Oleh Wahyu Bhekti Prasojo
BAB I
PENDAHULUAN
Rasulullah datang ke dunia yang sedang jauh
dari hidayah langit. Dunia pada hari itu penuh dengan perilaku zhalim dan suka
berbuat kerusakan. Para raja dan penguasa berlaku tiran dan sewenang-wenang,
tidak ada patokan hukum yang melandasi tata pemerintahan mereka. Para tokoh
agama memutar-balikkan ajaran untuk kepentingan duniawi mereka. Masyarakat
hidup bagaikan hewan ternak yang tak mengenal baik dan buruk. Bahkan tidak ada
pemikiran untuk melakukan suatu perbaikan. Suatu keadaan yang biasa dijelaskan
dengan kata jahiliyah.
Keadaan mereka itu seperti yang digambarkan
dalam Surat An Nuur [24] pada ayat ke 40:
أَوْ
كَظُلُمَاتٍ فِي بَحْرٍ لُجِّيٍّ يَغْشَاهُ مَوْجٌ مِنْ فَوْقِهِ مَوْجٌ مِنْ
فَوْقِهِ سَحَابٌ ظُلُمَاتٌ بَعْضُهَا فَوْقَ بَعْضٍ إِذَا أَخْرَجَ يَدَهُ لَمْ
يَكَدْ يَرَاهَا وَمَنْ لَمْ يَجْعَلِ اللَّهُ لَهُ نُورًا فَمَا لَهُ مِنْ نُورٍ
Atau seperti gelap gulita di lautan yang dalam,
yang diliputi oleh ombak, yang di atasnya ombak (pula), di atasnya (lagi) awan;
gelap gulita yang tindih-bertindih, apabila dia mengeluarkan tangannya,
tiadalah dia dapat melihatnya, (dan) barang siapa yang tiada diberi cahaya
(petunjuk) oleh Allah tiadalah dia mempunyai cahaya sedikit pun.
Tiga belas tahun di Mekkah Rasulullah mendidik
masyarakat. Dakwah pada fase ini seolah tampak tidak begitu berhasil, tetapi
pada fase inilah sejumlah orang dari penduduk Mekkah – yang kemudian dikenal
dengan sebutan ash shahabat –
berkumpul di sekitar beliau dan beriman kepada apa yang diajarkannya. Mereka
membentuk suatu jama’ah dengan sikap hidup yang jauh berbeda dengan
keadaan mereka sebelumnya. Mereka bertransformasi dari masyarakat jahiliyah menjadi
pribadi-pribadi muslim yang unggul, dengan iman yang utuh, ibadah yang
penuh penjiwaan, wawasan pengetahuan yang luas, sikap moral yang santun dan
saling berkasih sayang di antara mereka. Kelompok ini setelah mengungsi ke
Madinah menjadi cikal bakal revolusi Jazirah Arabia yang segera saja merambah
dunia di sekitarnya.
Generasi Qur’ani, Generasi
Terbaik
Dari masyarakat yang terbelakang, orang-orang
Arab dapat berubah menjadi bangsa yang kuat, mampu mengemban risalah,
memunculkan peradaban yang maju, meninggalkan jejak sejarah yang mencengangkan
tak ubahnya seperti dongeng atau mitos. Sebuah kondisi yang digambarkan Al
Qur’an sebagai khayru ummah, ummat terbaik.
كُنْتُمْ
خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ
عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ
خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan
untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan
beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik
bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah
orang-orang yang fasik.(QS Ali Imran 110).
Ar
Raghib menjelaskan, disebutkan “kuntum”
karena pada merekalah dapat dipastikan dan berlakunya pembangunan
syari’at ummat terbaik dengan syarat-syarat bahwa mereka itu memerintahkan
kebaikan, mencegah kemungkaran dan beriman kepada Allah. Dan sungguh mereka
telah melaksanakan syari’at ini dengan sempurna, oleh karena itu Rasulullah saw
bersabda,
"أنتم تتمون سبعين أمة، أنتم خيرها
وأكرمها على الله تعالى".[1]
“Kalian akan menjumpai tujuh puluh umat.
Kalianlah yang paling baik dan paling mulia di sisi Allah.” (H.R. Tirmidzi)
Gambaran
atau sifat ini memang cocok dengan keadaan orang-orang yang mendapatkan khitbah
ayat ini pada masa permulaan. Mereka adalah Nabi Saw, dan para sahabat yang
bersama beliau sewaktu Al-Qur’an diturunkan. Pada masa sebelumnya, mereka
adalah orang-orang yang saling bermusuhan. Kemudian hati mereka diturunkan.
Mereka berpegang pada tali (agama) Allah, melakukan amar ma’ruf dan nahi
mungkar. Orang-orang yang lemah diantara mereka tidak takut terhadap yang
besar. Sebab, iman telah meresap kedalam kalbu dan perasaan mereka sehingga
dapat ditundukan untuk mencapai tujuan Nabi Saw, didalam segala keadaan dan
kondisi.
Keimanan
seperti inilah yang dikatakan oleh Allah dalam firmanya:
إِنَّمَا
الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا
وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang
yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak
ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada
jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar”.(QS. Al-Hujurat :15)
Bagaimana Nabi Muhammad saw,
dapat mempersatukan bangsa yang semula tercerai berai dan terobek-robek oleh
perang saudara, mendidik bangsa yang bodoh (ummi) menjadi bangsa
yang beradab dan berilmu pengetahuan, sehingga berubah dari bangsa yang
terbelakang menjadi bangsa yang disebut Al Qur’an sebagai khayru ummah?
