Ulumul Hadits - Saungpikir

Monday, October 11, 2021

Ulumul Hadits

 

Suatu Pengantar untuk Penelitian

Wahyu B Prasojo



Pengertian Hadits

Secara etimologi hadits berarti sesuatu yang baru. Bentuk jamaknya ahadits. Sedangkan secara terminologis, hadits berarti apa saja yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad saw baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir (sikap diam setuju) dan sifat.[1] Menurut salah satu pendapat, hadits bersinonim dengan khabar.[2] Khabar berarti kabar atau berita. Makna hadits yang berarti berita ini terkandung dalam Al Quran surat At Thur : 34, Al Kahfi : 6 dan Adh Dhuha : 11.[3]

Nabi saw sendiri yang menamakan sabdanya sebagi hadits. Agaknya beliau menggunakan nama itu untuk membedakan apa yang disandarkan kepada beliau dengan yang lainnya.[4] Dalam hal ini berbeda dengan apa yang datang dari atau disandarkan kepada Allah.

Urgensi Penelitian Hadits

Sebagai kajian ilmiyah, penelitian hadits telah digambarkan sebagai suatu yang urgen. Al Quran sendiri memberikan arahan dalam hal ini.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا  أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ (الحجرات: ٦)

Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.

Menurut Ath Thabary, kalimat fatabayyanu bermakna “tunggu sampai Anda tahu keshahihannya (kebenarannya), jangan terburu-buru menerima suatu berita”.[5]

Pengarahan tentang hal ini juga disampaikan Nabi saw sendiri, ketika berliau bersabda:

نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا شَيْئًا فَبَلَّغَهُ كَمَا سَمِعَ، فَرُبَّ مُبَلِّغٍ أَوْعَى مِنْ سَامِعٍ (رواه الترمذي)[6]

Allah akan memperindah wajah seseorang yang mendengar sesuatu dari kami, kemudian ia menyampaikannya sama seperti apa yang dia dengar. Maka betapa banyak orang yang disampaikan dapat lebih mengerti dari pada orang yang mendengar langsung. (HR. Tirmidzy)

Sebagai tanda keta’atan kepada perintah Allah dan RasulNya, serta perhatian yang tinggi akan urgensi ini, para ulama mengembangkan berbagai macam perangkat untuk dapat menjaga hadits Nabi agar tetap dalam posisinya sebagai sumber ajaran Islam yang orisinal. Perangkat itu adalah ilmu-ilmu seperti; ‘Ilmu ar Rijal wal Ansab (Ilmu Identifikasi Rijal Hadits dan Keturunannya), Al Kunnya wal Asma’ (ilmu tentang Nama Julukan dan Nama Asli) dan Al Jarh wat Ta’dil. Yaitu ilmu-ilmu yang digunakan untuk meneliti hadits dari sisi sanad[7]. Adapun cabang ilmu yang berpusat pada matan[8] antara lain : Gharibil Hadits, Asbabil Wurudil Hadits, Tawarikhul Mutun, Nasikh wal Mansukh dan Talfiqil Hadits.

Dari sinilah ulama mengembangkan penelitian hadits yang kemudian mereka cantumkan dalam kitab-kitab mereka. Meskipun hadits-hadits tersebut masih bercampur atau diletakkan sebagai dalil bagi ilmu lainnya dalam bidang fiqih dan ushul fiqih seperti kitab Al Umm dan Kitab Ar Risalah Karya Imam Asy Syafi’iy. Adapun kitab pertama yang khusu dalam masalah Mustholah Hadits adalah Al Muhaddits al Fasil bayna Ar Raawy wa Al Wa’il, karya Al Qadhi Abu Muhammad Al Hasan bin Abdurrahman bin Khallad Ar Ramahurmuzy.[9]

Pembagian Hadits Menurut Cara Sampainya

1. Hadits Mutawatir

Secara bahasa, mutawatir berasal dari kata at tawatur yang berarti berturut-turut. Lafaz mutawatir juga dapat berarti mutatabi’, yang berarti sesuatu yang datang beriringan, antara satu dengan yang lainnya tidak berjarak.[10]sedangkan secara istilah, hadits mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah orang, yang menurut adat mustahil bagi mereka untuk bersepakat berdusta, seimbang dari awal hingga akhir sanad, serta tidak mengandung kejanggalan pada tiap thabaqat (tingkatan). [11] Lebih ringkas, Mahmud Thahan menyebutkan hadis Mutawatir sebagai hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah orang pada setiap tingkat sanadnya, yang menurut tradisi, mustahil mereka bersepakat untuk berdusta dan karena itu diyakini kebenarannya.[12]

Contohnya,

مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ[13]

Barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka ambillah tempat duduknya di neraka.

