oleh Wahyu Bhekti Prasojo
Sebelum
hijrah Rasulullah dan para sahabat ke Madinah, sebagian sahabat Nabi ada yang
berhijrah ke Habasyah (Ethiopia sekarang). Peristiwa ini terjadi pada pertengahan
tahun ke-5 kenabian, akibat dari represi orang-orang Quraisy yang semakin masif
terhadap orang-orang Islam. Sehingga seakan
tiada tempat lagi bagi mereka untuk “bernafas dengan lega” di Mekkah. Kondisi
memaksa mereka untuk senantiasa memikirkan siasat lolos dari intimidasi setiap
hari. Dalam kondisi yang seperti inilah, turun surat az-Zumar yang
mengisyaratkan perlunya berhijrah dan mengumumkan bahwa bumi Allah tidaklah
sempit, dalam firmanNya:
قُلۡ يَٰعِبَادِ ٱلَّذِينَ
ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ رَبَّكُمۡۚ لِلَّذِينَ أَحۡسَنُواْ فِي هَٰذِهِ ٱلدُّنۡيَا
حَسَنَةٞۗ وَأَرۡضُ ٱللَّهِ وَٰسِعَةٌۗ إِنَّمَا يُوَفَّى ٱلصَّٰبِرُونَ أَجۡرَهُم
بِغَيۡرِ حِسَابٖ
"Katakanlah wahai hamba-hamba yang beriman dan
bertakqwa, kepada rang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh
kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang
bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas".
(Az Zumar: 10).
Thabary
menuliskan dalam tafsirnya tentang makna وَأَرۡضُ ٱللَّهِ
وَٰسِعَةٌۗ, yang diberikan Mujahid pada ayat di atas adalah bumi Allah itu luas maka berhijrahlah dan
tinggalkanlah berhala-berhala. Sementara ia sendiri memaknainya dengan, bumi
Allah itu lapang dan luas, maka berhijrahlah dari bumi kemusyrikan ke negeri
Islam.[1]
Sementara
itu Rasulullah nampaknya telah mengetahui bahwa Ashimah an Najasyi, raja
Habasyah adalah seorang yang adil, tidak seorangpun yang berada disisinya
terzhalimi; oleh karena itu, beliau memerintahkan kaum Muslimin agar berhijrah
ke sana guna menyelamatkan agama mereka dari fitnah.[2]
Rombongan
pertama yang membawa para shahabat bergerak pada bulan Rajab di tahun itu.
Rombongan ini terdiri dari 12 orang laki-laki dan 4 orang perempuan, dikepalai
oleh 'Utsman bin 'Affan yang ditemani oleh Ruqayyah binti Rasulillah
Shallallâhu 'alaihi wasallam. Rasulullah menyifati keduanya sebagai
"keluarga pertama yang berhijrah di jalan Allah setelah Nabi Ibrahim dan
Luth 'alaihimassalaam". Gelombang
kedua hijrah ke Habasyah ini membawa rombongan yang terdiri dari 83 orang laki-laki
dan 18 atau 19 orang perempuan.[3]
Kepergian mereka dilakukan secara
rahasia, dengan mengendap-endap pada malam yang gelap-gulita –agar tidak
diketahui oleh kaum Quraisy- menuju laut kemudian mengarah ke pelabuhan rakyat.
Ternyata, takdir mereka sejalan dan seiring dengan itu dimana ketika itu ada
dua buah kapal dagang yang akan berlayar menuju Habasyah dan merekapun ikut
serta bersamanya. Kaum Quraisy akhirnya mengetahui hal itu, lalu menelusuri
jejak perjalanan kaum muslimin akan tetapi tatkala mereka baru sampai di tepi
pantai, kaum muslimin telah bergerak dengan aman. Akhirnya, kaum muslimin
menetap di Habasyah dan mendapatkan sebaik-baik pelayanan.[4]
Orang-orang Quraisy tidak tinggal diam
dalam hal ini. Mereka mengutus dua orang pilihan yang dikenal sebagai orang
telah yang teruji lagi cerdik, yaitu 'Amru bin al-'Ash dan 'Abdulullah bin Abi
Rabi'ah untuk mengupayakan deportasi kaum muslimin dari Habasyah. Upaya ini
mereka lakukan dengan menyuap para pembesar Habasyah sampai dengan membuat
fitnah terhadap keyakinan nasrani yang dianut Raja.
Tetapi semua tuduhan dikonfirmasi
dengan baik oleh Ja’far bin Abu Thalib tanpa harus berdusta dan bersilat lidah.
Tentang Nabi Isa ia menerangkan, "Kami mengatakan tentangnya sebagaimana
yang dibawa oleh Nabi kami Shallallâhu 'alaihi wasallam : 'Dia adalah hamba
Allah, Rasul-Nya, ruh-Nya dan kalimat-Nya yang disampaikan kepada Maryam, si
perawan yang ahli ibadah".