Sayyid Quthb, salah seorang pemikir Islam
kontemporer, mengajukan teorinya dalam salah satu bukunya yang monumental, Ma’alim fii ath Thariq.
Makalah ini mencoba menelaah teori beliau, khususnya pada pembahasan beliau
tentang Generasi Qur’an yang Unik.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Karakteristik
Generasi Qur’ani
Ada suatu kenyataan sejarah
yang patut direnungkan oleh mereka yang bergerak di bidang da’wah Islamiyyah di
setiap tempat dan di setiap waktu. Mereka patut merenungkannya lama-lama,
karena ia mempunyai pengaruh yang menentukan bagi metode dan arah da’wah. Pada
alinea kedua Sayyid Quthb menulis:
لقد خرَّجت
هذه الدعوة جيلاً من الناس - جيل الصحابة رضوان الله عليهم - جيلاً مميزًا في
تاريخ الإسلام كله وفى تاريخ البشرية جميعه. ثم لم تعد تخرج هذا الطراز مرة أخرى..
نعم وُجد أفراد من ذلك الطراز على مدار التاريخ. ولكن لم يحدث قط أن تجمَّع مثل
ذلك العدد الضخم، في مكان واحد، كما وقع في الفترة الأولى من حياة هذه الدعوة.[2]
Da’wah ini pernah menghasilkan suatu generasi manusia,
yaitu generasi sahabat –semoga Allah meridhoi mereka- suatu generasi yang
mempunyai ciri tersendiri dalam seluruh sejarah Islam, dalam seluruh sejarah
ummat manusia. Lalu da’wah ini tidak pernah menghasilkan jenis yang seperti ini
sekali lagi. Memang terdapat orang-orang itu di sepanjang sejarah. Tetapi belum
pernah terjadi sekalipun juga bahwa orang-orang seperti itu berkumpul dalam
jumlah yang demikian banyaknya, pada suatu tempat, sebagaimana yang pernah
terjadi pada periode pertama dari kehidupan da’wah ini.”
Sayyid Quthb dalam menafsirkan surat Ali
Imran ayat 110, menjelaskan pengungkapan
kalimat dengan menggunakan kata “ukhrijat” dikeluarkan, dilahirkan,
diorbitkan dalam bentuk mabni lighoiril-fa’il (mabni lil majhul)
perlu mendapatkan perhatian. Perkataan ini mengesankan adanya tangan pengatur
yang halus, yang mengeluarkan umat ini, dan mendorongnya untuk tampil dari
kegelapan kegaiban dan dari balik bentangan tirai yang tidak ada yang
mengetahui apa yang dibaliknya itu kecuali Allah. Ini adalah sebuah kalimat
yang menggambarkan adanya gerakan rahasia yang terus bekerja dan yang merambat
dengan halus. Suatu gerakan yang mengorbitkan umat ke panggung eksistensi. Umat
yang mempunyai peranan, kedudukan dan perhitungan khusus.[3]
Di sini,
label masyarakat madani sebagai tipikal dari masyarakat ideal merujuk kepada
tatanan nilai dan moral. Tatanan ini berlaku dalam bangunan komunikasi dan
interaksi di antara seluruh anggota masyarakatnya, juga pada sifat-sifat yang
menghiasi keseharian masyarakat tersebut, bukan pada tataran fisik material
sebagaimana yang sering ditonjolkan oleh masyarakat barat yang hedonis.
Sehingga, Al-Qur’an hanya menggariskan beberapa acuan nilai yang menjadikan
sebuah masyarakat itu masyarakat ideal, masyarakat madani dengan tetap
mempertahankan nilai-nilai kebaikan dalam segala bentuknya dan berusaha menepis
keburukan dalam segala bentuknya.
B. Pembentukan Generasi Qur’ani
Untuk menjelaskan fenomena itu Sayyid Quthb
menyebutkan beberapa penyebab dan alasan yang seharusnya menurut beliau
dilakukan pula oleh kaum muslimin dewasa ini. Yaitu:
1. Membersihkan Jiwa manusia
dengan Al Qur’an
Selanjutnya Sayyid Qutb
menulis:
كان رسول الله صلى الله
عليه و سلم يريد صنع جيل خالص القلب خالص العقل خالص التصور خالص الشعور خالص
التكوين من أي مؤثر آخر غير المنهج
الإلهي الذي يتضمنه القرآن الكريم[4]
“Rasulullah
saw ingin mencetak suatu generasi yang jernih hatinya, jernih akalnya, jernih
persepsinya, jernih perasaannya, jernih pembentukannya dari segala pengaruh
lain selain dari metode Ilahi yang dikandung Al-Qur’an.”
Jiwa
manusia adalah benteng yang pintu-pintunya sulit ditembus oleh akal manusia.