Selain oleh Bukhari, hadits ini juga diriwayatkan oleh Muslim, Abu Daud, Ibnu Majah, Tirmizi, Abu Daud At Thayalisi dan lain-lain. Menurut para ulama hadis, hadis ini diriwayatkan oleh lebih dari 70 orang sahabat Nabi.[14]

Para ulama berbeda pendapat tentang jumlah perawi minimal di setiap thabaqatnya yang dapat dikatakan memenuhi syarat mutawatir. Ada yang menyebut harus lebih 4 orang, 40 orang, 70 orang bahkan sampai 313 orang. Al Baqilany menyebut angka 5 orang, sementara Astikhary meminta minimal 10 orang pada setiap thabaqat.[15]

2. Hadits Masyhur

Definisi

Menurut bahasa, masyhur berasal dari syahara-yasyharu-syahran, yang berarti alma’ruf bayna an naas, yang dikenal di antara manusia. Juga berarti al intisyar wal zuyu’, berarti tersebar dan populer. Jadi secara sederhana, hadis masyhur adalah hadis yang terkenal.[16] Menurut istilah, hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang rawi atau lebih ─disetiap tingkatannya─, asalkan (jumlahnya) tidak mencapai derajat mutawatir.[17]

Contoh

إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ النَّاسِ، وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمُ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ، فَإِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا، فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ، فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا[18]

Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu begitu saja dari manusia, melainkan Dia mencabutnya dengan wafatnya para ulama. Ketika tiada tersisa lagi ulama, manusia mengambil pngetahuhan dari para peimpin yang bodoh. Mereka ditanyai orang-orang lalu mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan.

Hadis ini dikeluarkan oleh Asy Syaikhani, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad.

3. Hadits Aziz

Definisi

Menurut bahasa, merupakan sifat musyabbahah dari kata ‘azza ya ‘izzu yang artinya qalla (sedikit) atau nadara (jarang terjadi). Ada juga yang menyebut berasal dari kata ‘azza ya’azzu yang artinya qowiyya wa istadda (kuat atau keras). Term ini juga berarti syarif (mulia) dan mahbub (tercinta). Disebut demikian karena sedikit atau jarang keberadaannya, sehingga ia mulia dan dicintai atau juga kuat keberadaannya melalui jalur lain.[19]

Menurut istilah, hadits yang perawinya berjumlah tidak kurang dari dua orang di seluruh tingkatan (thabaqat) sanadnya.[20]

Maksudya ialah dimasing-masing tingkatan sanad tidak boleh kurang dari dua orang perawi. Jika di sebagian thabaqat-nya dijumpai tiga orang atau lebih rawi, hal itu tidak merusak (statusnya sebagai) hadits thabaqat─ terdapat dua rawi. Sebab, yang dijadikan patokan adalah jumlah minimal rawi di dalam thabaqat sanad.

Ini adalah definisi yang paling kuat seperti yang ditetapkan oleh Al-Hafidh Ibnu Hajar. Sebagian ulama berpendapat bahwa hadits ‘aziz adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua orang atau tiga orang. Mereka tidak membedakan─dalam kasus ini─ dengan hadits masyhur.[21]

Contoh

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ، حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ[22]

Tidak beriman salah seorang diantara kalian hingga aku lebih dicintai dari bapaknya, dari anaknya, dan manusia seluruhnya.

Hadits ini diriwayatkan dari Anas - Qatadah, dan Abdul Aziz bin Shuhaib. Dari Qatadah - Syu’bah dan Sa’id. Dari Abdul Aziz - Ismail bin ‘Ulayyah dan Abdul Warits, dan masing-masing kelompok.

Sumber gambar https://hasanrizal.files.wordpress.com/2014/11/screenshot_1.png

4. Hadits Gharib

Definisi

Menurut bahasa, dari kata gharaba, yaghribu yang berarti al munfarid, yaitu menyendiri. Juga bermakna ba’id ‘an wathanihi, jauh dari tanah airnya. Maka gharib berarti terasing atau jauh dari tempat tinggalnya.[23]

Menurut istilah, hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi, sendirian.

Hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi, sendirian. Bisa disetiap thabaqat-nya dari seluruh thabaqat sanadnya, atau di sebagian thabaqat sanad; malahan bisa pada satu thabaqat saja. Adanya jumlah rawi lebih dari seorang pada thabaqat lainnya tidak merusak hadits gharib karena yang dijadikan sebagai patokan adalah yang paling minimal.

Nama Lain Hadits Gharib

Para ulama banyak menggunakan nama lain untuk hadits gharib, di antaranya al-fard, keduanya memiliki arti yang sama. [24]  Sebagian ulama yang lainnya telah membedakan keduanya. Disebut hadis fard karena lebih banyak digunakan untuk hadits fard yang mutlak.

Contohnya hadits,

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا، أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا، فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ[25]

“Sesunggunhya amal perbuatan itu tergantung pada niatnya.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Umar bin Khathab seorang diri. Hal ini terus berlanjut (kesendiriannya) hingga akhir sanad. Hadits ini juga telah diriwayatkan kesendiriannya oleh sejumlah rawi.

نِعْمَ عَبْدُ اللَّهِ خَالِدُ بْنُ الوَلِيدِ، سَيْفٌ مِنْ سُيُوفِ اللَّهِ[26]

Macam Hadits & Tingkatan  Penerimaannya

1. Hadits Shahih

Hadits yang dinukil (diriwayatkan) oleh rawi yang adil, sempurna ingatan, sanadnya bersambung-sambung, tidak ber’illat dan tidak janggal.[27] Hadits yang lafadznya selamat dari keburukan susunan dan maknanya selamat dari menyalahi ayat Quran.

1.2. Syarat-Syarat Hadits Shahih:

            Ibnu Hajar Asqalany menyebutkan pengertian hadits shahih dengan syarat sebagai berikut:

وَخَبَرُ الْآحَادِ بِنَقْلِ عَدْلٍ تَامِّ الضَّبْطِ، مُتَّصِلِ السَّنَدِ، غَيْرِ مُعَلَّلٍ وَلَا شَاذٍّ[28]  

Hendaklah Rawinya bersifat adil dan hafalannya kuat. Hendaklah hadits itu sanadnya bersambung, tidak mengandung muallal (kejanggalan. dan syadz (keraguan).

Rawinya bersifat adil, artinya seorang rawi selalu memelihara ketaatan dan menjauhi perbuatan maksiat, menjauhi dosa-dosa kecil, tidak melakukan perkara mubah yang dapat menggugurkan iman, dan tidak mengikuti pendapat salah satu mazhab yang bertentangan dengan dasar syara’

Sempurna ingatan (dhabith), artinya ingatan seorang rawi harus lebih banyak daripada lupanya dan kebenarannya harus lebih banyak daripada kesalahannya, menguasai apa yang diriwayatkan, memahami maksudnya dan maknanya.

Hadits itu tidak ber’illat (penyakit yang samar-samar yang dapat menodai keshahihan suatu hadits)

Sanadnya tiada putus (bersambung) artinya sanad yang selamat dari keguguran atau dengan kata lain; tiap-tiap rawi dapat saling bertemu dan menerima langsung dari yang memberi hadits.

Tidak janggal, artinya tidak ada pertentangan antara suatu hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang maqbul dengan hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang lebih rajin daripadanya.

Hadits Hasan

Definisi

Secara bahasa, Hasan adalah sifat yang bermakna indah. Sedangkansecara istilah, menurut Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Nukhbatul Fikar : Hadits yang dinukilkan oleh orang yang adil, yang kurang kuat ingatannya, yang muttashil (bersambung-sambung sanadnya), yang musnad jalan datangnya sampai kepada nabi SAW dan yang tidak cacat dan tidak punya keganjilan.[29]

Beberapa contoh

إِنَّ أَبْوَابَ الجَنَّةِ تَحْتَ ظِلَالِ السُّيُوفِ[30]

Sesungguhnya pintu-pintu surga di bawah kilatan pedang.

لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلَاةٍ[31]  

Seandainya aku tidak memberatkan umatku, maka pasti aku perintahkan untuk menggosok gigi setiap waktu shalat.

