Suatu Pengantar untuk Penelitian
Wahyu B Prasojo
Pengertian Hadits
Secara etimologi hadits berarti sesuatu yang baru. Bentuk jamaknya ahadits.
Sedangkan secara terminologis, hadits berarti apa saja yang dinisbatkan kepada
Nabi Muhammad saw baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir (sikap diam
setuju) dan sifat.[1]
Menurut salah satu pendapat, hadits bersinonim dengan khabar.[2]
Khabar berarti kabar atau berita. Makna hadits yang berarti berita ini
terkandung dalam Al Quran surat At Thur : 34, Al Kahfi : 6 dan Adh Dhuha : 11.[3]
Nabi saw sendiri yang menamakan sabdanya sebagi hadits. Agaknya beliau
menggunakan nama itu untuk membedakan apa yang disandarkan kepada beliau dengan
yang lainnya.[4] Dalam hal ini berbeda
dengan apa yang datang dari atau disandarkan kepada Allah.
Urgensi Penelitian Hadits
Sebagai kajian ilmiyah, penelitian hadits telah digambarkan sebagai suatu
yang urgen. Al Quran sendiri memberikan arahan dalam hal ini.
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا
فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ (الحجرات: ٦)
Hai orang-orang yang beriman, jika
datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan
teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa
mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.
Menurut Ath Thabary, kalimat fatabayyanu bermakna “tunggu sampai
Anda tahu keshahihannya (kebenarannya), jangan terburu-buru menerima
suatu berita”.[5]
Pengarahan tentang hal ini juga
disampaikan Nabi saw sendiri, ketika berliau bersabda:
نَضَّرَ
اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا شَيْئًا فَبَلَّغَهُ كَمَا سَمِعَ، فَرُبَّ
مُبَلِّغٍ أَوْعَى مِنْ سَامِعٍ (رواه الترمذي)[6]
Allah akan memperindah wajah seseorang
yang mendengar sesuatu dari kami, kemudian ia menyampaikannya sama seperti apa
yang dia dengar. Maka betapa banyak orang yang disampaikan dapat lebih mengerti
dari pada orang yang mendengar langsung. (HR. Tirmidzy)
Sebagai tanda keta’atan kepada perintah
Allah dan RasulNya, serta perhatian yang tinggi akan urgensi ini, para ulama
mengembangkan berbagai macam perangkat untuk dapat menjaga hadits Nabi agar
tetap dalam posisinya sebagai sumber ajaran Islam yang orisinal. Perangkat itu
adalah ilmu-ilmu seperti; ‘Ilmu ar Rijal wal Ansab (Ilmu Identifikasi
Rijal Hadits dan Keturunannya), Al Kunnya wal Asma’ (ilmu tentang Nama
Julukan dan Nama Asli) dan Al Jarh wat Ta’dil. Yaitu ilmu-ilmu yang
digunakan untuk meneliti hadits dari sisi sanad[7].
Adapun cabang ilmu yang berpusat pada matan[8]
antara lain : Gharibil Hadits, Asbabil Wurudil Hadits, Tawarikhul Mutun,
Nasikh wal Mansukh dan Talfiqil Hadits.
Dari sinilah ulama mengembangkan
penelitian hadits yang kemudian mereka cantumkan dalam kitab-kitab mereka.
Meskipun hadits-hadits tersebut masih bercampur atau diletakkan sebagai dalil
bagi ilmu lainnya dalam bidang fiqih dan ushul fiqih seperti kitab Al Umm dan
Kitab Ar Risalah Karya Imam Asy Syafi’iy. Adapun kitab pertama yang khusu dalam
masalah Mustholah Hadits adalah Al Muhaddits al Fasil bayna Ar Raawy wa Al
Wa’il, karya Al Qadhi Abu Muhammad Al Hasan bin Abdurrahman bin Khallad Ar
Ramahurmuzy.[9]
Pembagian Hadits Menurut Cara Sampainya
1. Hadits Mutawatir
Secara bahasa, mutawatir berasal dari kata at tawatur yang
berarti berturut-turut. Lafaz mutawatir juga dapat berarti mutatabi’, yang
berarti sesuatu yang datang beriringan, antara satu dengan yang lainnya tidak
berjarak.[10]sedangkan
secara istilah, hadits mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah
orang, yang menurut adat mustahil bagi mereka untuk bersepakat berdusta,
seimbang dari awal hingga akhir sanad, serta tidak mengandung kejanggalan pada
tiap thabaqat (tingkatan). [11]
Lebih ringkas, Mahmud Thahan menyebutkan hadis Mutawatir sebagai hadis yang
diriwayatkan oleh sejumlah orang pada setiap tingkat sanadnya, yang menurut
tradisi, mustahil mereka bersepakat untuk berdusta dan karena itu diyakini
kebenarannya.[12]
Contohnya,
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ
فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ[13]
Barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka ambillah tempat duduknya di neraka.