Telah banyak teori psikologi berkembang, tetapi tetap saja manusia belum merasa
cukup dengannya untuk memahami kondisi-kondisi jiwa mereka. Al Qur’an adalah
manhaj yang diturunkan dari Allah, Sang Mahatahu, yang mengetahui dengan pasti
seluk beluk jiwa manusia, karena Dia yang menciptakannya.[5]
وَأَسِرُّوا
قَوْلَكُمْ أَوِ اجْهَرُوا بِهِ إِنَّهُ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ . أَلَا
يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ
Dan rahasiakanlah perkataanmu
atau lahirkanlah; sesungguhnya Dia Maha Mengetahui segala isi hati.Apakah Allah
Yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan dan rahasiakan); dan
Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui?(
QS.Al Mulk: 13-14)
Tugas
pertama Al Qur’an dalam mendidik jiwa adalah mengembalikannya kepada fitrahnya
yang murni dan membersihkannya dari berbagai kotoran dan noda akibat pengaruh
lingkungan, adat, khurafat, atau taklid. Dari sini, segi
pembersihan jiwa terlebih dahulu dari segala sifat tercela dan
keinginan-keinginan jahat adalah sesuatu yang harus diperhatikan dalam dunia
pendidikan.[6]
وَقَرْنَ
فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى
وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ
إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ
وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا
dan hendaklah kamu tetap di
rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang
Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah
Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa
dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.(QS. Al Ahzab:33)
Dasar
dari fitrah ini adalah tauhid, di mana sesungguhnya jiwa manusia pada
dasarnya memiliki kecendrungan yang kuat untuk beriman kepada Allah. Namun
karena perjalanan hidupnya dan ketiadaan petunjuk, fitrah itu tertutup karena
berbagai macam sebab. Kondisi ini disinyalir oleh Al Qur’an sebagai berikut:
وَإِذْ
أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ
عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا
يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ . أَوْ تَقُولُوا
إِنَّمَا أَشْرَكَ آبَاؤُنَا مِنْ قَبْلُ وَكُنَّا ذُرِّيَّةً مِنْ بَعْدِهِمْ
أَفَتُهْلِكُنَا بِمَا فَعَلَ الْمُبْطِلُونَ
Dan (ingatlah), ketika
Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah
mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku
ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi
saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak
mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah
terhadap ini (keesaan Tuhan)", atau agar kamu tidak mengatakan:
"Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan sejak
dahulu, sedang kami ini adalah anak-anak keturunan yang (datang) sesudah
mereka. Maka apakah Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang
yang sesat dahulu?"(QS. Al
A’raaf : 172-173)
Inilah potensi keimanan yang membutuhkan
sentuhan, arahan dan bimbingan. Dimana dengan methodenya yang unik, Al Qur’an
mendidik mereka dengan materi yang sesuai realitas. Ayat-ayat Al Qur’an
menghidupkan fitrah mereka yang tertutup sebelumnya oleh debu-debu kemusyrikan,
membersihkan hati mereka dari nafsu, amarah dan dendam, serta menyadarkan akal
fikiran mereka. Ayat-ayat pertama yang diturunkan Allah untuk diajarkan lebih
banyak menjelaskan hakikat besar ini. Yaitu tentang eksistensi Allah,
satu-satunya tuhan yang berhak disembah, tentang penciptaan alam raya dan
isinya, tentang kemana dunia akan berujung, serta balasan bagi
perbuatan-perbuatan baik dan buruk.
Dengan
aqidah tauhid ini, manusia seperti terlahir kembali, dengan mendeklarasikan
hak-hak mereka yang sempat hilang. Hati mereka menjadi bebas dan merdeka,
karena terikat langsung dengan Tuhan tanpa perantara, yang sebelumnya menjadi
sumber khurafat yang membingungkan dan menyesatkan.[7]
2.
Menjadikan Al Qur’an menjadi satu-satunya pedoman dalam Kehidupan.
Kemudian di atas dasar hati dan jiwa yang
bersih inilah dibangun kesiapan melaksanakan Al Qur’an sebagai satu-satunya
pedoman hidup. Jiwa yang bersih ini lalu ditingkatkan dan dikembangkan dengan
kecendrungan-kecendrungan berbuat baik. Al Qur’an menyebutnya dengan al
tazkiyah, yaitu pembersihan dan peningkatan atau penguatan factor pendorong
berbuat baik atau amal.[8]
Inilah makna menjadi seorang muslim, yaitu menyerahkan diri kepada Tuhan dan
menerima, mengakui dan membenarkan semua konsep keimanan Islam.[9]
Para sahabat percaya bahwa semua solusi bagi
permasalahan hidup adalah dengan Al Qur’an. Tidak salah mereka mencari semua
solusinya dalam Al Qur’an karena di dalam Al-Quran terdapat petunjuk-petunjuk
segala hal yang menyangkut kehidupan manusia, baik dalam hubungan dengan
sesamanya, hubungan dengan penciptanya, dan hubungan dengan alam semesta.
Sayyid Quthb menulis:
كان القرآن وحده إذن
هو النبع الذي يستقون منه، ويتكيفون به، ويتخرجون عليه[10]
Al Qur’an menjadi sumber tunggal bagi generasi
pertama untuk memuaskan rasa haus mereka dan menjadi acuan yang membentuk
kehidupan mereka.
Referensi utama yang diadopsi
generasi pelopor adalah Al Quran, hanya Al Quran semata. Para sahabat
Rasulullah telah memperlakukan Al-Qur’an sebagai
satu-satunya tempat pengambilan (rujukan), standar yang menjadi ukuran dan
tempat dasar berfikir. Adapun sabda-sabda dan petunjuk
Rasulullah saw hanyalah merupakan satu dari beberapa konsekuensi yang bersumber
dari Al Quran. Salah satu contoh, ketika Aisyah radhiyallah ‘anha ditanya
tentang akhlaq Rasulullah saw,, ia menjawab, “Akhlaq beliau adalah Al Quran.”
