Nilai-nilai Dakwah dalam Surat Al Mudattsir 1-7 - Saungpikir

Thursday, February 9, 2023

Nilai-nilai Dakwah dalam Surat Al Mudattsir 1-7


oleh Wahyu B Prasojo

Nilai-nilai Dakwah dalam Surat Al Mudattsir 1-7

يَاأَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ. قُمْ فَأَنْذِرْ. وَرَبَّكَ فَكَبِّرْ. وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ. وَالرُّجْزَ فَاهْجُرْ. وَلا تَمْنُنْ تَسْتَكْثِرُ. وَلِرَبِّكَ فَاصْبِرْ.

Hai orang yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah peringatan! dan Tuhanmu agungkanlah, dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa tinggalkanlah, dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. Dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah.

Pendahuluan

Ath Thabary menuliskan sebuah hadits yang menerangkan tentang asbab nuzul surah ini dalam tafsirnya : Dari Jabir bin Abdullah al Anshary berkata: Rasulullah saw bercerita tentang masa fatrah : Ketika aku berjalan di suatu sore, kudengar sebuah suara dari arah langit. Kuarahkan wajahku ke langit, nampak malaikat yang mendatangiku di goa Hira  duduk di kursinya di cakrawala. Aku berlari pulang pada keluargaku dan berkata; selimuti aku 3x. Maka Allah menurunkan yaa ayyuhal mudatsir sampai farrujza fahjur. Thabary menyebutkan Hadits ini  Shahih matan dan sanadnya, riwayat Ibnu Hibban, Bukhary, Ahmad, Tirmidzy, dll.[1]

Sementara As Suyuthy menuliskan sebuah kisah yang disampaikan ath Thabrani dengan sanad yang lemah  dari Ibnu Abbas, bahwa suatu hari Walid bin Mughirah menjamu orang-orang Quraisy. Walid bertanya pada tamunya: “Apa pendapat kalian tentang Muhammad?” Sebagian berkata: “Tukang sihir”. Yang lain membantah: “Ia bukan tukang sihir”. Sebagian lagi berkata: “Ia seorang dukun”. Yang lain membantah: “Ia bukan seorang dukun.” Sebagian berkata: “Ia seorang penyair.” Tapi lagi-lagi ada yang membantah: “Ia bukan penyair.” Ada yang berkata: “Apa yang dibawanya itu adalah sihir yang dipelajari dari orang-orang terdahulu.” Mendengar perkataan orang-orang itu Nabi saw merasa sedih lalu menutup kepala dan tubuhnya dengan selimut, maka Allah menurunkan ayat 1 sampai 7.[2]

Menurut Qurthuby berdasarkan kebanyakan ayatnya, surah ini makkiyah, berisi 56 ayat.[3] Sayyid Quthb sepakat surah ini turun setelah surah Al Alaq dengan sebab turun yang kurang lebih sama dengan sebab turunnya surah Al Muzammil.[4]

Ayat-ayat Al Mudatsir yang pendek-pendek dengan tekanan yang cepat seolah meletupkan semangat gerak yang mengajak para aktivis dakwah bergerak cepat memenuhi bumi dengan aktifitas, kreatifitas dan interaksi dengan manusia.[5]

Perintah Menyampaikan Dakwah

Dua ayat pertama surat Al Mudatsir berisi perintah kepada Nabi untuk memperingatkan kaumnya dari penyimpangan mereka. Allah berfirman;

يَاأَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ. قُمْ فَأَنْذِرْ

Hai orang yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah peringatan!

Ibnu Abbas menjelaskan bahwa ketika Nabi, saw, tidur membungkus dirinya dengan selimutnya karena sedih akan perilaku orang-orang Quraisy, Allah justru memerintahkan beliau untuk mengajak mereka kepada tauhid.[6] Yaitu ketika orang-orang Quraisy mulai mendengar desas-desus bahwa ada malaikat mendatangi nabi saw dan mengajarkan suatu agama, mereka menggunjing nabi saw dengan keji; seolah bahwa Nabi saw telah sakit gila, menuduh nabi sebagai tukang sihir (karena yang mendatangi beliau adalah jin atau setan).[7]

Menurut Sayyid Quthb, memberi peringatan adalah hal yang paling menonjol dalam risalah. Orang-orang yang lalai sesungguhnya tidak mempengaruhi kebesaran Allah. Tetapi rahmat dan kasih sayangNya menuntut akan adanya indzar, supaya manusia mendapatkan kesempatan terhindar dari azabNya.[8]

Kalimat fa andzir, pada ayat kedua adalah bentuk kata kerja perintah yang menunjukkan bahwa kata kerja tersebut adalah wajib hukumnya.[9]

Tema Sentral Dakwah; Wujud Allah dan KebesaranNya

Segala aktivitas dakwah sesungguhnya bermuara pada satu tema sentral yaitu tauhid. Surat Mudatsir yang turun pada awal-awal turunnya Al Quran mengajarkan bahwa sejak awal sekali, dakwah dimulai dengan mengajak manusia kepada pengakuan kepada kebesaran Allah. Sebagai antitesis dari pengagungan berhala yang hidup di kalangan masyarakat Quraisy.

