MEMBENTUK GENERASI QUR’AN YANG UNGGUL - Saungpikir

Thursday, July 20, 2023

MEMBENTUK GENERASI QUR’AN YANG UNGGUL

 



Kajian Naskah Da’wah Buku Ma’aalim Fii ath Thariq Karya Sayyid Quthb


Oleh Wahyu Bhekti Prasojo

BAB I

PENDAHULUAN

Rasulullah datang ke dunia yang sedang jauh dari hidayah langit. Dunia pada hari itu penuh dengan perilaku zhalim dan suka berbuat kerusakan. Para raja dan penguasa berlaku tiran dan sewenang-wenang, tidak ada patokan hukum yang melandasi tata pemerintahan mereka. Para tokoh agama memutar-balikkan ajaran untuk kepentingan duniawi mereka. Masyarakat hidup bagaikan hewan ternak yang tak mengenal baik dan buruk. Bahkan tidak ada pemikiran untuk melakukan suatu perbaikan. Suatu keadaan yang biasa dijelaskan dengan kata jahiliyah.

Keadaan mereka itu seperti yang digambarkan dalam Surat An Nuur [24] pada ayat ke 40:

أَوْ كَظُلُمَاتٍ فِي بَحْرٍ لُجِّيٍّ يَغْشَاهُ مَوْجٌ مِنْ فَوْقِهِ مَوْجٌ مِنْ فَوْقِهِ سَحَابٌ ظُلُمَاتٌ بَعْضُهَا فَوْقَ بَعْضٍ إِذَا أَخْرَجَ يَدَهُ لَمْ يَكَدْ يَرَاهَا وَمَنْ لَمْ يَجْعَلِ اللَّهُ لَهُ نُورًا فَمَا لَهُ مِنْ نُورٍ

Atau seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh ombak, yang di atasnya ombak (pula), di atasnya (lagi) awan; gelap gulita yang tindih-bertindih, apabila dia mengeluarkan tangannya, tiadalah dia dapat melihatnya, (dan) barang siapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah tiadalah dia mempunyai cahaya sedikit pun.

Tiga belas tahun di Mekkah Rasulullah mendidik masyarakat. Dakwah pada fase ini seolah tampak tidak begitu berhasil, tetapi pada fase inilah sejumlah orang dari penduduk Mekkah – yang kemudian dikenal dengan sebutan  ash shahabat – berkumpul di sekitar beliau dan beriman kepada apa yang diajarkannya. Mereka membentuk suatu jama’ah dengan sikap hidup yang jauh berbeda dengan keadaan mereka sebelumnya. Mereka bertransformasi dari masyarakat jahiliyah menjadi pribadi-pribadi muslim yang unggul, dengan iman yang utuh, ibadah yang penuh penjiwaan, wawasan pengetahuan yang luas, sikap moral yang santun dan saling berkasih sayang di antara mereka. Kelompok ini setelah mengungsi ke Madinah menjadi cikal bakal revolusi Jazirah Arabia yang segera saja merambah dunia di sekitarnya.

Generasi Qur’ani, Generasi Terbaik

Dari masyarakat yang terbelakang, orang-orang Arab dapat berubah menjadi bangsa yang kuat, mampu mengemban risalah, memunculkan peradaban yang maju, meninggalkan jejak sejarah yang mencengangkan tak ubahnya seperti dongeng atau mitos. Sebuah kondisi yang digambarkan Al Qur’an sebagai khayru ummah, ummat terbaik.

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.(QS Ali Imran 110).

Ar Raghib menjelaskan, disebutkan “kuntum”  karena pada merekalah dapat dipastikan dan berlakunya pembangunan syari’at ummat terbaik dengan syarat-syarat bahwa mereka itu memerintahkan kebaikan, mencegah kemungkaran dan beriman kepada Allah. Dan sungguh mereka telah melaksanakan syari’at ini dengan sempurna, oleh karena itu Rasulullah saw bersabda,

 "أنتم تتمون سبعين أمة، أنتم خيرها وأكرمها على الله تعالى".[1]

 “Kalian akan menjumpai tujuh puluh umat. Kalianlah yang paling baik dan paling mulia di sisi Allah.” (H.R. Tirmidzi)

Gambaran atau sifat ini memang cocok dengan keadaan orang-orang yang mendapatkan khitbah ayat ini pada masa permulaan. Mereka adalah Nabi Saw, dan para sahabat yang bersama beliau sewaktu Al-Qur’an diturunkan. Pada masa sebelumnya, mereka adalah orang-orang yang saling bermusuhan. Kemudian hati mereka diturunkan. Mereka berpegang pada tali (agama) Allah, melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar. Orang-orang yang lemah diantara mereka tidak takut terhadap yang besar. Sebab, iman telah meresap kedalam kalbu dan perasaan mereka sehingga dapat ditundukan untuk mencapai tujuan Nabi Saw, didalam segala keadaan dan kondisi.

Keimanan seperti inilah yang dikatakan oleh Allah dalam firmanya:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar”.(QS. Al-Hujurat :15)

Bagaimana Nabi Muhammad saw, dapat mempersatukan bangsa yang semula tercerai berai dan terobek-robek oleh perang saudara, mendidik bangsa yang bodoh (ummi) menjadi bangsa yang beradab dan berilmu pengetahuan, sehingga berubah dari bangsa yang terbelakang menjadi bangsa yang disebut Al Qur’an sebagai khayru ummah?