Najasyi kemudian memungut sebatang
ranting pohon dari tanah seraya berujar: "Demi
Allah! apa yang kamu ungkapkan itu tidak melangkahi 'Isa bin Maryam meski
seukuran ranting ini". Mendengar itu, para uskup mendengus, dan dengusan
itu langsung ditimpalinya: 'Demi
Allah! sekalipun kalian mendengus".[5]
Dia kemudian berkata kepada kaum
muslimin: "Pergilah! Kalian akan aman di negeriku. Siapa saja yang mencela
kalian, maka dia akan celaka. Siapa saja yang mencela kalian, maka dia akan
celaka. Siapa saja yang mencela kalian, maka dia akan celaka. Aku tidak akan
menyakiti siapapun diantara kalian, meski aku memiliki gunung emas"
(perkataan itu diungkapkan dalam bahasa Habasyah).
Kemudian Najasyi berkata kepada para
pejabat istana: "Kembalikan hadiah-hadiah tersebut kepada keduanya, karena
aku tidak memerlukannya. Demi Allah! Dia Ta'ala tidak pernah mengambil sogokan
dariku tatkala kerajaan ini Dia kembalikan kepadaku, sehingga dengan itu, aku
patut mengambilnya pula, dan Dia juga tidak membuat manusia patuh kepadaku
sehingga aku harus patuh pula kepada mereka karena itu".
Hikmah & Pelajaran dari Peristiwa
Hijrah ke Habasyah
Hijrah ke Habasayah ini menghasilkan
tersemainya Islam di benua Hitam, Afrika. Di sebutkan bahwa tiga puluh orang
Nasrani Habasyah semuanya lelaki, datang ke Mekkah menemui Rasulullah, ingin
mempelajari Islam. Mereka diantar oleh Ja’far bin Abu Thalib. Setelah
mendengarkan ayat-ayat al Qur’an yang dibacakan Rasulullah kepada mereka, tidak
seorang pun dari mereka kecuali beriman kepada apa yang dibawa Rasulullah.[6]
Peristiwa ini seperti menohok
orang-orang Quraisy, karena terjadi di tengah penindasan yang semakin keras
terhadap kaum muslimin. Abu Jahal menghujat orang-orang Habasyah itu dengan
kata-kata yang sangat kasar. Ia begitu marah karena masuk Islamnya komunitas
lain ke dalam agama musuhnya adalah paradoksal terhadap intimidasi yang
dilakukannya bersama kaumnya.
Tetapi
menurut Abu Hasan an Nadwi, Ja’far bin abu Thalib baru kembali menemui
Rasulullah setelah 15 tahun kemudian. Jika orang-orang Islam selama tinggalnya,
berdakwah di Habasyah, maka waktu 15 tahun itu cukup lama untuk mendapatkan
hasil yang relatif baik, mengingat bahwa negeri itu menampilkan perwujudan
toleransi dan perlindungan terhadap minoritas. Meskipun tidak didapati dokumen
sejarah yang cukup meyakinkan, hal ini dapat dilakukan dengan qiyas atau
analogi sejarah[7]
atau interpretasi pada data sejarah yang ada.[8]
Perintah
berhijrah ke Habasyah ini menunjukkan adanya ikatan di antara Islam dan
Kristen. Kedua agama samawi ini secara sumber dan asal usulnya yang
benar adalah sama. Sebagaimana kesamaan dalam hal keimanan kepada Allah,
Rasul-rasul dan Hari Akhir. Demikian juga tujuan-tujuan sosialnya.[9]
Hal ini juga terlihat jelas dari sikap dan jawaban Najasyi terhadap provokasi
Amr bin Ash agar Najasyi mendeportasi orang-orang Islam. juga ketenangan Ja’far
bib Abu Thalib mengahadapi Najasyi dengan membacakan bagian awal surat Maryam
dari Al Quran.
Sementara
itu, di dalam Injil juga telah pun disebutkan tentang sifat—sifat Rasul itu. Misalnya, Injil,
Yahya 15:26; Tetapi
ketika Paraclitos datang, orang yg aku utus kepadamu dari Bapak, bahkan
ruh kebenaran, yg berasal dari Bapak, dia akan memberikan kesaksian tentang
aku.
Kebanyakan orang kristen percaya bahwa ramalan tentang kenabian
dalam perjanjian lama atau perjanjian baru berkenaan
dengan Isa atau Yesus. Tetapi William Muir mengomentari
ayat ini dengan menuliskan,
This name was rare among the Arabs, but not unknown. It
is derived from hamada, and signifies ‘The Praised’. Another form is AHMED,
which having been erroneously employed as a translation of ‘The Paraclete’ in
some Arabic version of the New Testament, became a favourite term with Muslims,
especially in addressing Jews and Chistians; for it was (they said) the title
under which the Phrophet had been in their books predicted. [10]
Tema ayat di atas mirip
dengan tema ayat ke 6 surat Shaff.