Selain oleh Bukhari, hadits ini juga diriwayatkan oleh Muslim, Abu Daud,
Ibnu Majah, Tirmizi, Abu Daud At Thayalisi dan lain-lain. Menurut para
ulama hadis, hadis ini diriwayatkan oleh lebih dari 70 orang
sahabat Nabi.[14]
Para ulama berbeda pendapat tentang jumlah perawi minimal di setiap thabaqatnya
yang dapat dikatakan memenuhi syarat mutawatir. Ada yang menyebut harus lebih 4
orang, 40 orang, 70 orang bahkan sampai 313 orang. Al Baqilany menyebut angka 5
orang, sementara Astikhary meminta minimal 10 orang pada setiap thabaqat.[15]
2. Hadits Masyhur
Definisi
Menurut
bahasa, masyhur berasal dari syahara-yasyharu-syahran, yang berarti alma’ruf
bayna an naas, yang dikenal di antara manusia. Juga berarti al intisyar
wal zuyu’, berarti tersebar dan populer. Jadi secara sederhana, hadis
masyhur adalah hadis yang terkenal.[16]
Menurut istilah, hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang rawi atau lebih
─disetiap tingkatannya─, asalkan (jumlahnya) tidak mencapai derajat mutawatir.[17]
Contoh
إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ
الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ النَّاسِ، وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمُ
بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ، فَإِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا
جُهَّالًا، فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ، فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا[18]
Sesungguhnya
Allah tidak akan mencabut ilmu begitu saja dari
manusia, melainkan
Dia mencabutnya dengan wafatnya para ulama. Ketika tiada tersisa lagi
ulama, manusia mengambil pngetahuhan dari para peimpin yang bodoh. Mereka
ditanyai orang-orang lalu mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan
menyesatkan.
Hadis ini dikeluarkan oleh Asy Syaikhani, Tirmidzi,
Ibnu Majah, dan Ahmad.
3. Hadits Aziz
Definisi
Menurut
bahasa, merupakan sifat musyabbahah dari kata ‘azza ya ‘izzu yang
artinya qalla (sedikit) atau nadara (jarang terjadi). Ada juga yang menyebut berasal dari kata ‘azza
ya’azzu yang artinya qowiyya wa istadda (kuat atau
keras). Term ini juga berarti syarif (mulia)
dan mahbub (tercinta). Disebut demikian karena sedikit atau jarang
keberadaannya, sehingga ia mulia dan dicintai atau juga kuat keberadaannya
melalui jalur lain.[19]
Menurut
istilah, hadits yang perawinya berjumlah tidak kurang dari dua orang di seluruh
tingkatan (thabaqat) sanadnya.[20]
Maksudya
ialah dimasing-masing tingkatan sanad tidak boleh kurang dari dua orang perawi.
Jika di sebagian thabaqat-nya dijumpai tiga orang atau lebih rawi, hal itu
tidak merusak (statusnya sebagai) hadits thabaqat─ terdapat dua rawi. Sebab,
yang dijadikan patokan adalah jumlah minimal rawi di dalam thabaqat sanad.
Ini adalah
definisi yang paling kuat seperti yang ditetapkan oleh Al-Hafidh Ibnu Hajar.
Sebagian ulama berpendapat bahwa hadits ‘aziz adalah hadits yang diriwayatkan
oleh dua orang atau tiga orang. Mereka tidak membedakan─dalam kasus ini─ dengan
hadits masyhur.[21]
Contoh
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ، حَتَّى
أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ[22]
Tidak
beriman salah seorang diantara kalian hingga aku lebih dicintai dari bapaknya,
dari anaknya, dan manusia seluruhnya.
Hadits ini diriwayatkan
dari Anas - Qatadah, dan Abdul Aziz bin Shuhaib. Dari Qatadah - Syu’bah dan
Sa’id. Dari Abdul Aziz - Ismail bin
‘Ulayyah dan Abdul Warits, dan masing-masing kelompok.
