-dasar kebudayaan
manusia.
Melalui
pendekatan antropologi sosok agama yang berada pada dataran empirik akan dapat
dilihat serat-seratnya dan latar belakang mengapa ajaran agama tersebut muncul
dan dirumuskan. Antropologi berupaya melihat antara hubungan agama dengan
berbagai pranata sosial yang terjadi di masyarakat.[6]
Memahami
Agama secara antropologis adalah memahami kecenderungan praktek keagamaan dalam
latar budaya masyarakat yang luas untuk memahami pandangan keagamaannya (religius
views). Dengan memahami pandangan keagamaan masyarakat, kita
akan dapat melakukan perubahan sosial (social engineering) dalam masyarakat
itu. Misalnya, masyarakat yang terjajah cenderung memandang agama sebagai
ajaran pembebasan yang akan melepaskan mereka dari penjajahan. Maka cara
pandang ini dioptimalkan oleh para Ulama di Indonesia untuk membangkitkan
semangat rakyat memperjuangkan kemerdekaan.
3. Pendekatan Sosiologis
Sosiologi merupakan sebuah
kajian ilmu yang berkaitan dengan aspek hubungan sosial manusia antara
yang satu dengan yang lain, atau antara kelompok yang satu dengan yang lain.
Pendekatan Sosiologi merupakan sebuah pendekatan dalam memahami Islam dari
kerangka ilmu sosial, atau yang berkaitan dengan aspek hubungan sosial manusia
antara yang satu dengan yang lain, atau antara kelompok yang satu dengan yang
lain.
Pendekatan
ini memandang bahwa agama Islam bahkan dalam ajarannya yang bersifat ritual, sangat
memperhatikan masalah-masalah sosial.[7]
Misalnya dalam sholat berjama’ah, imam dianjurkan tidak memanjangkan bacaan
alqurannya untuk memberi kemudahan bagi orang-orang tua, orang yang mungkin
sedang terdesak urusan penting dan lain-lain. Banyak kifarat penghapus dosa
juga bernuansa sosial. Misalnya dosa menzhihar isteri[8],
kafaratnya yang paling ideal memerdekakan budak. Jika tidak mampu, berpuasa 2
bulan berturut-turut. Jika tidak mampu, memberi makan 60 orang miskin.[9]
Dari 3 level hukuman ini, ada 2 yang berkaitan erat dengan masalah sosial,
yaitu memerdekakan budak dan memberi makan orang miskin.
Selanjutnya,
bahwa untuk mengamalkan sebuah anjuran agama, seseorang mesti mempertimbangkan
situasi sosial yang berkembang dalam lingkungan di mana seseorang tinggal.
Contoh yang paling umum, misalnya para ulama menganjurkan seorang muslim
menghormati madzhab fiqih kebanyakan orang dalam suatu lingkungan. Contoh
lainnya, Nabi saw pernah menganjurkan kepada orang yang memasak daging agar
memperbanyak kuahnya, supaya kuahnya itu bisa dibagikan kepada tetangga.[10]
Pertanyaannya, mungkinkah kita hanya membagi kuah kepada tetangga, dalam
situasi masyarakat kita di sini?
Maka
dengan memahami situasi latar sosial suatu masyarakat, diharapkan agama dapat
diamalkan secara proporsional.
4. Pendekatan Filosofis
Metode filsafat berusaha untuk
sampai kepada kesimpulan-kesimpulan yang universal dengan meneliti akar
permasalahannya. Metode ini bersifat mendasar dengan cara radikal dan integral,
karena memperbincangkan sesuatu dari segi esensi (hakikat sesuatu). Fuad Hasan
berpendapat tentang filsafat sebagai ikhtiar untuk berpikir radikal. Maksud
radikal adalah mulai dari radiks (akar)nya gejala yang muncul, dengan jalan
penjajakan yang radikal itulah filsafat berusaha untuk menyimpulan secara
universal.[11]
Ibnu
Taymiyah cenderung
berkesimpulan, bahwa filsafat adalah paham (isme) di luar agama para nabi.
