oleh Wahyu B Prasojo
Nilai-nilai Dakwah dalam Surat Al Mudattsir 1-7
يَاأَيُّهَا
الْمُدَّثِّرُ. قُمْ فَأَنْذِرْ. وَرَبَّكَ فَكَبِّرْ. وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ.
وَالرُّجْزَ فَاهْجُرْ. وَلا تَمْنُنْ تَسْتَكْثِرُ. وَلِرَبِّكَ فَاصْبِرْ.
Hai orang yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah peringatan! dan Tuhanmu agungkanlah, dan
pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa tinggalkanlah, dan janganlah kamu
memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. Dan untuk
(memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah.
Pendahuluan
Ath Thabary
menuliskan sebuah hadits yang menerangkan tentang asbab nuzul surah ini dalam
tafsirnya : Dari Jabir bin Abdullah al Anshary berkata: Rasulullah saw bercerita tentang masa fatrah : Ketika aku berjalan di suatu
sore, kudengar sebuah suara dari arah langit. Kuarahkan wajahku ke langit,
nampak malaikat yang mendatangiku di goa Hira duduk di kursinya di
cakrawala. Aku berlari pulang pada keluargaku dan berkata; selimuti aku 3x.
Maka Allah menurunkan yaa ayyuhal mudatsir sampai farrujza fahjur.
Thabary menyebutkan Hadits ini
Shahih matan dan sanadnya, riwayat Ibnu Hibban, Bukhary, Ahmad,
Tirmidzy, dll.[1]
Sementara As
Suyuthy menuliskan sebuah kisah yang disampaikan ath Thabrani dengan sanad yang
lemah dari Ibnu Abbas, bahwa suatu hari
Walid bin Mughirah menjamu orang-orang Quraisy. Walid bertanya pada tamunya:
“Apa pendapat kalian tentang Muhammad?” Sebagian berkata: “Tukang sihir”. Yang
lain membantah: “Ia bukan tukang sihir”. Sebagian lagi berkata: “Ia seorang
dukun”. Yang lain membantah: “Ia bukan seorang dukun.” Sebagian berkata: “Ia
seorang penyair.” Tapi lagi-lagi ada yang membantah: “Ia bukan penyair.” Ada
yang berkata: “Apa yang dibawanya itu adalah sihir yang dipelajari dari
orang-orang terdahulu.” Mendengar perkataan orang-orang itu Nabi saw merasa
sedih lalu menutup kepala dan tubuhnya dengan selimut, maka Allah menurunkan
ayat 1 sampai 7.[2]
Menurut
Qurthuby berdasarkan kebanyakan ayatnya, surah ini makkiyah, berisi 56 ayat.[3]
Sayyid Quthb sepakat surah ini turun setelah surah Al Alaq dengan sebab turun
yang kurang lebih sama dengan sebab turunnya surah Al Muzammil.[4]
Ayat-ayat Al
Mudatsir yang pendek-pendek dengan tekanan yang cepat seolah meletupkan
semangat gerak yang mengajak para aktivis dakwah bergerak cepat memenuhi bumi dengan
aktifitas, kreatifitas dan interaksi dengan manusia.[5]
Perintah Menyampaikan Dakwah
Dua ayat
pertama surat Al Mudatsir berisi perintah kepada Nabi untuk memperingatkan
kaumnya dari penyimpangan mereka. Allah berfirman;
يَاأَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ. قُمْ
فَأَنْذِرْ
Hai orang yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah peringatan!
Ibnu Abbas
menjelaskan bahwa ketika Nabi, saw, tidur membungkus dirinya dengan selimutnya karena sedih akan
perilaku orang-orang Quraisy, Allah justru memerintahkan beliau untuk mengajak
mereka kepada tauhid.[6]
Yaitu ketika orang-orang Quraisy mulai mendengar desas-desus bahwa ada malaikat
mendatangi nabi saw dan mengajarkan suatu agama, mereka menggunjing nabi saw
dengan keji; seolah bahwa Nabi saw telah sakit gila, menuduh nabi sebagai
tukang sihir (karena yang mendatangi beliau adalah jin atau setan).[7]
Menurut Sayyid Quthb, memberi
peringatan adalah hal yang paling menonjol dalam risalah. Orang-orang yang
lalai sesungguhnya tidak mempengaruhi kebesaran Allah. Tetapi rahmat dan kasih
sayangNya menuntut akan adanya indzar, supaya manusia mendapatkan kesempatan
terhindar dari azabNya.[8]
Kalimat fa
andzir, pada ayat kedua adalah bentuk kata kerja perintah yang menunjukkan
bahwa kata kerja tersebut adalah wajib hukumnya.[9]
Tema Sentral Dakwah; Wujud Allah dan KebesaranNya
Segala
aktivitas dakwah sesungguhnya bermuara pada satu tema sentral yaitu tauhid.