Sayyid Quthb, salah seorang pemikir Islam kontemporer, mengajukan teorinya dalam salah satu bukunya yang monumental, Ma’alim fii ath Thariq. Makalah ini mencoba menelaah teori beliau, khususnya pada pembahasan beliau tentang Generasi Qur’an yang Unik.

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Karakteristik Generasi Qur’ani

Ada suatu kenyataan sejarah yang patut direnungkan oleh mereka yang bergerak di bidang da’wah Islamiyyah di setiap tempat dan di setiap waktu. Mereka patut merenungkannya lama-lama, karena ia mempunyai pengaruh yang menentukan bagi metode dan arah da’wah. Pada alinea kedua Sayyid Quthb menulis:

لقد خرَّجت هذه الدعوة جيلاً من الناس - جيل الصحابة رضوان الله عليهم - جيلاً مميزًا في تاريخ الإسلام كله وفى تاريخ البشرية جميعه. ثم لم تعد تخرج هذا الطراز مرة أخرى.. نعم وُجد أفراد من ذلك الطراز على مدار التاريخ. ولكن لم يحدث قط أن تجمَّع مثل ذلك العدد الضخم، في مكان واحد، كما وقع في الفترة الأولى من حياة هذه الدعوة.[2]

Da’wah ini pernah menghasilkan suatu generasi manusia, yaitu generasi sahabat –semoga Allah meridhoi mereka- suatu generasi yang mempunyai ciri tersendiri dalam seluruh sejarah Islam, dalam seluruh sejarah ummat manusia. Lalu da’wah ini tidak pernah menghasilkan jenis yang seperti ini sekali lagi. Memang terdapat orang-orang itu di sepanjang sejarah. Tetapi belum pernah terjadi sekalipun juga bahwa orang-orang seperti itu berkumpul dalam jumlah yang demikian banyaknya, pada suatu tempat, sebagaimana yang pernah terjadi pada periode pertama dari kehidupan da’wah ini.”

Sayyid Quthb dalam menafsirkan surat Ali Imran  ayat 110, menjelaskan pengungkapan kalimat dengan menggunakan kata “ukhrijat” dikeluarkan, dilahirkan, diorbitkan dalam bentuk mabni lighoiril-fa’il (mabni lil majhul) perlu mendapatkan perhatian. Perkataan ini mengesankan adanya tangan pengatur yang halus, yang mengeluarkan umat ini, dan mendorongnya untuk tampil dari kegelapan kegaiban dan dari balik bentangan tirai yang tidak ada yang mengetahui apa yang dibaliknya itu kecuali Allah. Ini adalah sebuah kalimat yang menggambarkan adanya gerakan rahasia yang terus bekerja dan yang merambat dengan halus. Suatu gerakan yang mengorbitkan umat ke panggung eksistensi. Umat yang mempunyai peranan, kedudukan dan perhitungan khusus.[3]

Di sini, label masyarakat madani sebagai tipikal dari masyarakat ideal merujuk kepada tatanan nilai dan moral. Tatanan ini berlaku dalam bangunan komunikasi dan interaksi di antara seluruh anggota masyarakatnya, juga pada sifat-sifat yang menghiasi keseharian masyarakat tersebut, bukan pada tataran fisik material sebagaimana yang sering ditonjolkan oleh masyarakat barat yang hedonis. Sehingga, Al-Qur’an hanya menggariskan be­berapa acuan nilai yang menjadikan sebuah masyarakat itu masyarakat ideal, masyarakat madani dengan tetap mempertahankan nilai-nilai kebaikan dalam segala bentuknya dan berusaha menepis keburukan dalam segala bentuknya.

B. Pembentukan Generasi Qur’ani

Untuk menjelaskan fenomena itu Sayyid Quthb menyebutkan beberapa penyebab dan alasan yang seharusnya menurut beliau dilakukan pula oleh kaum muslimin dewasa ini. Yaitu:

1. Membersihkan Jiwa manusia dengan Al Qur’an

Selanjutnya Sayyid Qutb menulis:

كان رسول الله صلى الله عليه و سلم يريد صنع جيل خالص القلب خالص العقل خالص التصور خالص الشعور خالص التكوين من أي مؤثر آخر غير المنهج الإلهي الذي يتضمنه القرآن الكريم[4]

Rasulullah saw ingin mencetak suatu generasi yang jernih hatinya, jernih akalnya, jernih persepsinya, jernih perasaannya, jernih pembentukannya dari segala pengaruh lain selain dari metode Ilahi yang dikandung Al-Qur’an.”