(HR. An Nasa’i)[11]
Adalah Al Quran satu-satunya
sumber referensi yang mereka adopsi. Mereka beradaptasi dengannya dan
mengambil pelajaran darinya. Kala itu, telah ada peradaban dan kebudayaan
Romawi, juga buku-buku dan undang-undang mereka, yang sampai saat kini masih
menjadi acuan dan dikembangkan oleh Bangsa Eropa. Di sisi lain, terdapat pula
sisa-sisa peradaban, rasionalitas, filsafat, dan kesenian Yunani, di mana
menjadi sumber inspirasi pemikiran Barat hingga sekarang. Di tempat lain,
terdapat pula peradaban Persia, berikut kesenian, kesusastraan, mitologi,
kepercayaan-kepercayaan, dan sistem pemerintahannya. Selain itu, masih terdapat
beberapa peradaban lain yang jauh dan yang dekat (dari dunia Arab), misalnya:
peradaban India, peradaban China, dan lain sebagainya.
Pada waktu itu, dua peradaban
–Romawi dan Persia- mengapit Jazirah Arab di sebelah utara dan sebelah selatan,
sementara Judaisme dan agama Kristen masih berpengaruh di tengah-tengah
jazirah. Terdorong kebutuhan terhadap peradaban dan kebudayaan yang universal
maka generasi shahabat tidak hanya membatasi diri berpegang teguh pada
Kitabullah semata, pada saat perintisannya. Demikian ini dilakukan semata-mata
demi sebuah planning yang matang dan sistem yang rapi.
Sehingga, Rasulullah saw marah ketika tatkala beliau melihat di tangan Umar radhiyallahu ‘anhu terdapat lembaran yang berisikan ayat
Taurat.“Demi Allah, sesungguhnya andai saja Musa
masih hidup di belakang kalian, pastilah tak ada yang dilakukannya kecuali ia
akan mengikuti (ajaran)ku!” tandas
beliau. [Diriwayatkan oleh Al Hafizh Abu Ya’la dari Hammad bin Asy Sya’bi dari
Jabir][12]
Bila demikian, berarti telah
ada tuntunan dari baginda Rasulullah saw agar cukup merujuk pada Al Quran –yang
selama ini mereka tekuni- selama masa-masa perintisan. Dengan merujuk pada
Kitabullah semata, jiwa mereka mampu menyatu semata-mata dengan Al Quran, dan
raga mereka berkomitmen menjalankan manhaj Al Quran. Sebab itulah, Rasulullah saw
marah ketika melihat Umar bin Khattab ra hendak mengambil dari referensi
lainnya.
Banyak
sekali permasalahan yang timbul dalam kehidupan manusia saat ini sebenarnya
juga pernah terjadi dimasa lalu dan kalau digali sebenarnya semuanya ada dan
dikisahkan di dalam Al Quran hanya variabelnya saja yang berbeda. Solusi dari
permasalahan apa yang tidak dapat temukan dalam Al Qur’an? Al-Quran diturunkan
sebagai petunjuk bagi manusia dan keterangan-keterangan yang nyata mengenai
petunjuk dan pemisahkan yang hak dari yang batil.
وَيَوْمَ
نَبْعَثُ فِي كُلِّ أُمَّةٍ شَهِيدًا عَلَيْهِمْ مِنْ أَنْفُسِهِمْ وَجِئْنَا بِكَ
شَهِيدًا عَلَى هَؤُلَاءِ وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ
شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ
(Dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami, bangkitkan pada
tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri, dan Kami
datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. Dan Kami
turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan
petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.(QS. An Nahl: 89)
وَمَا
مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا طَائِرٍ يَطِيرُ بِجَنَاحَيْهِ إِلَّا أُمَمٌ
أَمْثَالُكُمْ مَا فَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِنْ شَيْءٍ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِمْ
يُحْشَرُونَ
Dan tiadalah
binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua
sayapnya, melainkan umat-umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan
sesuatu pun di dalam Al Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.(QS. Al An’aam : 38).
Berarti
Al-Quran memiliki tiga karakteristik. Pertama, Kitab ini membimbing
manusia kepada pengetahuan tentang keimanan yang telah menghilang. Kedua,
Kitab ini mengemukakan rincian dari ilmu pengetahuan tersebut secara detil. Ketiga,
Kitab ini mengemukakan firman tegas tentang hal-hal berkaitan dengan mana telah
muncul perselisihan paham, sehingga dengan demikian menjadi pembeda di antara yang
hak dan yang batil.
3.
Menjadikan Al Qur’an sebagai system amal perbuatan
Sayyid Quthb
melanjutkan;
انما كان يتلقى القرآن
ليتلقى امر الله في خاصة شأنه و شأن الجماعة التي يعيش فيها و شأن الحياة التي
يحياها هو و جماعته يتلقى ذلك الامر ليعمل به فور سماعه كما يتلقى الجندي في
الميدان ((الأمر اليومي)) ليعمل به فور تلقيه[13]
Mereka mempelajari Al-Qur’an untuk menerima
perintah Allah tentang urusan pribadinya, tentang urusan golongan (jama’ah) di
mana ia hidup, tentang persoalan kehidupan yang dilaluinya, ia dan golongannya.
Ia menerima perintah itu untuk segera dilaksanakan setelah mendengarnya. Persis
sebagaimana prajurit di lapangan menerima “perintah harian” untuk dilaksanakan
segera setelah diterima.
Karena itu, tidak seorangpun
yang minta tambah perintah sebanyak mungkin dalam satu pertemuan. Karena ia
merasa hanya akan memperbanyak kewajiban dan tanggung-jawab di atas pundaknya.