وَرَبَّكَ فَكَبِّرْ

dan Tuhanmu agungkanlah

Maka Nabi saw diperintahkan untuk senantiasa mengagungkan Allah agar beliau mampu menghadapi tugas memberi peringatan kepada ummat manusia dengan segala konsekuensinya yang melelahkan, mengerikan dan memberatkan. Karena, Allah lebih besar dari apa yang dikatakan para penyembah berhala itu.[10]  

Sesungguhnya benda-benda, kekuatan, kejadian, makna dan bentuk-bentuk, tiap orang, tiap nilai & hakikat semuanya kecil & tertutup di hadapan Allah. Lenyap dalam naungan keagungan dan kesempurnaan Allah Yang MahaEsa, Mahabesar lagi Mahatinggi. Maka orang yang dalam hatinya hanya Allah yang Mahabesar, akan menganggap kecil segala kesulitan, rintangan & tantangan.[11]

Persiapan Para Da’i; Fisik, Mental & Spiritual

Untuk dapat mengajak manusia kepada kebaikan  dan meninggalkan keburukan, para da’i adalah orang yang lebih dahulu kepadanya. Ia harus terlebih dahulu memeriksa dirinya, hatinya, fikrahnya dan hal lain yang terkait dengan dirinya. Lalu membersihkannya jika ditemui olehnya kotoran. Sebagaimana perintah Allah;

وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ

dan pakaianmu bersihkanlah

Menurut Ibnu Abbas maksud ayat ini adalah; maka bersihkanlah hatimu dari pengkhianatan dan kebosanan, yakni jadilah orang yang suci hatinya. Adapun maksud dari sucikan pakaianmu : (1)maka pendekkanlah (sederhanalah dalam berpakaian bisa juga berarti pakaian pendek lebih terjaga dari terpapar najis yang mungkin ada di tanah), dan (2) sucikanlah pakaianmu dari (kotoran) najis.[12]

Ibnul Mundzir mengartikan ayat ini dengan jangan kau kenakan pakaianmu dalam rangka bermaksiat kepada Allah.[13]

Sayyid Quthb menjelaskan bahwa kalimat kebersihan pakaian dalam bahasa Arab adalah kiasan untuk mengungkapkan kebersihan hati, akhlaq dan amal perbuatan. Sebagaimana kebersihan adalah sesuatu yang paling dekat dengan karakter risalah Islam. Maka seorang da’i adalah orang yang membersihkan diri dan jiwanya secara total untuk berdakwah di tengah berbagai arus dan dapat mengatasi segala  noda, godaan dan pencemaran yang menyertainya.[14]

Sedangkan Al Qurthuby lebih spesifik menyebutkan 8 makna, salah satunya yang dimaksud dengan pakaian adalah pekerjaan. Yang kedua adalah hati. Yang ketiga adalah jiwa. keempat adalah tubuh. Kelima adalah keluarga. Keenam adalah akhlak. Ketujuh adalah agama. Kedelapan adalah pakaian yang dikenakan secara lahiriah.[15]

Menjaga diri dari Perbuatan Dosa

Para da’i adalah orang pertama yang menjaga dirinya dari perbuatan dosa, sebelum masyarakat mitra dakwahnya. Firman Nya;

وَالرُّجْزَ فَاهْجُرْ

dan perbuatan dosa tinggalkanlah

Menurut Ibnu Abbas maksud ayat ini adalah kemudian tinggalkanlah perbuatan dosa dan jangan mendekatinya.[16]

Dalam tafsirnya Thabary menuliskan banyak riwayat yang mengarah kepada pengertian dari ar rujz adalah dosa penyembahan berhala. Ia juga menulis sebuah kisah bahwa di Ka’bah ada dua berhala bernama; Isaaf dan Naa'ilah. Siapa pun yang datang akan mengusap wajah dan kepala kedua patung tersebut dengan tangannya. Maka Alah SWT memerintahkan Nabi-Nya untuk menjauhi dan menyingkirkannya.[17]

Lafaz ar rujz pada asalnya bermakna azab, kemudian digunakan untuk hal-hal yang mendatangkan azab. Hal ini untuk mempertegas agar Nabi saw benar-benar menjaga kesucian diri dan tidak tercemar oleh kotoran dosa dan penyimpangan.[18]

