Beberapa Pendekatan dalam Studi (Agama) Islam - Saungpikir

Monday, September 27, 2021

Beberapa Pendekatan dalam Studi (Agama) Islam

 



Wahyu Bhekti Prasojo

Pengertian

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata pendekatan diartikan sebagai; (1) proses, cara, perbuatan mendekati (hendak berdamai, bersahabat, dan sebagainya). Contoh: 'pendekatan yang telah dilakukannya selama ini tampaknya tidak berhasil'. (2) usaha dalam rangka aktivitas penelitian untuk mengadakan hubungan dengan orang yang diteliti, metode untuk mencapai pengertian tentang masalah penelitian; acangan;[1] 

Dalam term ini, pendekatan adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami agama.

Berikut akan dijelaskan beberapa pendekatan studi Islam, yang umumnya meliputi: (1) Pendekatan Teologis Normatif; (2) Pendekatan Antropologis; (3) Pendekatan Sosiologis; (4)  Pendekatan Filosofis; (5) Pendekatan Historis; (6) Pendekatan Psikologis; (7) Pendekatan Ideologis Komprehensif; dan (8) Pendekatan Kebudayaan.

1. Pendekatan Teologis Normatif

Pendekatan teologis normatif dalam memahami agama secara harfiah dapat diartikan sebagai upaya memahami agama dengan menggunakan kerangka Ilmu Ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan bahwa wujud empirik dari suatu keagamaan dianggap sebagai yang paling benar dibandingkan dengan lainnya.[2] Pendekatan normatif dapat diartikan studi Islam yang memandang masalah dari sudut legal formal atau dari segi normatifnya. Dengan kata lain, pendekatan normatif lebih melihat studi Islam dari apa yang tertera dalam teks Alquran dan Hadits.

Pendekatan teologis normatif dalam pemahaman keagamaan adalah pendekatan yang menekankan pada pada bentuk forma atau simbol-simbol keagamaan yang masing-masing bentuk forma atau simbol-simbol keagamaan tersebut mengklaim dirinya sebagai yang paling benar sedangkan yang lainnya sebagai salah. Aliran teologi yang  seperti itu yakin dan fanatik bahwa pemahamannyalah yang benar sedangkan paham yang lainnya dianggap salah, sehingga memandang paham orang lain itu keliru, sesat, kafir, murtad, dan seterusnya.[3] 

Di sisi lain, melalui pendekatan teologis normatif ini, seseorang dapat memiliki sikap militansi dalam beragama, yakni berpegang teguh kepada yang diyakininya. Amin Abdullah menyebutkan sebagai dedikasi yang tinggi karena berfikir sebagai pelaku agama bukan sebagai pengamat.[4] Harun Nasution menyebutkan sebagai memberi landasan yang kokoh tidak mudah terombang-ambing oleh pergeseran zaman.[5]

2. Pendekatan Antropologis

Dalam konteksnya sebagai metodologi, objek kajian Antropologi adalah masyarakat apa adanya, mencakup unsur-unsur tradisional, mengenai aneka warna, bahasa-bahasa dan sejarah perkembangannya serta persebarannya, dan mengenai dasar-dasar kebudayaan manusia.

Melalui pendekatan antropologi sosok agama yang berada pada dataran empirik akan dapat dilihat serat-seratnya dan latar belakang mengapa ajaran agama tersebut muncul dan dirumuskan. Antropologi berupaya melihat antara hubungan agama dengan berbagai pranata sosial yang terjadi di masyarakat.[6]

Memahami Agama secara antropologis adalah memahami kecenderungan praktek keagamaan dalam latar budaya masyarakat yang luas untuk memahami pandangan keagamaannya (religius views). Dengan memahami pandangan keagamaan masyarakat, kita akan dapat melakukan perubahan sosial (social engineering) dalam masyarakat itu. Misalnya, masyarakat yang terjajah cenderung memandang agama sebagai ajaran pembebasan yang akan melepaskan mereka dari penjajahan. Maka cara pandang ini dioptimalkan oleh para Ulama di Indonesia untuk membangkitkan semangat rakyat memperjuangkan kemerdekaan.