Jiwa manusia adalah benteng yang pintu-pintunya sulit ditembus oleh akal manusia. Telah banyak teori psikologi berkembang, tetapi tetap saja manusia belum merasa cukup dengannya untuk memahami kondisi-kondisi jiwa mereka. Al Qur’an adalah manhaj yang diturunkan dari Allah, Sang Mahatahu, yang mengetahui dengan pasti seluk beluk jiwa manusia, karena Dia yang menciptakannya.[5]

وَأَسِرُّوا قَوْلَكُمْ أَوِ اجْهَرُوا بِهِ إِنَّهُ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ . أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ

Dan rahasiakanlah perkataanmu atau lahirkanlah; sesungguhnya Dia Maha Mengetahui segala isi hati.Apakah Allah Yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan dan rahasiakan); dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui?( QS.Al Mulk: 13-14)

Tugas pertama Al Qur’an dalam mendidik jiwa adalah mengembalikannya kepada fitrahnya yang murni dan membersihkannya dari berbagai kotoran dan noda akibat pengaruh lingkungan, adat, khurafat, atau taklid. Dari sini, segi pembersihan jiwa terlebih dahulu dari segala sifat tercela dan keinginan-keinginan jahat adalah sesuatu yang harus diperhatikan dalam dunia pendidikan.[6]

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا

dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.(QS. Al Ahzab:33)

Dasar dari fitrah ini adalah tauhid, di mana sesungguhnya jiwa manusia pada dasarnya memiliki kecendrungan yang kuat untuk beriman kepada Allah. Namun karena perjalanan hidupnya dan ketiadaan petunjuk, fitrah itu tertutup karena berbagai macam sebab. Kondisi ini disinyalir oleh Al Qur’an sebagai berikut:

وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ . أَوْ تَقُولُوا إِنَّمَا أَشْرَكَ آبَاؤُنَا مِنْ قَبْلُ وَكُنَّا ذُرِّيَّةً مِنْ بَعْدِهِمْ أَفَتُهْلِكُنَا بِمَا فَعَلَ الْمُبْطِلُونَ

Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)", atau agar kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu, sedang kami ini adalah anak-anak keturunan yang (datang) sesudah mereka. Maka apakah Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang sesat dahulu?"(QS. Al A’raaf : 172-173)

Inilah potensi keimanan yang membutuhkan sentuhan, arahan dan bimbingan. Dimana dengan methodenya yang unik, Al Qur’an mendidik mereka dengan materi yang sesuai realitas. Ayat-ayat Al Qur’an menghidupkan fitrah mereka yang tertutup sebelumnya oleh debu-debu kemusyrikan, membersihkan hati mereka dari nafsu, amarah dan dendam, serta menyadarkan akal fikiran mereka. Ayat-ayat pertama yang diturunkan Allah untuk diajarkan lebih banyak menjelaskan hakikat besar ini. Yaitu tentang eksistensi Allah, satu-satunya tuhan yang berhak disembah, tentang penciptaan alam raya dan isinya, tentang kemana dunia akan berujung, serta balasan bagi perbuatan-perbuatan baik dan buruk.

Dengan aqidah tauhid ini, manusia seperti terlahir kembali, dengan mendeklarasikan hak-hak mereka yang sempat hilang. Hati mereka menjadi bebas dan merdeka, karena terikat langsung dengan Tuhan tanpa perantara, yang sebelumnya menjadi sumber khurafat yang membingungkan dan menyesatkan.[7]

2. Menjadikan Al Qur’an menjadi satu-satunya pedoman dalam Kehidupan.

Kemudian di atas dasar hati dan jiwa yang bersih inilah dibangun kesiapan melaksanakan Al Qur’an sebagai satu-satunya pedoman hidup. Jiwa yang bersih ini lalu ditingkatkan dan dikembangkan dengan kecendrungan-kecendrungan berbuat baik. Al Qur’an menyebutnya dengan al tazkiyah, yaitu pembersihan dan peningkatan atau penguatan factor pendorong berbuat baik atau amal.[8] Inilah makna menjadi seorang muslim, yaitu menyerahkan diri kepada Tuhan dan menerima, mengakui dan membenarkan semua konsep keimanan Islam.[9]

Para sahabat percaya bahwa semua solusi bagi permasalahan hidup adalah dengan Al Qur’an. Tidak salah mereka mencari semua solusinya dalam Al Qur’an karena di dalam Al-Quran terdapat petunjuk-petunjuk segala hal yang menyangkut kehidupan manusia, baik dalam hubungan dengan sesamanya, hubungan dengan penciptanya, dan hubungan dengan alam semesta.

Sayyid Quthb menulis:

كان القرآن وحده إذن هو النبع الذي يستقون منه، ويتكيفون به، ويتخرجون عليه[10]

Al Qur’an menjadi sumber tunggal bagi generasi pertama untuk memuaskan rasa haus mereka dan menjadi acuan yang membentuk kehidupan mereka.

Referensi utama yang diadopsi generasi pelopor adalah Al Quran, hanya Al Quran semata. Para sahabat Rasulullah telah memperlakukan Al-Qur’an sebagai satu-satunya tempat pengambilan (rujukan), standar yang menjadi ukuran dan tempat dasar berfikir. Adapun sabda-sabda dan petunjuk Rasulullah saw hanyalah merupakan satu dari beberapa konsekuensi yang bersumber dari Al Quran. Salah satu contoh, ketika Aisyah radhiyallah ‘anha ditanya tentang akhlaq Rasulullah saw,, ia menjawab, “Akhlaq beliau adalah Al Quran.” (HR. An Nasa’i)[11]

Adalah Al Quran satu-satunya sumber referensi yang mereka adopsi.  Mereka beradaptasi dengannya dan mengambil pelajaran darinya. Kala itu, telah ada peradaban dan kebudayaan Romawi, juga buku-buku dan undang-undang mereka, yang sampai saat kini masih menjadi acuan dan dikembangkan oleh Bangsa Eropa. Di sisi lain, terdapat pula sisa-sisa peradaban, rasionalitas, filsafat, dan kesenian Yunani, di mana menjadi sumber inspirasi pemikiran Barat hingga sekarang. Di tempat lain, terdapat pula peradaban Persia, berikut kesenian, kesusastraan, mitologi, kepercayaan-kepercayaan, dan sistem pemerintahannya. Selain itu, masih terdapat beberapa peradaban lain yang jauh dan yang dekat (dari dunia Arab), misalnya: peradaban India, peradaban China, dan lain sebagainya.

