oleh wahyu bhekti prasojo
Pengasingan Cut Nyak Dhien ke Sumedang
Perang Aceh secara resmi berhenti dengan tertangkapnya pemimpin terakhir
perjuangan, Cut Nyak Dhien. Beliau kemudian diasingkan ke Sumedang pada tahun
1906. Oleh Pemerintah Kolonial Belanda beliau diserahkan kepada Bupati Sumedang.
Ketika itu, Pangeran Aria Suriaatmadja menjabat sebagai Bupati. Beliau
memerintah dari 1882 sampai 1919 M.[1]
Bupati mengalami kesulitan, karena Cut Nyak Dhien hanya berkomunikasi
dengan dua bahasa yaitu bahasa Aceh dan bahasa Arab. Sehingga Bupati kemudian
menitipkan Cut Nyak Dhien kepada ulama
setempat yaitu KH. Sanusi[2],
yang menguasai bahasa Arab.
Cungkup Makam Kyai Sanusi
Maka tinggallah Cut Nyak Dhien berasama seorang pengawalnya di lingkungan
keluarga KH. Sanusi, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Keluarga itu
sangat menghormati Cut Nyak Dhien. Secara khusus, Kyai Sanusi menugaskan Siti
Khodijah, salah seorang cucunya untuk melayani segala keperluan Cut Nyak Dhien.
![]() |
| Makam pelayan Cut Nyak Dhien |
Karena kedudukan beliau adalah pemimpin perlawanan rakyat Aceh terhadap
Belanda, Kyai Sanusi menyadari bahwa posisi Cut Nyak Dhien dapat dikatakan
belumlah aman. Masih sangat mungkin ada ancaman dari musuh atau kalangan yang
tidak ingin melihat bangsanya merdeka. Maka KH. Sanusi menyamarkan keberadaan
Cut Nyak Dhien dengan memberikan sebutan “Ibu Ratu”. Nama ini, menurut Bapak
Asep, Juru Pelihara komplek makam, lebih terdengar “jawa” ketimbang Sumatra
atau Aceh. Seluruh keluarga KH. Sanusi memanggil beliau dengan sebutan
tersebut. Sehingga masyarakat pun hanya mengenal nama tersebut, tanpa terlalu
menyadari bahwa dalam lingkungan keluarga Kyai Sanusi tinggal seorang Bangsawan
Aceh, pemimpin perjuangan melawan kolonialisme Belanda.
Selama di pengasingan, Ibu Ratu Cut Nyak Dhien turut dalam usaha mendidik
masyarakat dengan mengajar fiqih (ibadah) dan membaca Al Quran. Sampai beliau
wafat pada 6 November 1908[3]
dan dimakamkan dalam komplek makam keluarga Kyai Sanusi, dikenal juga dengan
nama Komplek Pemakaman Gunung Puyuh.
Ziarah Makam Cut Nyak Dhien
Pada tahun baru 1 Muharram 1445 yang lalu, penulis bersama beberapa orang
kawan, sengaja berkunjung ke makam beliau di Sumedang. Bermaksud berziarah
mendo’akan kebaikan bagi pendahulu pahlawan perjuangangan. Selain meresapi
semangat kebebasan dan keberanian melawan penjajahan.
Perjalanan dari Jakarta memerlukan waktu sekitar 3 jam. Perlu bertanya
sedikit kepada orang-orang sekitar tentang lokasi makam, karena lokasi makam
dapat dikatakan tidak memiliki akses sendiri yang langsung menuju makam,
melainkan melewati kompleks pemakaman Pangeran Sumedang Pangeran Soeria Koesoemah
Adinata.
Menurut Penjaga Makam, sudah ada rencana untuk membebaskan beberapa lahan
untuk menyediakan jalan yang khusus langsung menuju kompleks makam keluarga
Kyai Sanusi. Tetapi belum diketahui persis kapan hal itu akan dilaksanakan.
Mulanya, tidak diketahui persisnya lokasi makam Cut Nyak Dhien tersebut. Mungkin
karena kesengajaan Kyai Sanusi yag agak merahasiakan keberadaan Cut Nyak Dhien
itu, sehingga makamnya pun dirahasiakan.[4]
Barulah pasca kemerdekaan, pada 1959, lokasi makam Cut Nyak Dhien ditemukan
atas perintah pencarian dari Presiden Sukarno, tahun sebelumnya.