3. Pendekatan Sosiologis

Sosiologi merupakan sebuah kajian ilmu yang berkaitan dengan aspek hubungan sosial manusia antara yang satu dengan yang lain, atau antara kelompok yang satu dengan yang lain. Pendekatan Sosiologi merupakan sebuah pendekatan dalam memahami Islam dari kerangka ilmu sosial, atau yang berkaitan dengan aspek hubungan sosial manusia antara yang satu dengan yang lain, atau antara kelompok yang satu dengan yang lain.

Pendekatan ini memandang bahwa agama Islam bahkan dalam ajarannya yang bersifat ritual, sangat memperhatikan masalah-masalah sosial.[7] Misalnya dalam sholat berjama’ah, imam dianjurkan tidak memanjangkan bacaan alqurannya untuk memberi kemudahan bagi orang-orang tua, orang yang mungkin sedang terdesak urusan penting dan lain-lain. Banyak kifarat penghapus dosa juga bernuansa sosial. Misalnya dosa menzhihar isteri[8], kafaratnya yang paling ideal memerdekakan budak. Jika tidak mampu, berpuasa 2 bulan berturut-turut. Jika tidak mampu, memberi makan 60 orang miskin.[9] Dari 3 level hukuman ini, ada 2 yang berkaitan erat dengan masalah sosial, yaitu memerdekakan budak dan memberi makan orang miskin.

Selanjutnya, bahwa untuk mengamalkan sebuah anjuran agama, seseorang mesti mempertimbangkan situasi sosial yang berkembang dalam lingkungan di mana seseorang tinggal. Contoh yang paling umum, misalnya para ulama menganjurkan seorang muslim menghormati madzhab fiqih kebanyakan orang dalam suatu lingkungan. Contoh lainnya, Nabi saw pernah menganjurkan kepada orang yang memasak daging agar memperbanyak kuahnya, supaya kuahnya itu bisa dibagikan kepada tetangga.[10] Pertanyaannya, mungkinkah kita hanya membagi kuah kepada tetangga, dalam situasi masyarakat kita di sini?

Maka dengan memahami situasi latar sosial suatu masyarakat, diharapkan agama dapat diamalkan secara proporsional.

4. Pendekatan Filosofis

Metode filsafat berusaha untuk sampai kepada kesimpulan-kesimpulan yang universal dengan meneliti akar permasalahannya. Metode ini bersifat mendasar dengan cara radikal dan integral, karena memperbincangkan sesuatu dari segi esensi (hakikat sesuatu). Fuad Hasan berpendapat tentang filsafat sebagai ikhtiar untuk berpikir radikal. Maksud radikal adalah mulai dari radiks (akar)nya gejala yang muncul, dengan jalan penjajakan yang radikal itulah filsafat berusaha untuk menyimpulan secara universal.[11]

Ibnu Taymiyah cenderung berkesimpulan, bahwa filsafat adalah paham (isme) di luar agama para nabi. Ditambah lagi, filsafat memang ajaran yang murni dihasilkan oleh akal manusia.[12] Jika demikian faktanya, maka jelas filsafat itu—baik sebagai ajaran maupun pengetahuan—tidak ada dalam Islam. Sebab, Islam telah mengajarkan tentang al-haq (kebenaran) dan al-khair (kebaikan), termasuk cara pandang yang khas tentang keduanya. Bukan hanya itu, Islam juga telah menjelaskan hakikat dan batasan akal, metode berpikir dan pemikiran yang dihasilkannya.

Sementara, Hamka menerima filsafat dengan menyebutnya sebagai pengetahuan tentang hikmah.[13] Karena, secara teoretis, filsafat menawarkan tentang apa itu kebenaran (sesuatu yang dapt difahami). Secara praktis, filsafat menawarkan tentang apa itu kebaikan (sesuatu yang dapat diamalkan). Serta bagaimana mencapai keduanya (metodologi). Dari dua spektrum inilah filsafat dapat digunakan untuk memahami berbagai aspek kehidupan, sekaligus memberikan tawaran-tawaran solutifnya. Akan tetapi, manusia tidak selalu dapat memahami hikmah dengan segera. Manusia juga butuh bimbingan Allah untuk dapat memahami hikmah dibalik peristiwa.