Pada waktu itu, dua peradaban –Romawi dan Persia- mengapit Jazirah Arab di sebelah utara dan sebelah selatan, sementara Judaisme dan agama Kristen masih berpengaruh di tengah-tengah jazirah. Terdorong kebutuhan terhadap peradaban dan kebudayaan yang universal maka generasi shahabat tidak hanya membatasi diri berpegang teguh pada Kitabullah semata, pada saat perintisannya. Demikian ini dilakukan semata-mata demi sebuah planning yang matang dan sistem yang rapi. Sehingga, Rasulullah saw marah ketika tatkala beliau melihat di tangan Umar radhiyallahu ‘anhu terdapat lembaran yang berisikan ayat Taurat.“Demi Allah, sesungguhnya andai saja Musa masih hidup di belakang kalian, pastilah tak ada yang dilakukannya kecuali ia akan mengikuti (ajaran)ku!” tandas beliau. [Diriwayatkan oleh Al Hafizh Abu Ya’la dari Hammad bin Asy Sya’bi dari Jabir][12]

Bila demikian, berarti telah ada tuntunan dari baginda Rasulullah saw agar cukup merujuk pada Al Quran –yang selama ini mereka tekuni- selama masa-masa perintisan. Dengan merujuk pada Kitabullah semata, jiwa mereka mampu menyatu semata-mata dengan Al Quran, dan raga mereka berkomitmen menjalankan manhaj Al Quran. Sebab itulah, Rasulullah saw marah ketika melihat Umar bin Khattab ra hendak mengambil dari referensi lainnya.

Banyak sekali permasalahan yang timbul dalam kehidupan manusia saat ini sebenarnya juga pernah terjadi dimasa lalu dan kalau digali sebenarnya semuanya ada dan dikisahkan di dalam Al Quran hanya variabelnya saja yang berbeda. Solusi dari permasalahan apa yang tidak dapat temukan dalam Al Qur’an? Al-Quran diturunkan sebagai petunjuk bagi manusia dan keterangan-keterangan yang nyata mengenai petunjuk dan pemisahkan yang hak dari yang batil.

وَيَوْمَ نَبْعَثُ فِي كُلِّ أُمَّةٍ شَهِيدًا عَلَيْهِمْ مِنْ أَنْفُسِهِمْ وَجِئْنَا بِكَ شَهِيدًا عَلَى هَؤُلَاءِ وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ

(Dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami, bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri, dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.(QS. An Nahl: 89)

وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا طَائِرٍ يَطِيرُ بِجَنَاحَيْهِ إِلَّا أُمَمٌ أَمْثَالُكُمْ مَا فَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِنْ شَيْءٍ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِمْ يُحْشَرُونَ

Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat-umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatu pun di dalam Al Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.(QS. Al An’aam : 38).

Berarti Al-Quran memiliki tiga karakteristik. Pertama, Kitab ini membimbing manusia kepada pengetahuan tentang keimanan yang telah menghilang. Kedua, Kitab ini mengemukakan rincian dari ilmu pengetahuan tersebut secara detil. Ketiga, Kitab ini mengemukakan firman tegas tentang hal-hal berkaitan dengan mana telah muncul perselisihan paham, sehingga dengan demikian menjadi pembeda di antara yang hak dan yang batil.

3. Menjadikan Al Qur’an sebagai system amal perbuatan

Sayyid Quthb melanjutkan;

انما كان يتلقى القرآن ليتلقى امر الله في خاصة شأنه و شأن الجماعة التي يعيش فيها و شأن الحياة التي يحياها هو و جماعته يتلقى ذلك الامر ليعمل به فور سماعه كما يتلقى الجندي في الميدان ((الأمر اليومي)) ليعمل به فور تلقيه[13]

Mereka mempelajari Al-Qur’an untuk menerima perintah Allah tentang urusan pribadinya, tentang urusan golongan (jama’ah) di mana ia hidup, tentang persoalan kehidupan yang dilaluinya, ia dan golongannya. Ia menerima perintah itu untuk segera dilaksanakan setelah mendengarnya. Persis sebagaimana prajurit di lapangan menerima “perintah harian” untuk dilaksanakan segera setelah diterima.

Karena itu, tidak seorangpun yang minta tambah perintah sebanyak mungkin dalam satu pertemuan. Karena ia merasa hanya akan memperbanyak kewajiban dan tanggung-jawab di atas pundaknya. Ia merasa puas dengan kira-kira sepuluh ayat saja. Dihafal dan dilaksanakan. Sebagaimana disebut dalam hadits Ibnu Mas’ud yang disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam pendahuluan buku tafsirnya.