Sumber gambar
https://hasanrizal.files.wordpress.com/2014/11/screenshot_1.png
4. Hadits Gharib
Definisi
Menurut
bahasa, dari kata gharaba, yaghribu yang
berarti al munfarid, yaitu menyendiri. Juga bermakna ba’id ‘an
wathanihi, jauh dari tanah airnya. Maka gharib berarti terasing atau jauh
dari tempat tinggalnya.[23]
Menurut
istilah, hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi, sendirian.
Hadits yang
diriwayatkan oleh seorang rawi, sendirian. Bisa disetiap thabaqat-nya dari
seluruh thabaqat sanadnya, atau di sebagian thabaqat sanad; malahan bisa pada
satu thabaqat saja. Adanya jumlah rawi lebih dari seorang pada thabaqat lainnya
tidak merusak hadits gharib karena yang dijadikan sebagai patokan adalah yang
paling minimal.
Nama Lain
Hadits Gharib
Para ulama
banyak menggunakan nama lain untuk hadits gharib, di antaranya al-fard,
keduanya memiliki arti yang sama. [24]
Sebagian ulama yang lainnya telah
membedakan keduanya. Disebut hadis fard karena lebih banyak digunakan
untuk hadits fard yang mutlak.
Contohnya
hadits,
إِنَّمَا الأَعْمَالُ
بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ
إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا، أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا، فَهِجْرَتُهُ إِلَى
مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ[25]
“Sesunggunhya amal perbuatan itu tergantung pada niatnya.”
Hadits ini
diriwayatkan oleh Umar bin Khathab seorang diri. Hal ini terus berlanjut
(kesendiriannya) hingga akhir sanad. Hadits ini juga telah diriwayatkan
kesendiriannya oleh sejumlah rawi.
نِعْمَ عَبْدُ اللَّهِ خَالِدُ
بْنُ الوَلِيدِ، سَيْفٌ مِنْ سُيُوفِ اللَّهِ[26]
Macam Hadits & Tingkatan Penerimaannya
1. Hadits
Shahih
Hadits yang
dinukil (diriwayatkan) oleh rawi yang adil, sempurna ingatan, sanadnya
bersambung-sambung, tidak ber’illat dan tidak janggal.[27] Hadits yang
lafadznya selamat dari keburukan susunan dan maknanya selamat dari menyalahi
ayat Quran.
1.2. Syarat-Syarat
Hadits Shahih:
Ibnu Hajar Asqalany menyebutkan
pengertian hadits shahih dengan syarat sebagai berikut:
وَخَبَرُ
الْآحَادِ بِنَقْلِ عَدْلٍ تَامِّ الضَّبْطِ، مُتَّصِلِ السَّنَدِ، غَيْرِ
مُعَلَّلٍ وَلَا شَاذٍّ[28]
Hendaklah Rawinya bersifat adil dan
hafalannya kuat. Hendaklah hadits itu sanadnya bersambung, tidak mengandung muallal
(kejanggalan. dan syadz (keraguan).
Rawinya
bersifat adil, artinya seorang rawi selalu memelihara ketaatan dan menjauhi
perbuatan maksiat, menjauhi dosa-dosa kecil, tidak melakukan perkara mubah yang
dapat menggugurkan iman, dan tidak mengikuti pendapat salah satu mazhab yang
bertentangan dengan dasar syara’
Sempurna
ingatan (dhabith), artinya ingatan seorang rawi harus lebih banyak
daripada lupanya dan kebenarannya harus lebih banyak daripada kesalahannya,
menguasai apa yang diriwayatkan, memahami maksudnya dan maknanya.
Hadits
itu tidak ber’illat (penyakit yang samar-samar yang dapat menodai keshahihan
suatu hadits)
Sanadnya
tiada putus (bersambung) artinya sanad yang selamat dari keguguran atau dengan
kata lain; tiap-tiap rawi dapat saling bertemu dan menerima langsung dari yang
memberi hadits.
Tidak
janggal, artinya tidak ada pertentangan antara suatu hadits yang diriwayatkan
oleh rawi yang maqbul dengan hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang lebih
rajin daripadanya.
Hadits Hasan
Definisi
Secara
bahasa, Hasan adalah sifat yang bermakna indah. Sedangkansecara istilah, menurut Al-Hafizh
Ibnu Hajar dalam Nukhbatul Fikar : Hadits yang
dinukilkan oleh orang yang adil, yang kurang kuat ingatannya, yang muttashil
(bersambung-sambung sanadnya), yang musnad jalan datangnya sampai kepada nabi
SAW dan yang tidak cacat dan tidak punya keganjilan.[29]
Beberapa contoh
إِنَّ أَبْوَابَ الجَنَّةِ تَحْتَ
ظِلَالِ السُّيُوفِ[30]
Sesungguhnya pintu-pintu surga di bawah
kilatan pedang.
لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى
أُمَّتِي لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلَاةٍ[31]
Seandainya
aku tidak memberatkan umatku, maka pasti aku perintahkan untuk menggosok gigi
setiap waktu shalat.
Hadits Dha’if
Hadits Dhaif
yaitu hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadits
Shahih atau hadits Hasan.[32]
Adanya
Kekurangan pada Perawinya
1. Baik tentang
keadilan maupun hafalannya, misalnya karena:
2. Dusta
(hadits maudlu)
3. Tertuduh
dusta (hadits matruk)
4. Fasik, yaitu
banyak salah lengah dalam menghafal
5. Banyak waham (prasangka)
disebut hadits mu’allal
6. Menyalahi
riwayat orang kepercayaan
7. Tidak
diketahui identitasnya (hadits Mubham)
8. Penganut
Bid’ah (hadits mardud)
9. Tidak baik
hafalannya (hadits syadz dan mukhtalith)
Karena
Sanadnya Tidak Bersambung
1. Kalau yang
digugurkan sanad pertama disebut hadits mu’allaq
2. Kalau yang
digugurkan sanad terakhir (sahabat) disebut hadits mursal
3. Kalau yang digugurkan
itu dua orang rawi atau lebih berturut-turut disebut hadits mu’dlal
4. Jika tidak
berturut-turut disebut hadits munqathi’
Karena
Matan (Isi Teks) Yang Bermasalah
1. Selain
karena dua hal di atas, kedhaifan suatu hadits bisa juga terjadi karena
kelemahan pada matan. Hadits Dhaif yang disebabkan suatu sifat pada matan ialah
hadits Mauquf dan Maqthu’
2. Oleh
karenanya para ulama melarang menyampaikan hadits dhaif tanpa menjelaskan
sanadnya. Adapun kalau dengan sanadnya, mereka tidak mengingkarinya.
Contoh
مَنْ أَتَى حَائِضًا، أَوِ
امْرَأَةً فِي دُبُرِهَا، أَوْ كَاهِنًا، فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى
مُحَمَّدٍ[33]
Barangsiapa mendatangi perempuan haidh dari duburnya atau mendatangi dukun,
sungguh ia telah kafir terhadap apa yang dibawa Muhammad.
At Turmudzy kemudian menjelaskan; Kami tidak mengetahui hadits ini kecuali
dari hadits Hakim Al Atsram dari Abu Tamimah al Hujaymi dari Abu Hurayrah.
Makna ini dikalangan ahli ilmu adalah berlebihan.[34]
Imam Bukhari melemahkan hadits ini dari sisi sanadnya. Karena dalam daftar
Rawinya ada Hakim Al Atsram.[35]
Kehujjahan Hadits
Secara umum, ulama kaum muslimin menjadikan Hadits Shahih dan menerima dan
Hadits Hasan sebagai hujjah atau dalil untuk beramal shalih dan ibadah-ibadah.
Selain itu mereka juga berhujjah dengan hadits yang memiliki dukungan dari
hadits serupa dari jalur riwayat yang lain.[36]
Dalam term ini hadits dhaif, dapat meningkat derajatnya menjadi hasan
lighairihi, jika ada hadits lain,
satu atau lebih, yang mirip dari jalur yang lain.[37]
Daftar Pustaka
Abu Abdullah, Ibnu Majah Muhammad bin Zayd Al
Qazwiny, Sunan Ibnu Majah, (Darul Ihya Al Kutub Al Arabiyah, tt).
Asqolany, Ibnu Hajar, Nukhbatul Fikar fii
Mushtholah Ahlul Atsar, Kairo, Darul Hadits, 1448/1997).
Al-Bukhari, Muhammad bin Ismail
Abu Abdullah, Al-Jaafi, Shahih Bukhary, (Damaskus, Daar At Tuuqo
An Najah, 1422H).
Ichwan, Mohammad Nor, Studi Ilmu Hadis,
(Semarang, Rasail Media Grup, 2007).
As Shalih,
Subhi, Membahas Ilmu-imu Hadis, terjemahan, (Jakarta,
Pustaka Firdaus, 2009).
At Thabary, Abu Ja’far, Jami’ul Bayan, (Muasasah Risalah,
1420/2000).