Surat Mudatsir yang turun pada awal-awal turunnya Al Quran mengajarkan bahwa
sejak awal sekali, dakwah dimulai dengan mengajak manusia kepada pengakuan
kepada kebesaran Allah. Sebagai antitesis dari pengagungan berhala yang hidup
di kalangan masyarakat Quraisy.
وَرَبَّكَ فَكَبِّرْ
dan Tuhanmu agungkanlah
Maka Nabi
saw diperintahkan untuk senantiasa mengagungkan Allah agar beliau mampu
menghadapi tugas memberi peringatan kepada ummat manusia dengan segala
konsekuensinya yang melelahkan, mengerikan dan memberatkan. Karena, Allah lebih
besar dari apa yang dikatakan para penyembah berhala itu.[10]
Sesungguhnya
benda-benda, kekuatan, kejadian, makna dan bentuk-bentuk, tiap orang, tiap
nilai & hakikat semuanya kecil & tertutup di hadapan Allah. Lenyap
dalam naungan keagungan dan kesempurnaan Allah Yang MahaEsa, Mahabesar lagi
Mahatinggi. Maka orang yang dalam hatinya hanya Allah yang Mahabesar, akan
menganggap kecil segala kesulitan, rintangan & tantangan.[11]
Persiapan Para Da’i; Fisik, Mental & Spiritual
Untuk dapat
mengajak manusia kepada kebaikan dan
meninggalkan keburukan, para da’i adalah orang yang lebih dahulu kepadanya. Ia
harus terlebih dahulu memeriksa dirinya, hatinya, fikrahnya dan hal lain
yang terkait dengan dirinya. Lalu membersihkannya jika ditemui olehnya kotoran.
Sebagaimana perintah Allah;
وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ
dan pakaianmu bersihkanlah
Menurut Ibnu
Abbas maksud ayat ini adalah; maka bersihkanlah hatimu dari
pengkhianatan dan kebosanan, yakni jadilah orang yang suci hatinya. Adapun
maksud dari sucikan pakaianmu : (1)maka pendekkanlah (sederhanalah dalam berpakaian
bisa juga berarti pakaian pendek lebih terjaga dari terpapar najis yang mungkin
ada di tanah), dan (2) sucikanlah pakaianmu dari (kotoran) najis.[12]
Ibnul
Mundzir mengartikan ayat ini dengan jangan kau kenakan pakaianmu dalam rangka
bermaksiat kepada Allah.[13]
Sayyid Quthb
menjelaskan bahwa kalimat kebersihan pakaian dalam bahasa Arab adalah
kiasan untuk mengungkapkan kebersihan hati, akhlaq dan amal perbuatan.
Sebagaimana kebersihan adalah sesuatu yang paling dekat dengan karakter risalah
Islam. Maka seorang da’i adalah orang yang membersihkan diri dan jiwanya secara
total untuk berdakwah di tengah berbagai arus dan dapat mengatasi segala noda, godaan dan pencemaran yang
menyertainya.[14]
Sedangkan Al Qurthuby lebih spesifik menyebutkan 8 makna, salah satunya yang dimaksud dengan pakaian
adalah pekerjaan. Yang kedua adalah hati. Yang ketiga adalah jiwa. keempat
adalah tubuh. Kelima adalah keluarga. Keenam adalah akhlak. Ketujuh adalah
agama. Kedelapan adalah pakaian yang dikenakan secara lahiriah.[15]
Menjaga diri dari Perbuatan Dosa
Para da’i
adalah orang pertama yang menjaga dirinya dari perbuatan dosa, sebelum
masyarakat mitra dakwahnya. Firman Nya;
وَالرُّجْزَ فَاهْجُرْ
dan perbuatan dosa tinggalkanlah
Menurut Ibnu
Abbas maksud ayat ini adalah kemudian tinggalkanlah perbuatan dosa dan jangan
mendekatinya.[16]
Dalam tafsirnya
Thabary menuliskan banyak riwayat yang mengarah kepada pengertian dari ar
rujz adalah dosa penyembahan berhala. Ia juga menulis sebuah kisah bahwa di
Ka’bah ada dua berhala bernama; Isaaf dan Naa'ilah. Siapa pun
yang datang akan mengusap wajah dan kepala kedua patung tersebut
dengan tangannya. Maka Alah SWT memerintahkan
Nabi-Nya untuk menjauhi dan menyingkirkannya.[17]
Lafaz ar
rujz pada asalnya bermakna azab, kemudian digunakan untuk hal-hal
yang mendatangkan azab. Hal ini untuk mempertegas agar Nabi saw benar-benar
menjaga kesucian diri dan tidak tercemar oleh kotoran dosa dan penyimpangan.[18]
Orientasi & Motivasi yang Benar
Sebagaimana
tema sentral dakwah adalah mengajak manusia kepada penyembahan Allah, maka
dakwah sesungguhnya tidak berpretensi duniawi. Ia adalah urusan yang
semata-mata diserahkan kepada Allah. Allah sendiri yang akan mencatatnya,
menghitungnya dan memberikan ganjaran. Dalam firmannya Allah sendiri
memperingatkan;
وَلا تَمْنُنْ تَسْتَكْثِرُ
dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih
banyak
Menurut Ibnu
Abbas makna ayat ini adalah, jangan memberi sesuatu yang sedikit, agar kamu
diberi sesuatu yang lebih baik dan lebih banyak dari yang kamu berikan itu di
dunia ini. Makna lain juga dikatakan; jangan membesar-besarkan amalmu di
hadapan Allah.[19]
Menurut
Qurthuby ayat ini punya 11 makna, yaitu;
1. 1. Jangan merasakan beban
kenabianmu berat,
seperti beratnya beban karena sebab lainnya.