Metode menerima untuk dilaksanakan dan dikerjakan, itulah yang telah menimbulkan generasi pertama. Metode menerima untuk dipelajari dan dinikmati, itulah yang telah menelorkan generasi-generasi selanjutnya.

Semangat para sahabat untuk mengamalkan sebuah perintah yang turun sangat luar biasa. Itulah hikmah mengapa Al Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur. Sehingga para sahabat bisa belajar membiasakan diri dengan perintah yang baru turun, secara otomatis perintah tersebut menjadi amal yang dilakukan dalam keseharian.

وَقُرْآنًا فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَى مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنْزِيلًا

Dan Al Qur'an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian. (QS. Al Isra : 106)

Maksudnya; Kami telah menjadikan turunnya Al Qur’an itu secara berangsur agar kamu membacakannya kepada manusia secara perlahan dan teliti dan Kami menurunkannya bagian demi bagian sesuai dengan peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadian.

Secara rinci beberapa hikmah diturunkannya Al Qur’an secara bertahap dan perlahan-lahan antara lain:

a. Menguatkan atau meneguhkan hati Rasulullah dan para sahabatnya.

Wahyu turun kepada Rasulullah dari waktu ke waktu sehingga dapat meneguhkan hatinya dan memperkuat langkahnya dalam perjuangan da’wah. Sepanjang da’wah mengalami intimidasi dan penentangan, Qur’an turun seolah penghibur dan jaminan dari Allah bahwa beliau berada dalam kebenaran dan pengawasan Allah serta perlindunganNya.[14]

Adapun kitab-kitab samawi terdahulu diturunkan sekaligus.

وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْلَا نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْآنُ جُمْلَةً وَاحِدَةً كَذَلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤَادَكَ وَرَتَّلْنَاهُ تَرْتِيلًا

Berkatalah orang-orang yang kafir: "Mengapa Al Qur'an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?"; demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya secara tartil (teratur dan benar). (QS. Al Furqan :32)

 

Allah menjawab pertanyaan orang-orang kafir dengan menjelaskan hikmahnya dalam firmanNya “Demikianlah supaya Kami perkuat hatimu”. Maksudnya, demikianlah Kami menurunkan Qur’an secara bertahap dan terpisah-pisah karena suatu hikmah yaitu untuk memperkuat hati Rasulullah. “Dan kami membacakannya kelompok demi kelompok”, maksudnya, Kami menentukan seayat demi seayat atau bagian demi bagian, atau kami menjelaskan sejelas-jelasnya, karena turunnya yang bertahap sesuai dengan peristiwa-peristiwa itu lebih dapat memudahkan hafalan dan pemahaman yang merupakan penyebab kemantapan dalam hati.

 

b. Tantangan dan Mu’jizat terhadap orang-orang musyrik[15]

Orang-orang musyrik selalu menantang da’wah dengan pertanyaan-pertanyaan dan permintaan-permintaan yang aneh.

وَلَا يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلَّا جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيرًا

Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya. (QS. Al Furqan :33)

 

Maksud ayat ini adalah “setiap mereka datang kepadamu dengan pertanyaan yang aneh-aneh dari sekian pertanyaan yang sia-sia, Kami datangkan kepadamu jawaban yang benar dan sesuatu yang lebih baik maknanya dari pada pertanyaan-pertanyaan yang hanya merupakan contoh kesia-siaan belaka”.

Ibnu Abbas mengatakan, “Apabila orang-orang musyrik mengadakan sesuatu, maka Allah pun mengadakan jawabannya atas mereka”.

 

c. Mempermudah Para Sahabat dalam Hafalan dan Pemahamannya

Al Qur’an al Karim turun di tengah kaum yang buta huruf. Catatan mereka adalah hafalan. Seandainya Qur’an diturunkan sekaligus, akan sulit bagi mereka untuk menghafal serta memahami makna-maknanya. Turunnya Al Qur’an secara bertahap adalah bantuan terbaik bagi mereka utuk menghafal dan memahami ayat-ayat dan mengambil manfaat daripadanya. Setiap turun ayat para sahabat menghafal, memikirkan maknanya, mempelajari hukum-hukumnya dan mengamalkannya dalam keseharian.[16]

 

d. Kesesuaian dengan Peristiwa-peristiwa dan Pentahapan dalam Penetapan Hukum[17]

Sebagian hukum syariat Islam pada permulaannya diturunkan disesuaikan dengan adat-istiadat kaum Muslimin pada waktu itu, yang kemudian setelah mereka tambah cerdas dan bertambah tebal keimanannya baru diterapkan syariat Islam yang lebih sempurna dengan ayat-ayat Alquran yang turun kemudian. Seandainya Alquran itu diturunkannya sekaligus tentu hal demikian itu tidak mungkin terjadi. Dan kami menurunkannya dan membacakannya dengan perantaraan Jibril kelompok demi kelompok. 

Islam tidak akan dapat tumbuh dalam hati manusia jika disampaikan secara sekaligus. Maka kita mengenal periode Makkah dan Madinah yang membedakan sifat ayat-ayatnya sesuai kondisi social masyarakat. Secara global, tahapan turunnya Al Qur’an secara berurut menjelaskan dasar-dasar keimanan, kemudian keutamaan akhlaq yang mulia, lalu penanganan penyakit-penyakit social kemudian barulah penetapam hukum-hukum syariat secara detail dan terperinci.