Ia merasa puas dengan kira-kira sepuluh ayat saja. Dihafal dan dilaksanakan.
Sebagaimana disebut dalam hadits Ibnu Mas’ud yang disebutkan oleh Ibnu Katsir
dalam pendahuluan buku tafsirnya.
Metode
menerima untuk dilaksanakan dan dikerjakan, itulah yang telah menimbulkan
generasi pertama. Metode menerima untuk dipelajari dan dinikmati, itulah yang
telah menelorkan generasi-generasi selanjutnya.
Semangat
para sahabat untuk mengamalkan sebuah perintah yang turun sangat luar biasa.
Itulah hikmah mengapa Al Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur. Sehingga
para sahabat bisa belajar membiasakan diri dengan perintah yang baru turun,
secara otomatis perintah tersebut menjadi amal yang dilakukan dalam keseharian.
وَقُرْآنًا
فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَى مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنْزِيلًا
Dan Al Qur'an itu telah Kami
turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada
manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian. (QS. Al Isra : 106)
Maksudnya; Kami telah menjadikan turunnya Al Qur’an
itu secara berangsur agar kamu membacakannya kepada manusia secara perlahan dan
teliti dan Kami menurunkannya bagian demi bagian sesuai dengan peristiwa-peristiwa
dan kejadian-kejadian.
Secara rinci beberapa hikmah diturunkannya Al
Qur’an secara bertahap dan perlahan-lahan antara lain:
a.
Menguatkan atau meneguhkan hati Rasulullah dan para sahabatnya.
Wahyu turun kepada Rasulullah
dari waktu ke waktu sehingga dapat meneguhkan hatinya dan memperkuat langkahnya
dalam perjuangan da’wah. Sepanjang da’wah mengalami intimidasi dan penentangan,
Qur’an turun seolah penghibur dan jaminan dari Allah bahwa beliau berada dalam
kebenaran dan pengawasan Allah serta perlindunganNya.[14]
Adapun kitab-kitab samawi terdahulu diturunkan
sekaligus.
وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْلَا نُزِّلَ
عَلَيْهِ الْقُرْآنُ جُمْلَةً وَاحِدَةً كَذَلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤَادَكَ
وَرَتَّلْنَاهُ تَرْتِيلًا
Berkatalah orang-orang yang kafir:
"Mengapa Al Qur'an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun
saja?"; demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami
membacakannya secara tartil (teratur dan benar). (QS. Al Furqan :32)
Allah menjawab pertanyaan orang-orang kafir
dengan menjelaskan hikmahnya dalam firmanNya “Demikianlah supaya Kami
perkuat hatimu”. Maksudnya, demikianlah Kami menurunkan Qur’an secara
bertahap dan terpisah-pisah karena suatu hikmah yaitu untuk memperkuat hati
Rasulullah. “Dan kami membacakannya kelompok demi kelompok”, maksudnya,
Kami menentukan seayat demi seayat atau bagian demi bagian, atau kami
menjelaskan sejelas-jelasnya, karena turunnya yang bertahap sesuai dengan
peristiwa-peristiwa itu lebih dapat memudahkan hafalan dan pemahaman yang
merupakan penyebab kemantapan dalam hati.
b. Tantangan dan Mu’jizat terhadap orang-orang
musyrik[15]
Orang-orang musyrik selalu
menantang da’wah dengan pertanyaan-pertanyaan dan permintaan-permintaan yang
aneh.
وَلَا يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلَّا
جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيرًا
Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu
(membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang
benar dan yang paling baik penjelasannya.
(QS. Al Furqan :33)
Maksud ayat ini adalah
“setiap mereka datang kepadamu dengan pertanyaan yang aneh-aneh dari sekian
pertanyaan yang sia-sia, Kami datangkan kepadamu jawaban yang benar dan sesuatu
yang lebih baik maknanya dari pada pertanyaan-pertanyaan yang hanya merupakan
contoh kesia-siaan belaka”.
Ibnu Abbas mengatakan, “Apabila orang-orang
musyrik mengadakan sesuatu, maka Allah pun mengadakan jawabannya atas mereka”.
c. Mempermudah Para Sahabat dalam Hafalan dan
Pemahamannya
Al Qur’an al Karim turun di
tengah kaum yang buta huruf. Catatan mereka adalah hafalan. Seandainya Qur’an
diturunkan sekaligus, akan sulit bagi mereka untuk menghafal serta memahami makna-maknanya.
Turunnya Al Qur’an secara bertahap adalah bantuan terbaik bagi mereka utuk
menghafal dan memahami ayat-ayat dan mengambil manfaat daripadanya. Setiap
turun ayat para sahabat menghafal, memikirkan maknanya, mempelajari
hukum-hukumnya dan mengamalkannya dalam keseharian.[16]
d.
Kesesuaian dengan Peristiwa-peristiwa dan Pentahapan dalam Penetapan Hukum[17]
Sebagian
hukum syariat Islam pada permulaannya diturunkan disesuaikan dengan
adat-istiadat kaum Muslimin pada waktu itu, yang kemudian setelah mereka tambah
cerdas dan bertambah tebal keimanannya baru diterapkan syariat Islam yang lebih
sempurna dengan ayat-ayat Alquran yang turun kemudian. Seandainya Alquran itu
diturunkannya sekaligus tentu hal demikian itu tidak mungkin terjadi. Dan kami
menurunkannya dan membacakannya dengan perantaraan Jibril kelompok demi
kelompok.