2. 2. Jangan memberikan sesuatu
dengan maksud mengharap sesuatu yang lebih baik dari itu, kata Ibnu Abbas, Ikrimah dan Qatadah.
Al-Dahhak berkata:
Ini dilarang oleh Allah pada Rasulullah saw, disebabkan
ini merupakan keutamaan akhlaq dan adab. Tetapi dibolehkan bagi ummat islam.
3. 3. Dari Mujahid juga: Jangan
melemahkan diri kamu, karena
engkau lebih baik, dan ucapanmu lebih kokoh
dari perkataan orang lain yang lemah dan rentan.
4. 4. Juga menurut Mujahid dan Ar-Rabi': Jangan memandang
amalmu terlalu
besar, karena itu
adalah salah satu nikmat yang Allah berikan kepadamu. Ibn
Kisan berkata: Jangan berlebihan memandang amalmu sendiri, karena itu merupakan
anugrah Allah padamu, sebagai jalan supaya engkau bisa beribadah padaNya.
5. 5. Al-Hassan berkata: Jangan mengharapkan
pada Tuhan dengan
amalmu, supaya Allah
melipatgandakannya.
6. 6. Jangan sampaikan kenabian dan Al-Qur'an kepada manusia, dengan
maksud mendapatkan bayaran yang yang banyak.
7. 7. Al-Qurzi berkata: Jangan berikan hartamu
supaya ia (kembali padamu) bertambah banyak.
8. 8. Zaid bin Aslam berkata: Jika engkau
memberi sesuatu, berikan karena Tuhanmu.
9. 9. Jangan mengatakan aku sudah berdoa tapi tidak
dikabulkan bagiku.
1. 10. Jangan beramal dengan meminta imbalannya, tetapi
bersabarlah sampai Allah yang membalas sendiri amalmu.
1 11. Jangan berbuat baik dengan
bermaksud riya’ di hadapan
orang-orang.[20]
Dari banyak
pengertian yang diuraikan di atas, sebuah garis bawah disampaikan oleh Sayyid
Quthb yang mengomentari ayat di atas sebagai berikut:
Padahal Rasulullah akan mengorbankan banyak hal, akan mengalami jerih payah
dan kesusahan. Tapi Allah mengehendaki agar beliau tidak sekali-kali menganggap
besar apa yang dilakukannya dan tidak menganggapnya banyak sehingga beliau
merasa berjasa. Karena menjadi da’i adalah karunia, kehormatan yang Allah
pilihkan, yang selayaknya disyukuri. Bukan malah merasa besar dan berjasa.[21]
Bersabar di Jalan Dakwah
Dakwah
adalah jalan hidup yang penuh kesulitan, tantangan dan rintangan. Sejak awal
tema kesabaran telah disebutkan Allah agar menjadi perhatian.
وَلِرَبِّكَ فَاصْبِرْ
Dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah.
Menurut Ibnu
Abbas ayat ini bermakna:
على طَاعَة رَبك وَعبادَة رَبك فاصبر[22]
dalam keta’atan dan ibadah kepada Tuhanmu itu bersabarlah
Ath Thabary
menjelaskan maksud ayat ini adalah: bersabarah untuk Tuhamu
atas musibah yang manimpamu. Ath Thabary juga mengutip pandangan lain bahwa ayat ini terkait dengan
ayat sebelumnya sehingga maknanya : bersabarlah untuk Tuhanmu atas pemberianmu.[23]
Qurthuby mengutip Mujahid
menafsirkan ayat ini dengan, bersabarlah
atas sesuatu yang menyakitimu. Ia juga mengutip Ibnu Zaid yang menafsirkannya dengan; kamu telah
diserahkan sesuatu yang agung yang akan ditentang oleh orang-orang asing bahkan
oleh orang-orang di sekitarmu (orang-orang Arab), oleh karena itu bersabarlah
kamu karena Allah.[24]
Sayyid Quthb
menjelaskan bahwa perjuangan dakwah adalah perjuangan ganda; yaitu untuk
melawan musuh dakwah & melawan kecenderungan nafsu dan keinginan hati. Maka
sabar adalah bekal pokoknya.[25]
Daftar Pustaka
ibnu Abbas, Abdullah, ra, tt, Tanwir al Miqbas min
Tafsir Ibnu Abbas, dikumpulkan oleh Majduddin Abu Thahir Muhammad bin
Ya’kub Fairuzzabady (w.817H), Darul Kutub Ilmiyah, Libanon.