Jika dikompilasi turunnya syari’at-syari’at kurang lebih sebagai berikut: sH turun perintah sholat. 1 H disyari’atkan perang. Kemudian Puasa, Qurban, Zakat dan pemindahan arah qiblat pada 2 H. Ayat-ayat hukum pidana mulai diajarkan pada tahun ke 3H demikian pula hukum waris. Pada tahun berikutnya diajarkan cara mengqashar sholat. Khamr dan judi diharamkan pada tahun 6H. Had pencuri dipotong tangannya pada tahun ke 8. Mekkah diharamkan bagi orang kafir pada tahun ke 9 kemudian riba diharamkan pada tahun ke 10. Seandainya Alquran itu diturunkan sekaligus, tentu syariat-syariatnyapun diturunkan sekaligus; dan yang demikian itu pasti mengakibatkan banyak kesulitan, tetapi karena turunnya berangsur-angsur maka datangnya syariatpun berangsur-angsur sehingga mudah dilaksanakan. 

 

e. Bukti yang pasti bahwa Al Qur’an Diturunkan dari Allah Yang Mahabijaksana dan Mahaterpuji[18]

Qur’an yang diturunkan dalam jangka waktu yang lama menurut situasi dan kondisi serta peristiwa-peristiwa di sekitar para sahabat dan masyarakatnya ternyata tidak didapati kekacauan dalam isi dan susunannya. Ayat-ayat dan surat-suratnnya terjalin saling menguatkan tidak justru saling bertentangan.

الر كِتَابٌ أُحْكِمَتْ آيَاتُهُ ثُمَّ فُصِّلَتْ مِنْ لَدُنْ حَكِيمٍ خَبِيرٍ

Alif Laam Raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu, (QS. Huud:1)

 

Seandainya Qur’an ini perkataan manusia yang disampaikan dalam berbagai situasi, peristiwa dan kejadian, tentulah di dalamnya akan didapati ketidakserasian dan saling bertentangan satu dengan yang lainnya, serta sulit terjadi keseimbangan.

Bagi jiwa manusia, pentahapan turunnya Al Qur’an ini berdampak sangat luas bagi upaya-upaya pendidikan dan perbaikannya, yaitu antara lain:[19]

a. Secara fitrah, manusia memerlukan tahapan-tahapan dalam pertumbuhan dan perkembangannya menuju kesempurnaan. Sebagaimana ada tahapan pertumbuhan fisik demikian pula ada tahapan perkembangan jiwa.

b. Setiap manusia melalui tahapan yang berbeda dalam ragam dan kecepatannya. Maka perlu diperhatikan pula kesiapan dan kesediaan setiap peserta didik untuk menerima pelajaran dan materi tertentu.

c. Oleh karena itu sebuah pengetahuan atau keterampilan mesti diajarkan secara bertahap dari tingkat pemula hingga mencapai tingkat keahlian yang ditentukan. Perhatian terhadap pentahapan dan kesiapan peserta didik adalah salah satu factor keberhasilan proses pembelajaran.

Begitu semangatnya mereka ada kalanya para sahabat menunggu-nunggu perintah apalagi yang akan diturunkan kepada mereka melalui Rosulullah. Meskipun kondisi para sahabat berbeda-beda, semuanya berlomba-lomba dengan amalan itu, semua dilakukan atas dasar ketaatan. Sebuah gambaran yang begitu unik melihat latar belakang mereka adalah jaman jahiliyah.

4. Memisahkan diri dari komunitas yang jahiliyah

Selanjutnya Sayyid Quthb menulis:

كانت هناك عزلة شعورية كاملة بين ماضي المسلم في جاهليته و حاضره في إسلامه[20]

Mereka mengembangkan pemisahan mental secara total antara masa lalu diri di zaman jahiliah dan masa kininya dalam pelukan ajaran Islam.

Kata jahiliyah dalam Al Qur’an digunakan untuk dua makna, yaitu jahl (bodoh) terhadap hakikat penyembahan kepada Tuhan yang benar dengan segala karakteristiknya, dan jahl (bodoh) terhadap suluk (perilaku) yang tidak disiplin dengan kaidah-kaidah yang digariskan Tuhan, atau dengan kata lain tidak sesuai dengan Kitabullah.[21]

Jadi terdapat proses pemisahan diri dari lingkungan jahiliyah, adat kebiasaan dan konsepsinya, tradisi dan hubungannya. Karena lingkungan Suku besar Quraisy ketika itu, dengan segala adat kebiasaannya telah nyata dalam pandangan mereka menutupi kemurnian fitrah mereka. Pencabutan diri dari kepercayaan syirik dan penanaman diri kepada aqidah tauhid. Tetapi dalam dirinya ia telah bertekad tidak akan kembali lagi.