Ditambah lagi, filsafat memang ajaran yang murni dihasilkan oleh akal manusia.[12] Jika demikian
faktanya, maka jelas filsafat itu—baik sebagai ajaran maupun pengetahuan—tidak
ada dalam Islam. Sebab, Islam telah mengajarkan
tentang al-haq (kebenaran) dan al-khair (kebaikan),
termasuk cara pandang yang khas tentang keduanya. Bukan hanya itu, Islam juga
telah menjelaskan hakikat dan batasan akal, metode berpikir dan pemikiran yang
dihasilkannya.
Sementara,
Hamka menerima filsafat dengan menyebutnya sebagai pengetahuan tentang hikmah.[13]
Karena, secara teoretis, filsafat menawarkan tentang apa itu kebenaran (sesuatu
yang dapt difahami). Secara praktis, filsafat menawarkan tentang apa itu
kebaikan (sesuatu yang dapat diamalkan). Serta bagaimana mencapai keduanya
(metodologi). Dari dua spektrum inilah filsafat dapat digunakan untuk memahami
berbagai aspek kehidupan, sekaligus memberikan tawaran-tawaran solutifnya. Akan
tetapi, manusia tidak selalu dapat memahami hikmah dengan segera. Manusia juga
butuh bimbingan Allah untuk dapat memahami hikmah dibalik peristiwa.
5. Pendekatan
Historis
Dalam
Kamus Umum Bahasa Indonesia sejarah diartikan sebagai kejadian dan peristiwa
yang benar-benar terjadi pada masa yang lampau atau peristiwa penting yang
benar-benar terjadi.[14] Dalam
bahasa Inggris, sejarah setara dengan history yaitu; branch of knowledge dealing with past
events, political, social, economic, of the country, continent or the world.[15]
Sedangkan dalam bahasa Arab, sejarah disebut
dengan at Tarikh (.(التاريخ
جملة الأحوال والأحداث
التي يمر بها كائن ما, ويصدق على الفرد والمجتمع, كما يصدق على الظواهر الطبيعية
والإنسانية[16]
Pendekatan
sejarah memandang bahwa teks-teks agama turun dalam konteks sejarah. Maka
pemahaman terhadap teks juga harus memperhatikan dalam konteks sejarah yang
mana teks (ayat) itu diturunkan atau diucapkan (hadits). Muhammad Arkoun menyebutkan
bahwa warisan
pemikiran Islam bukanlah sesuatu yang ahistoris. Ia berkait kelindan dengan
realitas yang mengitarinya.[17]
Contohnya,
Nabi saw pernah memerintahkan kepada kaum muslimin, jika bertemu dengan ahli
kitab di jalan, maka pepetlah mereka sehingga mereka tersingkir ke pinggir
jalan (Muslim. Shahih)[18].
Bagaimana kita memahaminya dan mengamalkannya?
Ternyata
jika ditelusuri latar sejarahnya, perintah ini diinstruksikan Nabi saw, kepada
pasukan Pemerintah Madinah yang sedang mengepung benteng Bani Qainuqa (Yahudi)
dalam opersai memadamkan pengkhianatan dan pemberontakan mereka. Jadi perintah
tersebut di atas bukan perintah dalam situasi damai.
Maka
lahirlah ilmu-ilmu Asbabun Nuzul untuk memahami teks Quran secara sejarah,
Asbabul Wurud untuk memahani teks hadit secara sejarah. Penggagas ilmu-ilmu ini
antara lain, Ali bin Madini (guru Imam Bukhary), Abu Hasan Al Wahidy[19],
Abu Hafs Al Ukbary, Abu Hamid Al Jubary.[20]
Demikian
pula ilmu-ilmu lainnya dalam Islam seperti metode tasyri’ (metode
pembentukan hukum) dan lain-lain yang tidak dapat dilepaskan dari latar sejarah
masyarakat di mana suatu ketentuan hukum dirumuskan.