Islam tidak akan dapat tumbuh
dalam hati manusia jika disampaikan secara sekaligus. Maka kita mengenal
periode Makkah dan Madinah yang membedakan sifat ayat-ayatnya sesuai kondisi
social masyarakat. Secara global, tahapan turunnya Al Qur’an secara berurut
menjelaskan dasar-dasar keimanan, kemudian keutamaan akhlaq yang mulia, lalu
penanganan penyakit-penyakit social kemudian barulah penetapam hukum-hukum
syariat secara detail dan terperinci.
Jika dikompilasi turunnya
syari’at-syari’at kurang lebih sebagai berikut: sH turun perintah sholat. 1 H
disyari’atkan perang. Kemudian Puasa, Qurban, Zakat dan pemindahan arah qiblat
pada 2 H. Ayat-ayat hukum pidana mulai diajarkan pada tahun ke 3H demikian pula
hukum waris. Pada tahun berikutnya diajarkan cara mengqashar sholat. Khamr dan
judi diharamkan pada tahun 6H. Had pencuri dipotong tangannya pada tahun ke 8.
Mekkah diharamkan bagi orang kafir pada tahun ke 9 kemudian riba diharamkan
pada tahun ke 10. Seandainya Alquran
itu diturunkan sekaligus, tentu syariat-syariatnyapun diturunkan sekaligus; dan
yang demikian itu pasti mengakibatkan banyak kesulitan, tetapi karena turunnya
berangsur-angsur maka datangnya syariatpun berangsur-angsur sehingga mudah
dilaksanakan.
e. Bukti yang pasti bahwa Al Qur’an Diturunkan
dari Allah Yang Mahabijaksana dan Mahaterpuji[18]
Qur’an yang diturunkan dalam
jangka waktu yang lama menurut situasi dan kondisi serta peristiwa-peristiwa di
sekitar para sahabat dan masyarakatnya ternyata tidak didapati kekacauan dalam
isi dan susunannya. Ayat-ayat dan surat-suratnnya terjalin saling menguatkan
tidak justru saling bertentangan.
الر كِتَابٌ أُحْكِمَتْ آيَاتُهُ ثُمَّ
فُصِّلَتْ مِنْ لَدُنْ حَكِيمٍ خَبِيرٍ
Alif Laam Raa, (inilah) suatu kitab yang
ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci yang
diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu, (QS. Huud:1)
Seandainya Qur’an ini perkataan manusia yang
disampaikan dalam berbagai situasi, peristiwa dan kejadian, tentulah di
dalamnya akan didapati ketidakserasian dan saling bertentangan satu dengan yang
lainnya, serta sulit terjadi keseimbangan.
Bagi jiwa manusia, pentahapan
turunnya Al Qur’an ini berdampak sangat luas bagi upaya-upaya pendidikan dan
perbaikannya, yaitu antara lain:[19]
a. Secara fitrah, manusia memerlukan
tahapan-tahapan dalam pertumbuhan dan perkembangannya menuju kesempurnaan.
Sebagaimana ada tahapan pertumbuhan fisik demikian pula ada tahapan
perkembangan jiwa.
b. Setiap manusia melalui tahapan yang berbeda
dalam ragam dan kecepatannya. Maka perlu diperhatikan pula kesiapan dan
kesediaan setiap peserta didik untuk menerima pelajaran dan materi tertentu.
c. Oleh karena itu sebuah
pengetahuan atau keterampilan mesti diajarkan secara bertahap dari tingkat
pemula hingga mencapai tingkat keahlian yang ditentukan. Perhatian terhadap
pentahapan dan kesiapan peserta didik adalah salah satu factor keberhasilan
proses pembelajaran.
Begitu
semangatnya mereka ada kalanya para sahabat menunggu-nunggu perintah apalagi
yang akan diturunkan kepada mereka melalui Rosulullah. Meskipun kondisi para
sahabat berbeda-beda, semuanya berlomba-lomba dengan amalan itu, semua
dilakukan atas dasar ketaatan. Sebuah gambaran yang begitu unik melihat latar
belakang mereka adalah jaman jahiliyah.
4.
Memisahkan diri dari komunitas yang jahiliyah
Selanjutnya Sayyid Quthb menulis:
كانت هناك عزلة شعورية كاملة بين
ماضي المسلم في جاهليته و حاضره في إسلامه[20]
Mereka
mengembangkan pemisahan mental secara total antara masa lalu diri di zaman
jahiliah dan masa kininya dalam pelukan ajaran Islam.
Kata jahiliyah dalam Al Qur’an digunakan
untuk dua makna, yaitu jahl (bodoh) terhadap hakikat penyembahan kepada
Tuhan yang benar dengan segala karakteristiknya, dan jahl (bodoh)
terhadap suluk (perilaku) yang tidak disiplin dengan kaidah-kaidah yang
digariskan Tuhan, atau dengan kata lain tidak sesuai dengan Kitabullah.[21]
Jadi terdapat proses pemisahan diri dari
lingkungan jahiliyah, adat kebiasaan dan konsepsinya, tradisi dan hubungannya. Karena
lingkungan Suku besar Quraisy ketika itu, dengan segala adat kebiasaannya telah
nyata dalam pandangan mereka menutupi kemurnian fitrah mereka. Pencabutan diri
dari kepercayaan syirik dan penanaman diri kepada aqidah tauhid. Tetapi dalam
dirinya ia telah bertekad tidak akan kembali lagi.