Orientasi & Motivasi yang Benar

Sebagaimana tema sentral dakwah adalah mengajak manusia kepada penyembahan Allah, maka dakwah sesungguhnya tidak berpretensi duniawi. Ia adalah urusan yang semata-mata diserahkan kepada Allah. Allah sendiri yang akan mencatatnya, menghitungnya dan memberikan ganjaran. Dalam firmannya Allah sendiri memperingatkan;

وَلا تَمْنُنْ تَسْتَكْثِرُ

dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak

Menurut Ibnu Abbas makna ayat ini adalah, jangan memberi sesuatu yang sedikit, agar kamu diberi sesuatu yang lebih baik dan lebih banyak dari yang kamu berikan itu di dunia ini. Makna lain juga dikatakan; jangan membesar-besarkan amalmu di hadapan Allah.[19]

Menurut Qurthuby ayat ini punya 11 makna, yaitu;

1.     1. Jangan merasakan beban kenabianmu berat, seperti beratnya beban karena sebab lainnya.

2.     2. Jangan memberikan sesuatu dengan maksud mengharap sesuatu yang lebih baik dari itu, kata Ibnu Abbas, Ikrimah dan Qatadah. Al-Dahhak berkata: Ini dilarang oleh Allah pada Rasulullah saw, disebabkan ini merupakan keutamaan akhlaq dan adab. Tetapi dibolehkan bagi ummat islam.

3.     3. Dari Mujahid juga: Jangan melemahkan diri kamu, karena engkau lebih baik, dan ucapanmu lebih kokoh dari perkataan orang lain yang lemah dan rentan.

4.   4. Juga menurut Mujahid dan Ar-Rabi': Jangan memandang amalmu terlalu besar, karena itu adalah salah satu nikmat yang Allah berikan kepadamu. Ibn Kisan berkata: Jangan berlebihan memandang amalmu sendiri, karena itu merupakan anugrah Allah padamu, sebagai jalan supaya engkau bisa beribadah padaNya.

5. 5. Al-Hassan berkata: Jangan mengharapkan pada Tuhan dengan amalmu, supaya Allah melipatgandakannya.

6.  6. Jangan sampaikan kenabian dan Al-Qur'an kepada manusia, dengan maksud mendapatkan bayaran yang yang banyak.

7.      7. Al-Qurzi berkata: Jangan berikan hartamu supaya ia (kembali padamu) bertambah banyak.

8.      8. Zaid bin Aslam berkata: Jika engkau memberi sesuatu, berikan karena Tuhanmu.

9.      9. Jangan mengatakan aku sudah berdoa tapi tidak dikabulkan bagiku.

1. 10. Jangan beramal dengan meminta imbalannya, tetapi bersabarlah sampai Allah yang membalas sendiri amalmu.

1   11. Jangan berbuat baik dengan bermaksud riya’ di hadapan orang-orang.[20]

Dari banyak pengertian yang diuraikan di atas, sebuah garis bawah disampaikan oleh Sayyid Quthb yang mengomentari ayat di atas sebagai berikut:  

Padahal Rasulullah akan mengorbankan banyak hal, akan mengalami jerih payah dan kesusahan. Tapi Allah mengehendaki agar beliau tidak sekali-kali menganggap besar apa yang dilakukannya dan tidak menganggapnya banyak sehingga beliau merasa berjasa. Karena menjadi da’i adalah karunia, kehormatan yang Allah pilihkan, yang selayaknya disyukuri. Bukan malah merasa besar dan berjasa.[21]

Bersabar di Jalan Dakwah

Dakwah adalah jalan hidup yang penuh kesulitan, tantangan dan rintangan. Sejak awal tema kesabaran telah disebutkan Allah agar menjadi perhatian.

وَلِرَبِّكَ فَاصْبِرْ

Dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah.

Menurut Ibnu Abbas ayat ini bermakna:

على طَاعَة رَبك وَعبادَة رَبك فاصبر[22]

dalam keta’atan dan ibadah kepada Tuhanmu itu bersabarlah

Ath Thabary menjelaskan maksud ayat ini adalah: bersabarah untuk Tuhamu atas musibah yang manimpamu. Ath Thabary juga mengutip pandangan lain bahwa ayat ini terkait dengan ayat sebelumnya sehingga maknanya : bersabarlah untuk Tuhanmu atas pemberianmu.[23]

Qurthuby mengutip Mujahid menafsirkan ayat ini dengan, bersabarlah atas sesuatu yang menyakitimu. Ia juga mengutip Ibnu Zaid yang menafsirkannya dengan; kamu telah diserahkan sesuatu yang agung yang akan ditentang oleh orang-orang asing bahkan oleh orang-orang di sekitarmu (orang-orang Arab), oleh karena itu bersabarlah kamu karena Allah.[24]

Sayyid Quthb menjelaskan bahwa perjuangan dakwah adalah perjuangan ganda; yaitu untuk melawan musuh dakwah & melawan kecenderungan nafsu dan keinginan hati. Maka sabar adalah bekal pokoknya.[25]

Daftar Pustaka

ibnu Abbas, Abdullah, ra, tt, Tanwir al Miqbas min Tafsir Ibnu Abbas, dikumpulkan oleh Majduddin Abu Thahir Muhammad bin Ya’kub Fairuzzabady (w.817H), Darul Kutub Ilmiyah, Libanon.