وَإِذْ قَالَ
عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ
مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيَّ مِنَ التَّوْرَاةِ وَمُبَشِّرًا بِرَسُولٍ
يَأْتِي مِنْ بَعْدِي اسْمُهُ أَحْمَدُ فَلَمَّا جَاءَهُمْ بِالْبَيِّنَاتِ
قَالُوا هَذَا سِحْرٌ مُبِينٌ
Dan (ingatlah) ketika Isa Ibnu Maryam berkata:
"Hai Bani Israil, Sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu,
membenarkan kitab sebelumku, Yaitu Taurat, dan memberi khabar gembira dengan
(datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad
(Muhammad)." Maka tatkala Rasul itu datang kepada mereka dengan membawa
bukti-bukti yang nyata, mereka berkata: "Ini adalah sihir yang
nyata." (Shaaf : 6)
Dalam ayat ini, dikisahkan
Nabi Isa memprediksikan tentang kenabian setelah beliau, yaitu Ahmad
(Muhammad). Ath Thabary mencantumkan sebuah riwayat terkait ayat ini dalam
tafsirnya, bahwa Nabi bersabda, Sesungguhnya aku di sisi Allah telah ditetapkan
sebagai penutup para nabi, semenjak Adam baru saja diciptakan dari tanah. Akan
kukabarkan bahwa awal dari semua itu adalah dakwah Ayahku Ibrahim, dan kabar
yang disampaikan Isa tentangku, mimpi ibuku sebagaimana mimpi ibu para nabi,
mereka bermimpi sebagaimana ibuku bermimpi ketika mangandungku bahwa keluar
dari padanya cahaya pada benteng-benteng di Syam.[11]
Jadi keimanan
Ashimah an Najasy ini adalah rangkaian keimanan yang terdahulu dengan sedikit
penyesuaian dengan ‘aqidah Islam. Ia dan rakyatnya adalah ahli Kitab yang
beriman kepada Injil dan beramal dengan perintah ajarannya. Mengikuti apa yang
telah dijelaskan Injil supaya mereka beriman kepada Rasul yang akan datang
selepas ‘Isa ‘alaihissalam.
Daftar Pustaka
al Buthy, Muhammad Sa’id Ramadhan, 1993, Sirah
Nabawiyah, (terj. Aunur Rariq Shaleh Tamhid) Jakarta: Rabbani Press.
al Mubarakfuri, Shafiyurrahman, 1414H, ar
Rahiqul Makhtum, (terj. Kathur Suhardi), Jakarta: Pustaka al Kautsar.
Muir, William,
T.H. Weir, 1912, The Life of Mohammad, From
the Original Source, Edinburgh: John Grant 31 George IV Bridge.
an Nadwi, Abul Hasan Ali al Hasani, 2005, Sirah
Nabawiyah, Sejarah Lengkap Nabi Muhammad saw, terjemahan
Muhammad Halabi Hamdi dkk, Mardhiyah Press, Sleman.
Ath Thabary, Abu Ja’far, 2000, Jami’ul Bayan fii Ta’wil
Al Qur’an, Muasasah Ar Risalah.
https://id.wikipedia.org/wiki/Islam_di_Etiopia.
[1] Thabary 2000, Jami’ul Bayan fii Ta’wil
Al Qur’an,
Muasasah Ar Risalah, Juz XXI, hlm.269.
[2] Al Mubarahfury, 1414H, ar
Rahiqul Makhtum, (terj. Kathur Suhardi), Jakarta: Pustaka al Kautsar. hlm.98.
[3] Musthafa as Siba’i, 2014, Shirah Nabawiyyah,
terjemahan Abd. Rohim Mukti, Indiva Press, Surakarta, hlm. 46.
[4] Al Mubarakfury, op.cit, hlm.99.
[5] Al Mubarakfury, ibid, hlm.103.
[6] Ramadhan Al Buthy, 1993, Sirah
Nabawiyah, (terj. Aunur Rariq Shaleh Tamhid) Jakarta: Rabbani Press.,
hal.161.
[7] Abul Hasan Ali al Hasani an Nadwi, 2005, Sirah
Nabawiyah, Sejarah Lengkap Nabi Muhammad saw, terjemahan
Muhammad Halabi Hamdi dkk, Mardhiyah Press, Sleman, hlm.142.
[8]
Islam adalah agama yang paling banyak dipraktikkan di Etiopia kedua
setelah Kristen,
dengan lebih dari 25 juta (atau 33,9%) dari penduduk Etiopia mengikuti Islam menurut
sensus nasional 2007 (https://id.wikipedia.org/wiki/Islam_di_Etiopia) akses 21/7/2023, 9:27 am.
[9] Musthafa as Siba’i, op.cit, hlm.50.
[10] William Muir, T.H.
Weir, 1912, The Life of Mohammad, From the Original
Source, Edinburgh: John Grant 31 George IV Bridge, hlm.5.
[11] Ath Thabary, op.cit,
Juz XXIII, hlm.359.