Makam Cut Nyak Dhien secara administratif terletak dalam wilayah Kelurahan
Sukajaya, Kecamatan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Dalam
komplek makam keluarga tersebut ada sekitar seratusan makam anggota keluarga.
Termasuk makam Kyai Sanusi dan cucu beliau Siti Khodijah, pelayan Ibu Ratu. Atas
jasa-jasa yang telah diberikan oleh Cut Nyak Dhien kepada negara dan bangsa,
maka berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 106 Tahun
1964 Cut Nyak Dhien diangkat sebagai pahlawan nasional.[5]
![]() |
| Makam Ibu Ratu Cut Nyak Dhien |
Menurut Bapak Asep, makam Cut Nyak Dhien telah direnovasi sebanyak dua
kali. Pada 1971, Pemerintah Profinsi Daerah Istimewa Aceh membangun makam. Kemudian
pada 1987, Pemerintah RI merenovasi bangunan cungkup makam seperti yang dapat
dilihat sekarang.
Makam Cut Nyak Dhien terletak di komplek yang teduh. Banyak tumbuh pepohonan
yang menambah kesejukan udara. Ketenangan suasananya menciptakan aura sakral
yang mistis namun menenangkan. Keadaan makam dan kompleks makam secara
keseluruhan sangat terjaga kebersihannya. Terlihat bahwa makam-makam di
kompleks itu terpelihara dengan baik.
Pak Asep menerangkan bahwa orang-orang yang datang dan sempat berziarah ke
makam Cut Nyak Dhien hanyalah orang-orang yang “mendapat lambaian” (mungkin
maksudnya panggilan). Sebab banyak orang yang datang, sudah sampai di depan
gerbang, tapi balik arah karena melihat gerbang dikunci. Atau hanya berdiri
lama di depan gerbang tanpa mengucapkan salam, sehingga penajaga tidak tahu
akan keberadaannya. Sehingga akhirnya orang itu pulang. Dan macam-macam sebab
yang lain.
![]() |
| Penulis dan kawan-kawan sedang mendengar penje lasan dari Pak Raden Asep, Penjaga Makam, Beliau adalah Keturunan ke 6 dari Kyai Sanusi. |
Berziarah ke Makam para pahlawan bermanfaat bagi generasi penerus untuk
dapat mengenal sejarah bangsa. Sekiranya sekolah-sekolah dapat membuat
program-program ziarah ini akan sangat membantu pembentukan karakter bangsa dan
cinta tanah air. Apabila kompleks makam Keluarga Kyai Sanusi ini telah memiliki
jalan akses masuknya sendiri, tentu akan memudahkan bagi para peziarah
mencapainya. Apalagi jika tersedia juga area parkir kendaraan.
Wallahu’alam bishshwawab.
Daftar Pustaka
Ibrahim, Muchtarudin, Cut Nyak Dhien, Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan RI, Jakarta, 1996.
Wanti, Irini Dewi, Cut Nyak Dhien dalam Enam Pahlawan
Nasional Asal Aceh, Editor Rusdi Sufi & Agus Budi Wibowo,
DEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL BUDAYAAN BALAI KAJIAN
SEJARAH DAN NILAI TRADISIONAL BANDAACEH, 1996.
https://sumedangtandang.com/sumedang/profil/bupati.htm, waktu akses 29/7/2023
[1] https://sumedangtandang.com/sumedang/profil/bupati.htm, waktu akses 29/7/2023;
12:16 wib.
[2] KH. Sanusi adalah pionir dakwah Islam di wilayah Sumedang.
Menurut Bapak Asep, Juru pelihara makam, beliau adalah yang menggagas
pembangunan Masjid Agung Sumedang.
[3] Muchtarudin Ibrahim, Cut Nyak Dhien,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Jakarta, 1996, hlm.84
[4] Wawancara dengan Pak Asep, Penjaga Makam.
[5] Irini Dewi Wanti, Cut Nyak Dhien dalam Enam
Pahlawan Nasional Asal Aceh, Editor Rusdi Sufi & Agus Budi Wibowo,
DEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL BUDAYAAN BALAI KAJIAN
SEJARAH DAN NILAI TRADISIONAL BANDAACEH, 1996, hlm.14.