6. Pendekatan Psikologis
Psikologi mempelajari tentang
jiwa seseorang melalui gejala perilaku yang dapat diamati. Dalam konteks studi
agama, pendekatan Psikologis diartikan sebagai penerapan metode-metode dan data
psikologis ke dalam studi tentang keyakinan dan pemahaman keagamaan untuk
menjelaskan gejala atau sikap keagamaan seseorang.
Perbedaan psikologi Islam dan
psikologi Barat tampak menonjol pada konsepsinya tentang manusia dan metode
analisis yang digunakan. Psikologi Barat mutlak menggunakan kemampuan rasio
sebagai patokan dalam mengungkap kejiwaan manusia, sedangkan psikologi Islam
mendekatinya dengan memfungsikan rasio dan keimanan sekaligus. Ditinjau dari
segi obyek analisisnya pun cukup berbeda, psikologi Barat tertuju pada dimensi
fisik-biologi, dimensi kejiwaan, dan dimensi sosiokultural. Sementara itu
psikologi Islam lebih menjangkau pada dimensi kerohanian, dimensi spiritual,
suatu wilayah yang menjadi pantangan bahkan tidak pernah disentuh oleh
pemikiran Barat karena perbedaan landasan.[21]
Dalam hal ini, pendekatan
psikologis mementingkan bagaimana keyakinan agama terlihat pengaruhnya dalam
perilaku penganutnya. Penerapan pendekatan ini dalam studi Islam
dapat dilihat, misalnya pada pengaruh yang ditimbulkan oleh ibadah puasa, dan
haji terhadap perilaku yang nampak setelah ibadah tersebut dilakukan.
Pendekatan ini nampak bersifat
asumtif dan individualis, sehingga tidak komprehensif, karena pendekatan ini hanya berbicara
tentang perilaku keagamaan
para pemeluk Agama.
Agama boleh jadi bagi sebagian orang adalah ibadah ritual, bagi sebagian
lagi adalah pengabdian bagi kemanusiaan, bagi yang lainnya adalah persiapan menghadapi
kematian, dan lain sebagainya.[22]
7. Pendekatan Ideologis
Komprehensif
Pendekatan ini bermula dari
realitas ajaran Islam itu sendiri secara objektif, tidak terpengaruh pandangan
subjektif keilmuan Barat. Islam adalah agama (ad-din) yang diturunkan Allah
swt. kepada Nabi Muhammad saw. untuk mengatur hubungan manusia dengan Allah,
dengan dirinya sendiri dan dengan sesamanya. Yang meliputi: (1) hubungan
manusia dengan Khaliq-nya tercakup dalam perkara akidah dan ibadah; (2)
Hubungan manusia dengan dirinya tercakup dalam perkara akhlak, makanan, dan
pakaian; (3) Hubungan manusia dengan sesamanya tercakup dalam perkara mu’amalah
(publik) dan uqubat (sanksi).
Yusuf
Al Qorodhowy menjelaskan bahwa Islam adalah syariat untuk keseluruhan totalitas
manusia, keseluruhan fase hidup manusia dan kesluruhan aspek kehidupan manusia
sebagi individu maupun sebagai anggota masyarakat. [23]
Menurut Sayyid Quthb, semua kompleksitas
Islam itu harus dapat diwujudkan dalam keseharian kaum muslimin (aktivisme
Islam).[24]
Karena
itu pendekatan Ideologis komprehensif ini adalah sebuah cara memahami Islam
yang dimulai dari sebuah pandangan bahwa Islam adalah sebuah Ideologi artinya
Islam mengurusi seluruh urusan kehidupan, sehingga harus diterapkan dalam
kehidupan. Metodologi ini menggunakan pendekatan yang integral
dimana semua ilmu keislaman original dikerahkan, mulai dari ilmu tauhid, ulumul
quran, ulumul hadits, fikih, ushul fikih, bahasa arab, dan lain sebagainya.
