Ini adalah kisah tentang saudaraku Ishaq. Dia adalah anak lelaki yang lama sekali ditunggu kehadirannya oleh ayahku, Ibrahim, dari isteri pertamanya. Ibu Sarah.
Sejak awal pernikahan, setiap malam mereka berdoa, "Duhai Allah, Tuhan
kami, anugerahkanlah kepada kami seorang anak yang termasuk orang-orang shalih
yang selalu menaati-Mu, tidak bermaksiat kepada-Mu, berbuat perbaikan di bumi,
dan tidak merusak.” Begitu terus. Puluhan tahun, sampai usia mereka sama-sama
menua.
Suatu hari mereka terkejut oleh kedatangan Jibril. “Bergembiralah dengan
kelahiran seorang anak laki-laki, berilah ia nama, Ishaq..., wahai kalian
berdua.” Kata Jibril menyampaikan kabar gembira dari Allah.
Bayangkan, luar biasanya saudaraku itu. Bahkan namanya saja, Allah yang
tentukan.
Terheran-heran Ibu Sarah menepuk-nepuk pipinya, berharap ini bukan mimpi. Ia
berkata, "Mungkinkah? Aku akan
melahirkan anak padahal aku adalah seorang perempuan tua, dan ini Ibrahim, suamiku
pun sudah tua bukan? Duh, Jibril benarkah yang kau katakan itu?”
Jibril hanya menjawab, “Sesungguhnya Tuhan kalian, Allah, adalah Yang Maha
Terpuji lagi Maha Mulia. Bersyukurlah padaNya.” Dingin tanpa ekspresi.
Ibu Sarah masih belum yakin. Ia mengejar, penuh harapan bercampur kecemasan
kepada Jibril, “Engkau punya bukti, duh, Jibril?”
Jibril lalu memungut sebatang tongkat kayu mati yang sudah kering. Ia
menggenggam tongkat itu di antara jari jemarinya sebentar, tongkat itu berubah
menjadi hijau, hidup kembali.
Yakinlah Ibu Sarah dan Ayahku Ibrahim. Ayah saking senangnya, bahkan
membuat nadzar kepada Tuhan. "Jika benar begitu, aku akan punya anak, ia nanti
akan kukurbankan, kuserahkan ia kepada Mu, ya Allah”.
Ishaq pun lahir. Ia adalah seorang lelaki yang sangat penyabar, baik hati
dan lembut perilakunya. Allah menyebut dirinya ghulamun haliim, anak
muda yang lembut.
Saatnya pun tiba. Ketika Ishaq sudah tumbuh jadi pemuda, Allah mengingatkan
Ayahku, Ibrahim pada nadzarnya, lewat sebuah mimpi, “Penuhilah nadzar yang
kau buat, duhai Ibrahim, teman baik-Ku. Sesungguhnya Aku mengaruniaimu seorang
anak laki-laki dari Sarah agar kamu menyembelihnya”.[1]
Dalam mimpinya itu, Ayahku juga melihat bahwa ia menyembelih
Ishak, ia berjalan
menempuh jarak yang biasanya memakan
waktu sebulan namun
hanya ditempuh dalam waktu setengah hari, yaitu suatu tempat
di Mina, untuk melaksanakan perintah penyembelihan itu.
Mungkin itu hanya sebuah mimpi. Tapi ia datang setiap malam.
Berturut-turut. Sehingga Ayahku akhirnya yakin, bahwa mimpi itu bukan sekedar
bunga tidurnya.
Suatu pagi, Ayahku berkata kepada Ishaq, “Ayo ikut, kita akan melakukan
kurban untuk Allah”. Dengan membawa pisau dan tali yang sudah dipersiapkannya, mereka
kemudian pergi bersama.
Sesampainya mereka di perbukitan, Ishaq bertanya, “Bapak, di mana kurbanmu?
“Dengan sedih, Ayah menjawab, “Duhai Anakku sesungguhnya aku melihat dalam
mimpiku bahwa Allah mengingatkan aku untuk menunaikan nadzarku dulu tentangmu. Dia
memerintahkan aku menyembelihmu, sebagai pengurbanan bagi-Nya. Maka pikirkanlah
baik-baik, bagaimana pendapatmu?”
Saudaraku Ishaq, tanpa berfikir terlalu lama, menjawab, ''Duhai Bapakku, kerjakanlah
apa yang diperintahkan Allah kepadamu; in sya Allah Bapak akan mendapati aku termasuk
orang-orang yang sabar”.
Ayah memandang sedih kepada Ishaq. Ishaq malah berkata kepadanya, “Janganlah memandang
wajahku, nanti jadinya Bapak merasa
kasihan padaku hadapkanlah
wajahku ke tanah. Kencangkan ikatanku agar aku tidak meronta, dan jauhkan
pakaian Bapak dariku agar darahku tidak memercik di pakaian Bapak, karena bila Ibu
melihatnya, ia akan sedih. Juga cepatkan irisan pisau di tenggorokanku, agar
kematian lebih ringan bagiku”.
Air mata menetes di pipi Ishaq. Jangan salah sangka. Ishaq tidak takut
mati, tetapi siapa yang sanggup tak menangis karena perpisahan? Ayah kemudian
mengiriskan pisau pada tenggorokan Ishaq, namun pisau itu tidak mempan.
Allah telah meletakkan lempengan timah pada tenggorokan Ishaq. Ketika Ayah melihat
hal itu, ia lalu membalikkan tubuh Ishaq menghadap tanah dan mengarahkan pisau
pada tengkuknya. Mereka berdua sudah sepenuhnya berserah diri kepada Allah.
Pada saat itulah ada suara menyeru dengan lembut, “Duhai Ibrahim
kekasih-Ku, sesungguhnya engkau telah membuktikan cintamu! Maka Aku tebus anak
mu dengan seekor sembelihan yang besar”.
Bukan main terkejutnya Ayah, ketika ia menoleh dan membuka matanya. Maka
dilihatnya yang disembelihnya adalah seekor domba yang besar. Ia pun mengangkat
domba itu, menyingkirkannya dari tubuh Ishaq. Didekapnya tubuh anaknya itu dan diciumnya,
sembari berkata, “Hari ini, duhai Anakku, engkau dianugerahkan kepadaku”.
Dengan membawa daging domba kurban itu, mereka berdua pun kembali ke rumah.
Ayah lalu menceritakan apa yang baru saja terjadi pada mereka berdua kepada Ibu
Sarah. Kalian tahu apa rekasinya? Dia marah sekali. Dihujatnya Ayahku, “Ibrahim,
kamu ingin menyembelih anakku, tapi gak bilang-bilang sama aku?”
Apa maksudnya? Memangnya kalau bilang-bilang, bakal diizinin gitu?
Atau ia malah akan melarangnya?
Wallahu ‘alam bishshawwab. Semoga keselamatan selalu tercurah kepada Ayahku
Ibrahim dan Ishaq, saudaraku.
[1] Muhammad ibnu Jarir ath Thabari, Jami’ul Bayan fii
Ta’wil al Quran, Mu’asasah
Risalah, 1420 H / 2000 M, Juz XXI, hlm.74