Hadits Dha’if

Hadits Dhaif yaitu hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadits Shahih atau hadits Hasan.[32]

Adanya Kekurangan pada Perawinya

1.     Baik tentang keadilan maupun hafalannya, misalnya karena:

2.     Dusta (hadits maudlu)

3.     Tertuduh dusta (hadits matruk)

4.     Fasik, yaitu banyak salah lengah dalam menghafal

5.     Banyak waham (prasangka) disebut hadits mu’allal

6.     Menyalahi riwayat orang kepercayaan

7.     Tidak diketahui identitasnya (hadits Mubham)

8.     Penganut Bid’ah (hadits mardud)

9.     Tidak baik hafalannya (hadits syadz dan mukhtalith)

Karena Sanadnya Tidak Bersambung

1.     Kalau yang digugurkan sanad pertama disebut hadits mu’allaq

2.     Kalau yang digugurkan sanad terakhir (sahabat) disebut hadits mursal

3.     Kalau yang digugurkan itu dua orang rawi atau lebih berturut-turut disebut hadits mu’dlal

4.     Jika tidak berturut-turut disebut hadits munqathi’

Karena Matan (Isi Teks) Yang Bermasalah

1.     Selain karena dua hal di atas, kedhaifan suatu hadits bisa juga terjadi karena kelemahan pada matan. Hadits Dhaif yang disebabkan suatu sifat pada matan ialah hadits Mauquf dan Maqthu’

2.     Oleh karenanya para ulama melarang menyampaikan hadits dhaif tanpa menjelaskan sanadnya. Adapun kalau dengan sanadnya, mereka tidak mengingkarinya.

Contoh

مَنْ أَتَى حَائِضًا، أَوِ امْرَأَةً فِي دُبُرِهَا، أَوْ كَاهِنًا، فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ[33]

Barangsiapa mendatangi perempuan haidh dari duburnya atau mendatangi dukun, sungguh ia telah kafir terhadap apa yang dibawa Muhammad.

At Turmudzy kemudian menjelaskan; Kami tidak mengetahui hadits ini kecuali dari hadits Hakim Al Atsram dari Abu Tamimah al Hujaymi dari Abu Hurayrah. Makna ini dikalangan ahli ilmu adalah berlebihan.[34] Imam Bukhari melemahkan hadits ini dari sisi sanadnya. Karena dalam daftar Rawinya ada Hakim Al Atsram.[35]

Kehujjahan Hadits

Secara umum, ulama kaum muslimin menjadikan Hadits Shahih dan menerima dan Hadits Hasan sebagai hujjah atau dalil untuk beramal shalih dan ibadah-ibadah. Selain itu mereka juga berhujjah dengan hadits yang memiliki dukungan dari hadits serupa dari jalur riwayat yang lain.[36] Dalam term ini hadits dhaif, dapat meningkat derajatnya menjadi hasan lighairihi, jika  ada hadits lain, satu atau lebih, yang mirip dari jalur yang lain.[37]




Daftar Pustaka

Abu Abdullah, Ibnu Majah Muhammad bin Zayd Al Qazwiny, Sunan Ibnu Majah, (Darul Ihya Al Kutub Al Arabiyah, tt).

Asqolany, Ibnu Hajar, Nukhbatul Fikar fii Mushtholah Ahlul Atsar, Kairo, Darul Hadits, 1448/1997).

Al-Bukhari, Muhammad bin Ismail Abu Abdullah, Al-Jaafi, Shahih Bukhary, (Damaskus, Daar At Tuuqo An Najah, 1422H).

Ichwan, Mohammad Nor, Studi Ilmu Hadis, (Semarang, Rasail Media Grup, 2007).

As Shalih,  Subhi, Membahas Ilmu-imu Hadis, terjemahan, (Jakarta, Pustaka Firdaus, 2009).

At Thabary, Abu Ja’far, Jami’ul Bayan, (Muasasah Risalah, 1420/2000).

Thahan, Mahmud, Dasar-dasar Ilmu Hadits, (Jakarta, Ummul Qura, 2018/1439).

At Tirmidzy, Muhammad bin Isa, Sunan At Tirmidzy, (Mesir, Syurkah Maktabah wa Mathba’ah Musthafa Al Baaby Al Halaby, 1395/1975).