8.
Pendekatan Kebudayaan
Kebudayaan
menurut Koentjaraningrat adalah keseluruhan gagasan dan karya manusia yang
harus dibiasakan dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan
karyanya itu.[25]
Di dalam kebudayaan tersebut
terdapat pengetahuan, keyakinan, seni, moral, adat istiadat dan sebagainya.
Kebudayaan yang demikian selanjutnya dapat pula digunakan untuk memahami agama
yang terdapat pada tataran empiris atau agama yang tampil dalam bentuk formal
yang menggejala di masyarakat.
Dengan demikian, agama menjadi
membudaya atau membumi di tengah-tengah masyarakat. Agama yang tampil dalam
bentuknya yang demikian itu berkaitan dengan kebudayaan yang berkembang di
masyarakat tempat agama itu berkembang. Dalam Islam disebutkan sebuah
premis menyebutkan bahwa Agama membentuk budaya.
Daftar
Pustaka
Fealy, Greg dan Anthony Bubalo, Jejak Kafilah,
(Bandung, Mizan, 2007).
Hajjaj, Muslim bin, Abul Hasan Al Qusyairi An Naysabury, Shahih
Muslim, (Beyrut, Daar al Ihya at Turats al Araby, tt)
Hamka, Pelajaran
Agama Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1956).
Hornby,A.S., etc, The Advanced Learner’s
Dictionary of Current English, (Oxford University Press, 1973).
Ibrahim
Musthafa dkk, Al Mu’jam Al Wasith, (Istambul, Al
Maktabah Al Islamiyah li Tiba’ah wa an Nasyr wa at Tawzi’, 1972).
Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitas dan
Pembangunan (Jakarta, Gramedia, 1987).
Mubarok, Achmad, Psikologi Dakwah (Malang,
Madani Press, 2014).
Nasution, Harun, Teologi Islam, (Jakarta,
UI Press, 1986).
Nata, Abudin, Metodologi Studi
Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 2000).
Purwadarminta, W.J.S., Kamus Umum
Bahasa Indonesia, (Jakarta, Balai Pustaka,1991).
Al Qorodhowy, Yusuf, Al Khashaish Al
‘Aammah lil Islam, (Beyrut, Muasasah Risalah, 1983).
Rais, M.Amien, Tauhid
Sosial, (Bandung, Mizan, 1998).
As Suyuthy,
Jalaluddin, Studi Al Qur’an Komprehensif, (Surakarta, Indiva
Pustaka, 2008).
Syadali, Ahmad dan Mudzakir, Filsafat Umum,
(Bandung, Pustaka Setia, 1997),
Jurnal
Ardana, Fidia dan Meta Ratna Sari, Pembaharuan Pemikiran Muhammad
Arkoun (UIN Sultan Syarif Kasim Riau,
tt).
Mahyudi, Dedi, Pendekatan Antropologi dan
Sosiologi dalam Studi Islam, (Jurnal Ihya al Arabiyah,
Tahun ke VI Nomor 2, Juli-Desember, 2016).
Mufidah, Luk Luk Nur, Pendekatan Teologis Dalam
Kajian Islam,
(Jurnal Misykat,
Volume 02, Nomor 01, Juni 2017).
Suraiya, Ratna dan Nashrun Jauhari, Psikologi
Keluarga Islam Sebagai Disiplin Ilmu (Telaah Sejarah dan Konsep),
(Jurnal NIZHAM,
Vol. 8, No. 02 Juli-Desember 2020).
Sumber Daring
http://lib.iainpurwokerto.ac.id:8080/alhasir/indexAB.php,
Akses 27/9/2021
https://jagokata.com/arti-kata/pendekatan.html.
Arti Kata Pendekatan menurut KBBI. Akses 22/9/2021.