Sependapat
dengan besarnya pengaruh lingkungan bagi pembentukan jiwa dan karakter manusia,
Azra’ie Zakaria menuliskan bahwa fitrah atau potensi baik yang dibawa
anak sejak lahir akan berkembang kearah yang baik jika didukung lingkungan yang
baik pula. Tegasnya factor lingkungan sangat berperan dalam mengembangkan
potensi baik pada seorang anak.[22]
Dengan keimanan yang dirasa masih kurang mereka terpaksa memisahkan diri dari
kebiasaan tiap-tiap suku untuk mendapatkan tarbiyah dari Rosulullah. Karena
lingkungan dan kebiasaan apa saja di dalamnya, baik atau buruk sangat
mempengaruhi perilaku atau watak anak-anak.[23]
Meskipun ini adalah sesuatu yang kurang begitu populer di zaman itu mengingat
bangsa arab waktu itu adalah bangsa yang bersuku-suku dan sangat terikat
dengannya. Itu berarti mereka akan berpisah dengan keluarga masing-masing.
BAB III
PENUTUP
Kita sekarang berada dalam
suatu masa yang mirip dengan masa menjelang Islam diturunkan, atau malah lebih
mengenaskan. Semua yang ada di sekeliling kita adalah jahiliyah. Konsepsi dan
akidah manusia, adat-istiadat dan tradisi mereka, sumber-sumber kebudayaan
mereka, kesenian dan kesusastraan mereka, hukum dan undang-undang mereka,
bahkan banyak hal yang kita anggap sebagai budaya Islam, referensi Islam,
filsafat dan pemikiran Islam, semuanya juga merupakan produk jahiliyah
tersebut. Inilah yang menyebabkan keadaan ummat Islam tidak seperti keadaannya
di waktu awal.
Maka mau tak mau kita harus
membebaskan diri dari semua jenis pengaruh jahiliyah yang selama ini kita tiru
dan adopsi. Sudah semestinya kita kembali berpijak pada referensi murni yang
dipedomani oleh generasi shahabat, yakni referensi yang dijamin tak
terkontaminasi oleh noda sedikitpun. Yakni Al Qur’an. Dari sinilah kita membangun
konsepsi kita tentang kehidupan, juga tentang nilai-nilai, etika-etika, dan
manhaj-manhaj kita, dalam bidang hukum, politik, ekonomi, dan segala bidang
yang menunjang kehidupan.
Ketika kita kembali berpijak
pada Al Quran, merupakan suatu keharusan, kita memulai lagi dengan kesadaran
“mempelajari untuk melaksanakan dan mengamalkan”, bukannya dengan kesadaran “rekreasi
atau refreshing intelektual”. Karena, tujuan utama kita adalah mengetahui apa
yang dikehendaki Al Quran untuk kita lakukan; apakah konsepsi menyeluruh yang
diinginkan Al Quran dari kita; bagaimanakah Al Quran menghendaki kesadaran kita
terhadap Allah swt; dan bagaimanakah Al Quran menghendaki akhlaq, sikap, dan
tatanan kehidupan kita sehari-hari?!
Untuk itu, kita harus
melepaskan diri dari himpitan komunitas jahiliyah, juga konsepsi, tradisi, dan
tatanan sosial yang berbau jahiliyah, lebih-lebih di dalam jiwa kita. Kita mungkin
tidak dapat terpisah secara fisik dengan realitas masyarakat jahiliyah ini, tapi
kita tidak perlu menyatakan loyalitas kepadanya. Kita dapat tetap bergaul
dengan lingkungan tapi dengan menyaring nilai-nilai yang berkembang dengan
saringan Al Qur’an.
Maka yang perlu kita lakukan
adalah berinteraksi dengan Al Qur’an secara lebih baik dan benar. Yaitu dengan
belajar membaca ayat-ayatnya, mmemahami makna-makna yang dikandungnya,
menghafalkannya sedapat mungkin dan mengamalkan petunjuk-petunjuknya dalam
kehidupan keseharian kita.
Begitulah Rosulullah mentarbiyah para sahabat
dengan Al Qur’an. Segala sikap dan sifat jahiliyah yang ada pada diri mereka,
meraka tinggalkan dan diganti dengan sikap dan sifat yang Qur’aniy. Al Qur’an
telah melahirkan suatu generasi unggul, dengan methodenya yang orisinal.
Sekalipun Rasulullah saw harus meninggal dunia, sebagai manusia biasa, tetapi
Allah telah menjamin keaslian Al Qur’an sebagai petunjuk pelaksanaan dan
petunjuk teknis bagi kerja-kerja dakwah dan perbaikan Ummat.
Sayyid Quthb menulis:
ولكن الله - سبحانه - تكفل بحفظ الذِّكْر، وعلم أن هذه الدعوة يمكن أن
تقوم بعد رسول الله - صلى الله عليه وسلم - وبمكن أن تؤتي ثمارها. فاختاره إلى
جواره بعد ثلاثة وعشرين عامًا من الرسالة، وأبقى هذا الدِّين من بعده إلى آخر
الزمان.. وإذن فإن غيبة شخص رسول الله - صلى الله عليه وسلم - لا تفسر تلك الظاهرة
ولا تعللها.[24]
Allah telah berjanji
memelihara kemurnian Al Qur’an. Islam bisa didirikan dan bermanfaat bagi ummat
manusia bahkan setelah Rasulullah saw tidak ada lagi di dunia. Rasulullah
dipanggil Allah setelah 24 tahun bertugas. Ketidakhadirannya tidaklah
menyebabkan orisinalitas Al Qur’an tercemar, karena Allah menjamin
kemurniannya.