Khalaf, Abdul Wahab, 1978, Ilmu Ushul al Fiqih, Dar al
Qalam, Kairo.
Khalid, Amru, 2011, Khowatir Qur’aniyah,
terjemahan Khozin Abu Faqih dkk, Al I’tishom, Jakarta.
al Qurthuby, Abu Abdullah Muhammad Syamsuddin, 1384, Al
Jami’ li Ahkami Al Quran, Dar al Kutub al Mishriyah-Kairo.
Quthb, Sayyid, (2004), Fii Dzhilal al Quran,
terjemahan Aunur Rofiq Shaleh Tamhid & Bahrun Abubakar, Robbani Press
Jakarta.
as Suyuthi, Jalaluddin, 2008, Sebab Turunnya Ayat
Al Quran, terjemahan Tim Abdul Hayyie, Gema Insani Press, Jakarta.
ath Thabari, Abu Ja’far, 1420, Jami’ul Bayan fi
Ta’wil al Quran, Mu’asasah Risalah.
al Tustary, Sahal bin Abdullah, 1423, Tafsir Al
Tustary, Dar al Kutub al Ilmiyah, Beyrut.
[1] Abu Ja’far ath Thabari, 1420, Jami’ul Bayan fi
Ta’wil al Quran, Mu’asasah Risalah, Juz XXIII, hlm. 7.
[2]
Jalaluddin as Suyuthi,
2008, Sebab Turunnya Ayat Al Quran, terjemahan Tim Abdul Hayyie,
Gema Insani Press, Jakarta, hlm. 603.
[3] Abu Abdullah Muhammad Syamsuddin al Qurthuby, 1384, Al Jami’ li
Ahkami Al Quran, Dar al Kutub al Mishriyah-Kairo, Juz XIX, hlm. 59.
[4] Sayyid
Quthb,(2004), Fii Dzhilal al Quran, terjemahan Aunur Rofiq
& Bahrun Abubakar, Robbani Press Jakarta, Jilid XII, hlm.481.
[5] Amru Kholid, 2011,
Khowatir Qur’aniyah, terj. Khozin Abu Faqih dkk, Al I’tishom, Jakarta,
hlm. 717.
[6] Abdullah bin Abbas ra,
tt, Tanwir al Miqbas min Tafsir Ibnu Abbas, dikumpulkan oleh
Majduddin Abu Thahir Muhammad bin Ya’kub Fairuzzabady (w.817H), Darul Kutub
Ilmiyah, Libanon, hlm.491
[7] Qurthuby,
op.cit, Juz XIX, hlm.60.
[8] Sayyid Quthb, op.cit, Jilid XII, hlm. 496.
[9] Abdul Wahab Khalaf, 1978,
Ilmu Ushul al Fiqih, Dar al Qalam, Kairo, hlm.106.
[10] Ibnu Abbas,
loc.cit, hlm.491.
[11] Sayyid Quthb, op.cit, Jilid XII, hlm.497.
[12] Ibnu Abbas, loc.cit,hlm.491.
[13] Sahal bin Abdullah al Tustary, 1423, Tafsir
Al Tustary, Dar al Kutub al Ilmiyah, Beyrut, Juz I, hlm.181.
[14] Sayyid Quthb, op.cit Jilid XII,hlm.498.
[15] Al Qurthuby, op.cit, Juz XIX, hlm. 62.
[16] Ibnu Abbas, op.cit, hlm.491.
[17] Ath Thabary, op.cit, Juz XXIII, hlm. 13
[18] Sayyid Quthb, op.cit, Jilid XII, hlm.499.
[19] Ibnu Abbas, op.cit, hlm.491.
[20] Al Qurthuby, op.cit, Juz XIX, hlm.67-68.
[21] Sayyid Quthb, op.cit, Jilid XII, hlm.500.
[22] Ibnu Abbas, op.cit, hlm.491.
[23] Ath Thabary, op.cit, Juz XXIII, hlm. 16.
[24] Al Qurthuby, op.cit, Juz XIX, hlm. 69.
[25] Sayyid Quthb, op.cit, Jilid XII, hlm.501.