5. Pendekatan Historis

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia sejarah diartikan sebagai kejadian dan peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa yang lampau atau peristiwa penting yang benar-benar terjadi.[14] Dalam bahasa Inggris, sejarah setara dengan history yaitu; branch of knowledge dealing with past events, political, social, economic, of the country, continent or the world.[15]

Sedangkan dalam bahasa Arab, sejarah disebut dengan at Tarikh  (.(التاريخ  

جملة الأحوال والأحداث التي يمر بها كائن ما, ويصدق على الفرد والمجتمع, كما يصدق على الظواهر الطبيعية والإنسانية[16]

Pendekatan sejarah memandang bahwa teks-teks agama turun dalam konteks sejarah. Maka pemahaman terhadap teks juga harus memperhatikan dalam konteks sejarah yang mana teks (ayat) itu diturunkan atau diucapkan (hadits). Muhammad Arkoun menyebutkan bahwa warisan pemikiran Islam bukanlah sesuatu yang ahistoris. Ia berkait kelindan dengan realitas yang mengitarinya.[17]

Contohnya, Nabi saw pernah memerintahkan kepada kaum muslimin, jika bertemu dengan ahli kitab di jalan, maka pepetlah mereka sehingga mereka tersingkir ke pinggir jalan (Muslim. Shahih)[18]. Bagaimana kita memahaminya dan mengamalkannya?

Ternyata jika ditelusuri latar sejarahnya, perintah ini diinstruksikan Nabi saw, kepada pasukan Pemerintah Madinah yang sedang mengepung benteng Bani Qainuqa (Yahudi) dalam opersai memadamkan pengkhianatan dan pemberontakan mereka. Jadi perintah tersebut di atas bukan perintah dalam situasi damai.

Maka lahirlah ilmu-ilmu Asbabun Nuzul untuk memahami teks Quran secara sejarah, Asbabul Wurud untuk memahani teks hadit secara sejarah. Penggagas ilmu-ilmu ini antara lain, Ali bin Madini (guru Imam Bukhary), Abu Hasan Al Wahidy[19], Abu Hafs Al Ukbary, Abu Hamid Al Jubary.[20]

Demikian pula ilmu-ilmu lainnya dalam Islam seperti metode tasyri’ (metode pembentukan hukum) dan lain-lain yang tidak dapat dilepaskan dari latar sejarah masyarakat di mana suatu ketentuan hukum dirumuskan.

6. Pendekatan Psikologis

Psikologi mempelajari tentang jiwa seseorang melalui gejala perilaku yang dapat diamati. Dalam konteks studi agama, pendekatan Psikologis diartikan sebagai penerapan metode-metode dan data psikologis ke dalam studi tentang keyakinan dan pemahaman keagamaan untuk menjelaskan gejala atau sikap keagamaan seseorang.

Perbedaan psikologi Islam dan psikologi Barat tampak menonjol pada konsepsinya tentang manusia dan metode analisis yang digunakan. Psikologi Barat mutlak menggunakan kemampuan rasio sebagai patokan dalam mengungkap kejiwaan manusia, sedangkan psikologi Islam mendekatinya dengan memfungsikan rasio dan keimanan sekaligus. Ditinjau dari segi obyek analisisnya pun cukup berbeda, psikologi Barat tertuju pada dimensi fisik-biologi, dimensi kejiwaan, dan dimensi sosiokultural. Sementara itu psikologi Islam lebih menjangkau pada dimensi kerohanian, dimensi spiritual, suatu wilayah yang menjadi pantangan bahkan tidak pernah disentuh oleh pemikiran Barat karena perbedaan landasan.[21]

Dalam hal ini, pendekatan psikologis mementingkan bagaimana keyakinan agama terlihat pengaruhnya dalam perilaku penganutnya. Penerapan pendekatan ini dalam studi Islam dapat dilihat, misalnya pada pengaruh yang ditimbulkan oleh ibadah puasa, dan haji terhadap perilaku yang nampak setelah ibadah tersebut dilakukan.

Pendekatan ini nampak bersifat asumtif dan individualis, sehingga tidak komprehensif, karena pendekatan ini hanya berbicara tentang perilaku keagamaan para pemeluk Agama. Agama boleh jadi bagi sebagian orang adalah ibadah ritual, bagi sebagian lagi adalah pengabdian bagi kemanusiaan, bagi yang lainnya adalah persiapan menghadapi kematian, dan lain sebagainya.[22]

7. Pendekatan Ideologis Komprehensif

Pendekatan ini bermula dari realitas ajaran Islam itu sendiri secara objektif, tidak terpengaruh pandangan subjektif keilmuan Barat. Islam adalah agama (ad-din) yang diturunkan Allah swt. kepada Nabi Muhammad saw. untuk mengatur hubungan manusia dengan Allah, dengan dirinya sendiri dan dengan sesamanya. Yang meliputi: (1) hubungan manusia dengan Khaliq-nya tercakup dalam perkara akidah dan ibadah; (2) Hubungan manusia dengan dirinya tercakup dalam perkara akhlak, makanan, dan pakaian; (3) Hubungan manusia dengan sesamanya tercakup dalam perkara mu’amalah (publik) dan uqubat (sanksi).