Thahan, Mahmud, Dasar-dasar Ilmu Hadits,
(Jakarta, Ummul Qura, 2018/1439).
At Tirmidzy, Muhammad bin Isa, Sunan At
Tirmidzy, (Mesir, Syurkah Maktabah wa Mathba’ah Musthafa Al Baaby Al
Halaby, 1395/1975).
Sumber Internet
[1]
Mahmud Thahan, Dasar-dasar
Ilmu Hadits, terjemahan Bahak Asadullah, (Jakarta, Ummul Qura,
2018/1439), hlm.23.
[2]
Ibid, hlm.24. Pendapat lainnya
mengatakan, khabar berbeda dengan hadits karena hadits dinisbatkan kepada Nabi
Muhammad saw, sementara khabar dinisbatkan kepaa selain Nabi saw. Adapula
pendapat bahwa khabar lebih luas dari hadits, karena khabar dinisbatkan kepada
Nabi saw juga kepada yang selain beliau.
[3]
فَلَعَلَّكَ بَاخِعٌ
نَفْسَكَ عَلَى آثَارِهِمْ إِنْ لَمْ يُؤْمِنُوا بِهَذَا الْحَدِيثِ أَسَفًا (Al Kahfi : 6). فَلْيَأْتُوا بِحَدِيثٍ مِثْلِهِ
إِنْ كَانُوا صَادِقِينَ (At Thur 34). وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ (Adh Dhuha : 11)
[4]
Subhi As Shalih, Membahas
Ilmu-imu Hadits, terjemahan, (Jakarta, Pustaka Firdaus, 2009), hlm.23.
[5]
Abu Ja’far At Thabary, Jami’ul
Bayan, (Muasasah Risalah, 1420/2000),
Juz 22, hlm.286.
[6]
At Tirmidzy, Muhammad bin Isa, Sunan
At Tirmidzy, (Mesir, Syurkah Maktabah wa Mathba’ah Musthafa Al Baaby Al
Halaby, 1395/1975), Juz 5, hlm.34.
[7]
Sanad :Daftar rangkaian perawi hadits.
[8]
Matan:adalah isi atau teks hadits.
[9] Mahmud Thahan, op,cit, hlm.19.
[10]
Mohammad Nor Ichwan, Studi
Ilmu Hadis, (Semarang, Rasail Media Grup, 2007), hlm.100.
[11]
Ibid, hlm.100.
[12] Mahmud Thahan, op.cit, hlm.29.
[13] Al
Bukhary, Shahih Bukhary, (Damaskus, Daar At Tuuqo An Najah, 1422H)., Juz
1, hlm.33, Hadits nomor. 107
[14] Mahmud Thahan, op.cit, hlm.30.
[15] Mohammad Nor Ichwan, op.cit, hlm.101.
[16]
Ibid, hlm.110.
[17] Mahmud Thahan, op.cit, hlm.33.
[18]
Ibnu Majah Abu Abdullah Muhammad bin
Zayd Al Qazwiny, Sunan Ibnu Majah, (Darul Ihya Al Kutub Al
Arabiyah, tt), Juz 1, hlm.20, Hadits Nomor 52.
[19]
Mohammad Nor Ichwan, op.cit,
hlm.111-112.
[20]
Mahmud Thahan, op.cit,
hlm.36.
[21] Mohammad Nor Ichwan, op.cit, hlm.112.
[22]
Shahih Bukhary, Juz 1, hlm.12,
Hadits nomor.15.
[23]
Mohammad Nor Ichwan, op.cit,
hlm.114.
[24] Ibnu Hajar Asqolany, Nukhbatul Fikar fii Mushtholah Ahlul Atsar, Kairo, Darul Hadits, 1448/1997), Juz 4, hlm..722.
[25]
Shahih Bukhary, Juz 1, hlm.6, Hadits
nomor1.
[26]
Sunan At Tirmidzy Juz 5, hlm. 688,
nomor 3846
[27] Mahmud Thahan, op.cit, hlm.44.
[28] Ibnu Hajar Asqolany, op.cit, Juz 4,
hlm..722.
[29]Mahmud Thahan, op.cit,
hlm.56.
[30]
Sunan At Tirmidzy Juz 4, hlm. 186,
nomor 1659.
[31]
Sunan At Tirmidzy Juz 1, hlm. 32,
nomor 22.
[32]
Mahmud Thahan, op.cit,
hlm.76.
[33]
Sunan At Tirmidzy Juz 1, hlm. 242, nomor 135.
[34]
Ibid, Juz 1, hlm.242.