Sependapat dengan besarnya pengaruh lingkungan bagi pembentukan jiwa dan karakter manusia, Azra’ie Zakaria menuliskan bahwa fitrah atau potensi baik yang dibawa anak sejak lahir akan berkembang kearah yang baik jika didukung lingkungan yang baik pula. Tegasnya factor lingkungan sangat berperan dalam mengembangkan potensi baik pada seorang anak.[22] Dengan keimanan yang dirasa masih kurang mereka terpaksa memisahkan diri dari kebiasaan tiap-tiap suku untuk mendapatkan tarbiyah dari Rosulullah. Karena lingkungan dan kebiasaan apa saja di dalamnya, baik atau buruk sangat mempengaruhi perilaku atau watak anak-anak.[23] Meskipun ini adalah sesuatu yang kurang begitu populer di zaman itu mengingat bangsa arab waktu itu adalah bangsa yang bersuku-suku dan sangat terikat dengannya. Itu berarti mereka akan berpisah dengan keluarga masing-masing.

 

 

 

BAB III

PENUTUP

Kita sekarang berada dalam suatu masa yang mirip dengan masa menjelang Islam diturunkan, atau malah lebih mengenaskan. Semua yang ada di sekeliling kita adalah jahiliyah. Konsepsi dan akidah manusia, adat-istiadat dan tradisi mereka, sumber-sumber kebudayaan mereka, kesenian dan kesusastraan mereka, hukum dan undang-undang mereka, bahkan banyak hal yang kita anggap sebagai budaya Islam, referensi Islam, filsafat dan pemikiran Islam, semuanya juga merupakan produk jahiliyah tersebut. Inilah yang menyebabkan keadaan ummat Islam tidak seperti keadaannya di waktu awal.

Maka mau tak mau kita harus membebaskan diri dari semua jenis pengaruh jahiliyah yang selama ini kita tiru dan adopsi. Sudah semestinya kita kembali berpijak pada referensi murni yang dipedomani oleh generasi shahabat, yakni referensi yang dijamin tak terkontaminasi oleh noda sedikitpun. Yakni Al Qur’an. Dari sinilah kita membangun konsepsi kita tentang kehidupan, juga tentang nilai-nilai, etika-etika, dan manhaj-manhaj kita, dalam bidang hukum, politik, ekonomi, dan segala bidang yang menunjang kehidupan.

Ketika kita kembali berpijak pada Al Quran, merupakan suatu keharusan, kita memulai lagi dengan kesadaran “mempelajari untuk melaksanakan dan mengamalkan”, bukannya dengan kesadaran “rekreasi atau refreshing intelektual”. Karena, tujuan utama kita adalah mengetahui apa yang dikehendaki Al Quran untuk kita lakukan; apakah konsepsi menyeluruh yang diinginkan Al Quran dari kita; bagaimanakah Al Quran menghendaki kesadaran kita terhadap Allah swt; dan bagaimanakah Al Quran menghendaki akhlaq, sikap, dan tatanan kehidupan kita sehari-hari?!

Untuk itu, kita harus melepaskan diri dari himpitan komunitas jahiliyah, juga konsepsi, tradisi, dan tatanan sosial yang berbau jahiliyah, lebih-lebih di dalam jiwa kita. Kita mungkin tidak dapat terpisah secara fisik dengan realitas masyarakat jahiliyah ini, tapi kita tidak perlu menyatakan loyalitas kepadanya. Kita dapat tetap bergaul dengan lingkungan tapi dengan menyaring nilai-nilai yang berkembang dengan saringan Al Qur’an.

Maka yang perlu kita lakukan adalah berinteraksi dengan Al Qur’an secara lebih baik dan benar. Yaitu dengan belajar membaca ayat-ayatnya, mmemahami makna-makna yang dikandungnya, menghafalkannya sedapat mungkin dan mengamalkan petunjuk-petunjuknya dalam kehidupan keseharian kita.

Begitulah Rosulullah mentarbiyah para sahabat dengan Al Qur’an. Segala sikap dan sifat jahiliyah yang ada pada diri mereka, meraka tinggalkan dan diganti dengan sikap dan sifat yang Qur’aniy. Al Qur’an telah melahirkan suatu generasi unggul, dengan methodenya yang orisinal. Sekalipun Rasulullah saw harus meninggal dunia, sebagai manusia biasa, tetapi Allah telah menjamin keaslian Al Qur’an sebagai petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis bagi kerja-kerja dakwah dan perbaikan Ummat.

Sayyid Quthb menulis:

ولكن الله - سبحانه - تكفل بحفظ الذِّكْر، وعلم أن هذه الدعوة يمكن أن تقوم بعد رسول الله - صلى الله عليه وسلم - وبمكن أن تؤتي ثمارها. فاختاره إلى جواره بعد ثلاثة وعشرين عامًا من الرسالة، وأبقى هذا الدِّين من بعده إلى آخر الزمان.. وإذن فإن غيبة شخص رسول الله - صلى الله عليه وسلم - لا تفسر تلك الظاهرة ولا تعللها.[24]

 

Allah telah berjanji memelihara kemurnian Al Qur’an. Islam bisa didirikan dan bermanfaat bagi ummat manusia bahkan setelah Rasulullah saw tidak ada lagi di dunia. Rasulullah dipanggil Allah setelah 24 tahun bertugas. Ketidakhadirannya tidaklah menyebabkan orisinalitas Al Qur’an tercemar, karena Allah menjamin kemurniannya.