Yusuf Al Qorodhowy menjelaskan bahwa Islam adalah syariat untuk keseluruhan totalitas manusia, keseluruhan fase hidup manusia dan kesluruhan aspek kehidupan manusia sebagi individu maupun sebagai anggota masyarakat. [23]  Menurut Sayyid Quthb, semua kompleksitas Islam itu harus dapat diwujudkan dalam keseharian kaum muslimin (aktivisme Islam).[24]

Karena itu pendekatan Ideologis komprehensif ini adalah sebuah cara memahami Islam yang dimulai dari sebuah pandangan bahwa Islam adalah sebuah Ideologi artinya Islam mengurusi seluruh urusan kehidupan, sehingga harus diterapkan dalam kehidupan. Metodologi ini menggunakan pendekatan yang integral dimana semua ilmu keislaman original dikerahkan, mulai dari ilmu tauhid, ulumul quran, ulumul hadits, fikih, ushul fikih, bahasa arab, dan lain sebagainya.

8. Pendekatan Kebudayaan

Kebudayaan menurut Koentjaraningrat adalah keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakan dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu.[25]

Di dalam kebudayaan tersebut terdapat pengetahuan, keyakinan, seni, moral, adat istiadat dan sebagainya. Kebudayaan yang demikian selanjutnya dapat pula digunakan untuk memahami agama yang terdapat pada tataran empiris atau agama yang tampil dalam bentuk formal yang menggejala di masyarakat.

Dengan demikian, agama menjadi membudaya atau membumi di tengah-tengah masyarakat. Agama yang tampil dalam bentuknya yang demikian itu berkaitan dengan kebudayaan yang berkembang di masyarakat tempat agama itu berkembang. Dalam Islam disebutkan sebuah premis menyebutkan bahwa Agama membentuk budaya.

Daftar Pustaka

Fealy, Greg dan Anthony Bubalo, Jejak Kafilah, (Bandung, Mizan, 2007).

Hajjaj, Muslim bin, Abul Hasan Al Qusyairi An Naysabury, Shahih Muslim, (Beyrut, Daar al Ihya at Turats al Araby, tt)

Hamka, Pelajaran Agama Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1956).

Hornby,A.S., etc, The Advanced Learner’s Dictionary of Current English, (Oxford University Press, 1973).

Ibrahim Musthafa dkk, Al Mu’jam Al Wasith(Istambul, Al Maktabah Al Islamiyah li Tiba’ah wa an Nasyr wa at Tawzi’, 1972).

Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan (Jakarta, Gramedia, 1987).

Mubarok, Achmad, Psikologi Dakwah (Malang, Madani Press, 2014).

Nasution, Harun, Teologi Islam, (Jakarta, UI Press, 1986).

Nata, Abudin, Metodologi Studi Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 2000).

Purwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta, Balai Pustaka,1991).

Al Qorodhowy, Yusuf, Al Khashaish Al ‘Aammah lil Islam, (Beyrut, Muasasah Risalah, 1983).

Rais, M.Amien, Tauhid Sosial, (Bandung, Mizan, 1998).

As Suyuthy, Jalaluddin, Studi Al Qur’an Komprehensif, (Surakarta, Indiva Pustaka, 2008).

Syadali, Ahmad dan Mudzakir, Filsafat Umum, (Bandung,  Pustaka Setia, 1997),

Jurnal

Ardana, Fidia dan Meta Ratna Sari, Pembaharuan Pemikiran Muhammad Arkoun (UIN Sultan Syarif Kasim Riau, tt).

Mahyudi, Dedi, Pendekatan Antropologi dan Sosiologi dalam Studi Islam, (Jurnal Ihya al Arabiyah, Tahun ke VI Nomor 2, Juli-Desember, 2016).