Rasulullah adalah penyampai ajaran dengan
keteladanan yang baik, beliau langsung menjadi model bagi aplikasi ajarannya
itu. Nabi Muhammad saw merupakan contoh teladan terbaik dan tipologi ideal
paling prima.
Dengan keteladan Nabi terhadap manusia
menyebabkan dakwah yang dilakukan Rasullullah mendapatkan sambutan yang luar
biasa. Sehingga islam tersebar oleh para juru dakwahnya dari bermacam generasi,
dimana-mana di seluruh dunia ini.
Jika kita menerapkan perlaku yang telah
dicontohkan oleh Nabi maka akan terlahir sikap yang mulia. Dengan keteladanan
akhlaq beliau yang mulia tersebut orang yang sebelumnya memusuhinya, menjadi
tunduk, dan bersedia memeluk islam.
Itulah
beberapa keunggulan para sahabat dalam memaknai hadirnya Al Qur’an. mereka
berlomba-lomba dalam mengamalkan dan tak salah kalau Sayyid Quthb menulis
tentang mereka sebagai generasi Qur’ani yang unik.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Khurshid (ed), Introductory
statement on the Essentials of Islam, in Islam Its Meaning and Message,
Islamic Council f Europe, London, 1976.
al
Asfihany, Abul Qasim Husayn bin Muhammad, Ar Raghib, Tafsir
Ar Raghib Al Asfihay, tahqiq Adil bin Ali asy Syidy, Daar an Nashr-Daar
al Wathan, Riyadh, 1424/2003
al
Khatib,
Muhammad Abdullah, Model
Masyarakat Muslim, Wajah Peradaban Masa Depan, alih bahasa Iwan
Kustiawan, Progressio, Bandung, 2006.
al
Qathan,
Manna’ Khalil, Mabahits
fii Ulumil Qur’an, Mansyurat al’Ashr al Hadits,1973.
Quthb, Muhammad, Tafsir Islam
atas Realitas, alih bahasa Abu Ridho Lc, Yayasan SIDIK, 1996.
Quthb, Sayyid, Tafsir Fii Dzhilalil
Qur’an, Daar asy Syuruq, Beyrut-Kairo,1412.
___________,
Ma’aalim fii ath Thariq, Daar asy Syuruq,
tt.
Syadid, Muhammad, Manhaj Tarbiyah, Metode Pembinaan
dalam Al Qur’an, alih bahasa Nabhani Idris Lc, Robbani Press, Jakarta,
2003.
Yaljun, Miqdad, Peranan
Pendidikan Akhlaq Islam dalam Pembentukan Individu, Masyarakat dan Peradaban
Dunia, Alih bahasa Dr H Azra’ie Zakaria (Jakarta: LP2M UIA, 2011).
Zakaria, Azra’ie, Konsep
Pendidikan Ibn Khaldun, Relevansinya dengan Pendidikan Modern, LP2M
UIA, 2011.
[1] Abul Qasim Husayn bin Muhammad, Ar Raghib al
Asfihany, Tafsir Ar Raghib Al Asfihay, tahqiq Adil bin Ali asy Syidy,
Daar an Nashr-Daar al Wathan, Riyadh, 1424/2003, h. 790.
[2] Sayyid Qutb, Ma’aalim fii ath Thariq, Daar
asy Syuruq, tt, h.8.
[3] Sayyid Quthb, Tafsir Fii Dzhilalil Qur’an,
Daar asy Syuruq, Beyrut-Kairo,1412, h,447.
[4] Sayyid Quthb,tt, h.10.
[5] Muhammad Syadid, Manhaj Tarbiyah, Metode
Pembinaan dalam Al Qur’an, alih bahasa Nabhani Idris Lc, Robbani Press,
Jakarta, 2003, hal 74.
[6] Miqdad Yaljun, Peranan Pendidikan Akhlaq
Islam dalam Pembentukan Individu, Masyarakat dan Peradaban Dunia,
Alih bahasa Dr H Azra’ie Zakaria (Jakarta: LP2M UIA, 2011) h.19.
[7] Muhammad Abdullah Al Khatib, Model
Masyarakat Muslim, Wajah Peradaban Masa Depan, Progressio,alih bahasa Iwan
Kustiawan, Bandung, 2006, h.25.
[8] Miqdad Yaljun,op.cit, h.20.
[9] Khurshid Ahmad (ed), Introductory
statement on the Essentials of Islam, in Islam Its Meaning and Message,
Islamic Council f Europe, London, 1976, h.21.
[10] Sayyid Quthb, tt, op.cit, h.9.
[11] ibid.
[12] Ibid, h.10.
[13] Ibid,h.11.
[14] Manna’ Al Qathan, Mabahits fii Ulumil
Qur’an,Mansyurat al’Ashr al Hadits,1973, h.107.
[15] Ibid, h.109.
[16] 1bid, h.110.
[17] Ibid, h.111.
[18] Ibid,h. 115.
[19] Ibid, h.116.
[20] Sayyid Quthb, tt, op.cit, h.13
[21] Muhammad Quthb, Tafsir Islam atas
Realitas, alih bahasa Abu Ridho Lc, Yayasan SIDIK, 1996, h.18.
[22] Azra’ie Zakaria, Konsep Pendidikan Ibn
Khaldun, Relevansinya dengan Pendidikan Modern, LP2M UIA, 2011, h. 106.
[23] Ibid, h.107.
[24] Sayyid Quthb,tt, op.cit, h.9.