Rifai
Shodiq Fathoni , Pemikiran
Ibnu Taimiyah (1263-1328 M), 08 Jan, 2018, https://wawasansejarah.com/pemikiran-ibnu-taimiyah/.
Akses 27/9/2021.
[1] Arti Kata Pendekatan menurut KBBI.https://jagokata.com/arti-kata/pendekatan.html, akses
22/9/2021/10:19wib.
[2]Abudin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 2000), hlm. 28
[3] Luk Luk Nur Mufidah, Pendekatan Teologis Dalam Kajian Islam, (Misykat,
Volume 02, Nomor 01, Juni 2017), hlm. 151
[4]
Abudin Nata, loc.cit,
hlm.28.
[5] Harun Nasution, Teologi Islam, Jakarta, UI
Press, 1986), hlm.ix.
[6] Dedi Mahyudi, Pendekatan
Antropologi dan Sosiologi dalam Studi Islam, (Jurnal Ihya al
Arabiyah, Tahun ke VI Nomor 2, Juli-Desember, 2016), hlm.206.
[7] M.Amien Rais, Tauhid Sosial, (Bandung,
Mizan, 1998), hlm. 108.
[8] Menzhihar isteri, maksudnya menyamakan isteri dengan ibu.
[9] Al Mujadilah 1-4.
[10]
Muslim bin
Hajjaj Abul Hasan Al Qusyairi An Naysabury, Shahih Muslim,
(Beyrut, Daar al Ihya at Turats al Araby, tt), Juz 4, hlm.2025.
[11] Ahmad Syadali dan Mudzakir, Filsafat Umum,
(Bandung, Pustaka Setia, 1997), hlm.16.
[12] Rifai Shodiq Fathoni , Pemikiran Ibnu Taimiyah (1263-1328 M), 08 Januari 2018 -https://wawasansejarah.com/pemikiran-ibnu-taimiyah/. Akses 27/9/2021, 13:05 wib.
[13] Hamka, Pelajaran Agama Islam, (Jakarta, Bulan
Bintang, 1956), hlm.80-81.
[14] W.J.S.
Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,1991,
hal.887.
[15] A.S. Hornby, etc, The
Advanced Learner’s Dictionary of Current English, Oxford University Press,
1973, p. 469.
[16] Ibrahim Musthafa dkk, Al Mu’jam Al
Wasith, Al Maktabah Al Islamiyah li Tiba’ah wa an Nasyr wa at Tawzi’,
Istambul, 1972, hal.13.
[17]
Fidia Ardana dan Meta Ratna Sari, Pembaharuan
Pemikiran Muhammad Arkoun (UIN Sultan Syarif Kasim Riau, tt)
[18] Muslim bin Hajaj, op.cit, Juz 4, hlm.1707.
[19] Jalaluddin As Suyuthy, Studi Al Qur’an Komprehensif,
(Surakarta, Indiva Pustaka, 2008), hlm.123.
[20] http://lib.iainpurwokerto.ac.id:8080/alhasir/indexAB.php, Akses 27/9/2021 :
14:56 wib.
[21] Ratna Suraiya dan
Nashrun Jauhari, Psikologi Keluarga Islam Sebagai Disiplin Ilmu (Telaah
Sejarah Dan Konsep), (Jurnal NIZHAM, Vol.
8, No. 02 Juli-Desember 2020), hlm.164.
[22] Achmad Mubarok, Psikologi Dakwah (Malang,
Madani Press, 2014), hlm.5.
[23] Yusuf Al Qorodhowy, Al
Khashaish Al ‘Aammah lil Islam, (Beyrut, Muasasah Risalah, 1983), hlm.108-111.
[24] Greg Fealydan Anthony Bubalo, Jejak Kafilah,(Bandung,
Mizan, 2007), hlm.28.
[25] Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitas dan
Pembangunan (Jakarta, Gramedia, 1987), hlm.9.