Rasulullah adalah penyampai ajaran dengan keteladanan yang baik, beliau langsung menjadi model bagi aplikasi ajarannya itu. Nabi Muhammad saw merupakan contoh teladan terbaik dan tipologi ideal paling prima.

Dengan keteladan Nabi terhadap manusia menyebabkan dakwah yang dilakukan Rasullullah mendapatkan sambutan yang luar biasa. Sehingga islam tersebar oleh para juru dakwahnya dari bermacam generasi, dimana-mana di seluruh dunia ini.

Jika kita menerapkan perlaku yang telah dicontohkan oleh Nabi maka akan terlahir sikap yang mulia. Dengan keteladanan akhlaq beliau yang mulia tersebut orang yang sebelumnya memusuhinya, menjadi tunduk, dan bersedia memeluk islam.

Itulah beberapa keunggulan para sahabat dalam memaknai hadirnya Al Qur’an. mereka berlomba-lomba dalam mengamalkan dan tak salah kalau Sayyid Quthb menulis tentang mereka sebagai generasi Qur’ani yang unik.

 

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Khurshid (ed), Introductory statement on the Essentials of Islam, in Islam Its Meaning and Message, Islamic Council f Europe, London, 1976.

al Asfihany, Abul Qasim Husayn bin Muhammad, Ar Raghib, Tafsir Ar Raghib Al Asfihay, tahqiq Adil bin Ali asy Syidy, Daar an Nashr-Daar al Wathan, Riyadh, 1424/2003

al Khatib, Muhammad Abdullah, Model Masyarakat Muslim, Wajah Peradaban Masa Depan, alih bahasa Iwan Kustiawan, Progressio, Bandung, 2006.

al Qathan, Manna’ Khalil, Mabahits fii Ulumil Qur’an, Mansyurat al’Ashr al Hadits,1973.

Quthb, Muhammad, Tafsir Islam atas Realitas, alih bahasa Abu Ridho Lc, Yayasan SIDIK, 1996.

Quthb, Sayyid, Tafsir Fii Dzhilalil Qur’an, Daar asy Syuruq, Beyrut-Kairo,1412.

___________, Ma’aalim fii ath Thariq, Daar asy Syuruq, tt.

Syadid, Muhammad, Manhaj Tarbiyah, Metode Pembinaan dalam Al Qur’an, alih bahasa Nabhani Idris Lc, Robbani Press, Jakarta, 2003.

Yaljun, Miqdad, Peranan Pendidikan Akhlaq Islam dalam Pembentukan Individu, Masyarakat dan Peradaban Dunia, Alih bahasa Dr H Azra’ie Zakaria (Jakarta: LP2M UIA, 2011).

Zakaria, Azra’ie, Konsep Pendidikan Ibn Khaldun, Relevansinya dengan Pendidikan Modern, LP2M UIA, 2011.



[1] Abul Qasim Husayn bin Muhammad, Ar Raghib al Asfihany, Tafsir Ar Raghib Al Asfihay, tahqiq Adil bin Ali asy Syidy, Daar an Nashr-Daar al Wathan, Riyadh, 1424/2003, h. 790.

[2] Sayyid Qutb, Ma’aalim fii ath Thariq, Daar asy Syuruq, tt, h.8.

[3] Sayyid Quthb, Tafsir Fii Dzhilalil Qur’an, Daar asy Syuruq, Beyrut-Kairo,1412, h,447.

[4] Sayyid Quthb,tt, h.10.

[5] Muhammad Syadid, Manhaj Tarbiyah, Metode Pembinaan dalam Al Qur’an, alih bahasa Nabhani Idris Lc, Robbani Press, Jakarta, 2003, hal 74.

[6] Miqdad Yaljun, Peranan Pendidikan Akhlaq Islam dalam Pembentukan Individu, Masyarakat dan Peradaban Dunia, Alih bahasa Dr H Azra’ie Zakaria (Jakarta: LP2M UIA, 2011) h.19.

[7] Muhammad Abdullah Al Khatib, Model Masyarakat Muslim, Wajah Peradaban Masa Depan, Progressio,alih bahasa Iwan Kustiawan, Bandung, 2006, h.25.

[8] Miqdad Yaljun,op.cit, h.20.

[9] Khurshid Ahmad (ed), Introductory statement on the Essentials of Islam, in Islam Its Meaning and Message, Islamic Council f Europe, London, 1976, h.21.

[10] Sayyid Quthb, tt, op.cit, h.9.

[11] ibid.

[12] Ibid, h.10.

[13] Ibid,h.11.

[14] Manna’ Al Qathan, Mabahits fii Ulumil Qur’an,Mansyurat al’Ashr al Hadits,1973, h.107.

[15] Ibid, h.109.

[16] 1bid, h.110.

[17] Ibid, h.111.

[18] Ibid,h. 115.

[19] Ibid, h.116.

[20] Sayyid Quthb, tt, op.cit, h.13

[21] Muhammad Quthb, Tafsir Islam atas Realitas, alih bahasa Abu Ridho Lc, Yayasan SIDIK, 1996, h.18.

[22] Azra’ie Zakaria, Konsep Pendidikan Ibn Khaldun, Relevansinya dengan Pendidikan Modern, LP2M UIA, 2011, h. 106.

[23] Ibid, h.107.

[24] Sayyid Quthb,tt, op.cit, h.9.

Comments


EmoticonEmoticon