Mufidah, Luk Luk Nur, Pendekatan Teologis Dalam Kajian Islam, (Jurnal Misykat, Volume 02, Nomor 01, Juni 2017).

Suraiya, Ratna dan Nashrun Jauhari, Psikologi Keluarga Islam Sebagai Disiplin Ilmu (Telaah Sejarah dan Konsep), (Jurnal NIZHAM, Vol. 8, No. 02 Juli-Desember 2020).

Sumber Daring

http://lib.iainpurwokerto.ac.id:8080/alhasir/indexAB.php, Akses 27/9/2021

https://jagokata.com/arti-kata/pendekatan.html. Arti Kata Pendekatan menurut KBBI. Akses 22/9/2021.

Rifai Shodiq Fathoni , Pemikiran Ibnu Taimiyah (1263-1328 M), 08 Jan, 2018, https://wawasansejarah.com/pemikiran-ibnu-taimiyah/. Akses 27/9/2021.

 



[1] Arti Kata Pendekatan menurut KBBI.https://jagokata.com/arti-kata/pendekatan.html, akses 22/9/2021/10:19wib.

[2]Abudin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 2000), hlm. 28

[3] Luk Luk Nur Mufidah, Pendekatan Teologis Dalam Kajian Islam, (Misykat, Volume 02, Nomor 01, Juni 2017), hlm. 151

[4] Abudin Nata, loc.cit, hlm.28.

[5] Harun Nasution, Teologi Islam, Jakarta, UI Press, 1986), hlm.ix.

[6] Dedi Mahyudi, Pendekatan Antropologi dan Sosiologi dalam Studi Islam, (Jurnal Ihya al Arabiyah, Tahun ke VI Nomor 2, Juli-Desember, 2016), hlm.206.

[7] M.Amien Rais, Tauhid Sosial, (Bandung, Mizan, 1998), hlm. 108.

[8] Menzhihar isteri, maksudnya menyamakan isteri dengan ibu.

[9] Al Mujadilah 1-4.

[10] Muslim bin Hajjaj Abul Hasan Al Qusyairi An Naysabury, Shahih Muslim, (Beyrut, Daar al Ihya at Turats al Araby, tt), Juz 4, hlm.2025.

[11] Ahmad Syadali dan Mudzakir, Filsafat Umum, (Bandung,  Pustaka Setia, 1997), hlm.16.

[12] Rifai Shodiq Fathoni , Pemikiran Ibnu Taimiyah (1263-1328 M), 08 Januari 2018 -https://wawasansejarah.com/pemikiran-ibnu-taimiyah/. Akses 27/9/2021, 13:05 wib.

[13] Hamka, Pelajaran Agama Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1956), hlm.80-81.

[14] W.J.S. Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,1991, hal.887.

[15] A.S. Hornby, etc, The Advanced Learner’s Dictionary of Current English, Oxford University Press, 1973, p. 469.

[16] Ibrahim Musthafa dkk, Al Mu’jam Al Wasith, Al Maktabah Al Islamiyah li Tiba’ah wa an Nasyr wa at Tawzi’, Istambul, 1972, hal.13.

[17] Fidia Ardana dan Meta Ratna Sari, Pembaharuan Pemikiran Muhammad Arkoun (UIN Sultan Syarif Kasim Riau, tt)

[18] Muslim bin Hajaj, op.cit, Juz 4, hlm.1707.

[19] Jalaluddin As Suyuthy, Studi Al Qur’an Komprehensif, (Surakarta, Indiva Pustaka, 2008), hlm.123.

[21] Ratna Suraiya dan Nashrun Jauhari, Psikologi Keluarga Islam Sebagai Disiplin Ilmu (Telaah Sejarah Dan Konsep), (Jurnal NIZHAM, Vol. 8, No. 02 Juli-Desember 2020), hlm.164.

[22] Achmad Mubarok, Psikologi Dakwah (Malang, Madani Press, 2014), hlm.5.

[23] Yusuf Al Qorodhowy, Al Khashaish Al ‘Aammah lil Islam, (Beyrut, Muasasah Risalah, 1983), hlm.108-111.

[24] Greg Fealydan Anthony Bubalo, Jejak Kafilah,(Bandung, Mizan, 2007), hlm.28.

[25] Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan (Jakarta, Gramedia, 1987), hlm.9.

Comments


EmoticonEmoticon