 

Sumber Internet

https://hasanrizal.files.wordpress.com/2014/11/


[1] Mahmud Thahan, Dasar-dasar Ilmu Hadits, terjemahan Bahak Asadullah, (Jakarta, Ummul Qura, 2018/1439), hlm.23.

[2] Ibid, hlm.24. Pendapat lainnya mengatakan, khabar berbeda dengan hadits karena hadits dinisbatkan kepada Nabi Muhammad saw, sementara khabar dinisbatkan kepaa selain Nabi saw. Adapula pendapat bahwa khabar lebih luas dari hadits, karena khabar dinisbatkan kepada Nabi saw juga kepada yang selain beliau.

[3] فَلَعَلَّكَ بَاخِعٌ نَفْسَكَ عَلَى آثَارِهِمْ إِنْ لَمْ يُؤْمِنُوا بِهَذَا الْحَدِيثِ أَسَفًا  (Al Kahfi : 6). فَلْيَأْتُوا بِحَدِيثٍ مِثْلِهِ إِنْ كَانُوا صَادِقِينَ (At Thur 34). وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ (Adh Dhuha : 11)

[4] Subhi As Shalih, Membahas Ilmu-imu Hadits, terjemahan, (Jakarta, Pustaka Firdaus, 2009), hlm.23.

[5] Abu Ja’far At Thabary, Jami’ul Bayan, (Muasasah Risalah, 1420/2000),  Juz 22, hlm.286.

[6] At Tirmidzy, Muhammad bin Isa, Sunan At Tirmidzy, (Mesir, Syurkah Maktabah wa Mathba’ah Musthafa Al Baaby Al Halaby, 1395/1975), Juz 5, hlm.34.

[7] Sanad :Daftar rangkaian perawi hadits.

[8] Matan:adalah isi atau teks hadits.

[9] Mahmud Thahan, op,cit, hlm.19.

[10] Mohammad Nor Ichwan, Studi Ilmu Hadis, (Semarang, Rasail Media Grup, 2007), hlm.100.

[11] Ibid, hlm.100.

[12] Mahmud Thahan, op.cit, hlm.29.

[13]  Al Bukhary, Shahih Bukhary, (Damaskus, Daar At Tuuqo An Najah, 1422H)., Juz 1, hlm.33, Hadits nomor. 107

[14] Mahmud Thahan, op.cit, hlm.30.

[15] Mohammad Nor Ichwan, op.cit, hlm.101.

[16] Ibid, hlm.110.

[17] Mahmud Thahan, op.cit, hlm.33.

[18] Ibnu Majah Abu Abdullah Muhammad bin Zayd Al Qazwiny, Sunan Ibnu Majah, (Darul Ihya Al Kutub Al Arabiyah, tt), Juz 1, hlm.20, Hadits Nomor 52.

[19] Mohammad Nor Ichwan, op.cit, hlm.111-112.

[20] Mahmud Thahan, op.cit, hlm.36.

[21] Mohammad Nor Ichwan, op.cit, hlm.112.

[22] Shahih Bukhary, Juz 1, hlm.12, Hadits nomor.15.

[23] Mohammad Nor Ichwan, op.cit, hlm.114.

[24] Ibnu Hajar Asqolany, Nukhbatul Fikar fii Mushtholah Ahlul Atsar, Kairo, Darul Hadits, 1448/1997), Juz 4, hlm..722.

[25] Shahih Bukhary, Juz 1, hlm.6, Hadits nomor1.

[26] Sunan At Tirmidzy Juz 5, hlm. 688, nomor 3846

[27] Mahmud Thahan, op.cit, hlm.44.

[28] Ibnu Hajar Asqolany, op.cit, Juz 4, hlm..722.

[29]Mahmud Thahan, op.cit, hlm.56.

[30] Sunan At Tirmidzy Juz 4, hlm. 186, nomor 1659.

[31] Sunan At Tirmidzy Juz 1, hlm. 32, nomor 22.

[32] Mahmud Thahan, op.cit, hlm.76.

[33] Sunan At Tirmidzy Juz 1, hlm. 242, nomor 135.

[34] Ibid, Juz 1, hlm.242.

[35] Mahmud Thahan, op.cit, hlm.

[36] Subhi as Shalih, op.cithlm.288.

[37] Mahmud Thahan, op.cit, hlm.62.

Comments


EmoticonEmoticon