Khalaf, Abdul Wahab, 1978,  Ilmu Ushul al Fiqih, Dar al Qalam, Kairo.

Khalid, Amru, 2011, Khowatir Qur’aniyah, terjemahan Khozin Abu Faqih dkk, Al I’tishom, Jakarta.

al Qurthuby, Abu Abdullah Muhammad Syamsuddin, 1384, Al Jami’ li Ahkami Al Quran, Dar al Kutub al Mishriyah-Kairo.

Quthb, Sayyid, (2004), Fii Dzhilal al Quran, terjemahan Aunur Rofiq Shaleh Tamhid & Bahrun Abubakar, Robbani Press Jakarta.

as Suyuthi, Jalaluddin, 2008, Sebab Turunnya Ayat Al Quran, terjemahan Tim Abdul Hayyie, Gema Insani Press, Jakarta.

ath Thabari, Abu Ja’far, 1420, Jami’ul Bayan fi Ta’wil al Quran, Mu’asasah Risalah.

al Tustary, Sahal bin Abdullah, 1423, Tafsir Al Tustary, Dar al Kutub al Ilmiyah, Beyrut.



[1] Abu Ja’far ath Thabari, 1420, Jami’ul Bayan fi Ta’wil al Quran, Mu’asasah Risalah,  Juz XXIII, hlm. 7.

[2] Jalaluddin as Suyuthi, 2008, Sebab Turunnya Ayat Al Quran, terjemahan Tim Abdul Hayyie, Gema Insani Press, Jakarta, hlm. 603.

[3] Abu Abdullah Muhammad Syamsuddin al Qurthuby, 1384, Al Jami’ li Ahkami Al Quran, Dar al Kutub al Mishriyah-Kairo, Juz XIX, hlm. 59.

[4] Sayyid Quthb,(2004), Fii Dzhilal al Quran, terjemahan Aunur Rofiq & Bahrun Abubakar, Robbani Press Jakarta, Jilid XII, hlm.481.

[5] Amru Kholid, 2011, Khowatir Qur’aniyah, terj. Khozin Abu Faqih dkk, Al I’tishom, Jakarta, hlm. 717.

[6] Abdullah bin Abbas ra, tt, Tanwir al Miqbas min Tafsir Ibnu Abbas, dikumpulkan oleh Majduddin Abu Thahir Muhammad bin Ya’kub Fairuzzabady (w.817H), Darul Kutub Ilmiyah, Libanon, hlm.491

[7] Qurthuby, op.cit, Juz XIX, hlm.60.

[8] Sayyid Quthb, op.cit, Jilid XII, hlm. 496.

[9] Abdul Wahab Khalaf, 1978,  Ilmu Ushul al Fiqih, Dar al Qalam, Kairo, hlm.106.

[10] Ibnu Abbas, loc.cit, hlm.491.

[11] Sayyid Quthb, op.cit, Jilid XII, hlm.497.

[12] Ibnu Abbas, loc.cit,hlm.491.

[13] Sahal bin Abdullah al Tustary, 1423, Tafsir Al Tustary, Dar al Kutub al Ilmiyah, Beyrut, Juz I, hlm.181.

[14] Sayyid Quthb, op.cit Jilid XII,hlm.498.

[15] Al Qurthuby, op.cit, Juz XIX, hlm. 62.

[16] Ibnu Abbas, op.cit, hlm.491.

[17] Ath Thabary, op.cit, Juz XXIII, hlm. 13

[18] Sayyid Quthb, op.cit, Jilid XII, hlm.499.

[19] Ibnu Abbas, op.cit, hlm.491.

[20] Al Qurthuby, op.cit, Juz XIX, hlm.67-68.

[21] Sayyid Quthb, op.cit, Jilid XII, hlm.500.

[22] Ibnu Abbas, op.cit, hlm.491.

[23] Ath Thabary, op.cit, Juz XXIII, hlm. 16.

[24] Al Qurthuby, op.cit, Juz XIX, hlm. 69.

[25] Sayyid Quthb, op.cit, Jilid XII, hlm.501.


Comments


EmoticonEmoticon