Oleh Wahyu B Prasojo
Istilah "rekayasa sosial (social
engineering)" seringkali dipandang negatif karena lebih banyak digunakan
untuk menunjuk perilaku yang manipulatif. Padahal, secara konseptual, istilah
"rekayasa sosial" adalah suatu konsep yang netral yang mengandung
makna upaya mendesain suatu perubahan sosial sehingga efek yang diperoleh dari
perubahan tersebut dapat diarahkan dan diantisipasi.
Secara etimologis rekayasa sosial diadaptasi dari social engineering, terbentuk dari dua
kata yaitu social yang berarti living in groups, not separately, of people
living in communities; of relations between persons snd communities,[1]dan
engineering, yaitu the application of sicence for the control
and use of power.[2]
Maka frasa ini bisa berarti the
application of science for the control of community living. Atau aplikasi
ilmu pengetahuan untuk mengontrol kehidupan social, terkadang juga menggunakan
paksaan kekuatan.
Sedangkan dalam Bahasa Indonesia rekayasa berarti penerapan kaidah-kaidah
imu dalam pelaksanaan (seperti perancangan, pembuatan konstruksi serta
pengoperasian kerangka, peralatan dan system yang ekonomis dan efisien).[3]
Maka rekayasa social adalah penerapan kaidah-kaidah ilmu dalam pelaksanaan yang
berkaitan dengan kemasyarakatan.
Pengertian ini digunakan oleh Chumbow sebagai; is the application of principles,
techniques, methods and findings of social sciences to the solution of
identified social problems, especially with respect to effecting change.[4]Yaitu
aplikasi dari prinsip-prinsip, cara-cara, metode dan penemuan ilmu pengetahuan
social untuk memecahkan masalah social yang teridentifikasi dengan harapan yang
tinggi akan terjadinya perubahan. Bisa dikatakan ia adalah adalah campur tangan
gerakan ilmiah dari visi ideal tertentu yang ditujukan untuk mempengaruhi
perubahan sosial.[5]
Ini adalah problem aksiologis ilmu pengetahuan,
yaitu problem yang berhubungan dengan tujuan, fungsi, dan manfaat ilmu
pengetahuan bagi kehidupan manusia. Berkaitan dengan persoalan ini, setiap ilmu
pengetahuan umumnya memiliki fungsi-fungsi khusus dalam hubungannya dengan
suatu objek pengetahuan. Sebuah rekayasa social harus dimulai dengan merubah
cara berfikir.[6]
Padanannya dalam bahasa Arab disebut dengan taghyir
ijtima’iy.[7]Taghyir
adalah mashdar dari ghayara –
yughayyiru – ghiyaar wa taghyiran,[8]yang
berartiberubah, merubah dan perubahan.Sedangkan ijtima’iy berarti kemasyarakatan atau social.[9]Yaitu
cara untuk mengubah tatanan kondisi masyarakat yang menyimpang, salah dan buruk
menjadi kondisi masyarakat yang terarah, benar dan baik.[10]
Dalam Al Qur’an istilah ini ditemui dalam surat Ar Ra’du ayat ke 11.
لَهُۥ مُعَقِّبَٰتٞ مِّنۢ
بَيۡنِ يَدَيۡهِ وَمِنۡ خَلۡفِهِۦ يَحۡفَظُونَهُۥ مِنۡ أَمۡرِ ٱللَّهِۗ إِنَّ ٱللَّهَ
لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوۡمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنفُسِهِمۡۗ وَإِذَآ
أَرَادَ ٱللَّهُ بِقَوۡمٖ سُوٓءٗا فَلَا مَرَدَّ لَهُۥۚ وَمَا لَهُم مِّن دُونِهِۦ
مِن وَالٍ
Bagi
manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan
di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah.Sesungguhnya Allah tidak
mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada
diri mereka sendiri.Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu
kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung
bagi mereka selain Dia.
Penggunaan kalimat yughayyiru yang merupakan
kata kerja transitif, menunjukkan bahua perubahan yang dimaksud dalam ayat dan
hadits adalah perubahan yang dikehendaki atau yang direncanakan. Sebab kalimat
yughayyiru mengandung pengertian perubahan dari suatu kondisi kepada kondisi
yang lain, baik dari kondisi yang baik kepada yang buruk atau sebaliknya.[11]
Dalam hal ini perintah Allah dan Rasul adalah dari kondisi yang buruk kepada
kondisi yang baik. Jaudah Sa’id menjelaskan bahua kalimat ini mengandung
pengertian perpindahan dari suatu kondisi yang tidak diingini kepada kondisi
lain yang dikehendaki, dan diatur oleh suatu hukum yang erat sekali hubungannya
dengan target, sarana prasarana serta sumber daya manusia.[12]
Menurut Joseph S Roucek dan Roland L Warrin,
rekayasa social adalah suatu usaha untuk mengarahkan perubahan social melalui
beberapa jenis rencana yang tersusun rapi. Definisi serupa dikemukakan oleh Paun B Horton dan Chester L Hunt, bahwa
rekayasa social adalah upaya untuk mengarahkan perubahan social kearah dan tujuan yang baik.[13]
Jalaludin Rachmat memberikan definisi rekayasa social sebagai perubahan social
yang direncanakan, didesain dan ditetapkan tujuan dan strateginya.[14]
Rekayasa sosial merupakan sebuah jalan mencapai
perubahan sosial secara terencana. Yakni perubahan tingkat/taraf kehidupan
masyarakat demi tercapainya kesejahteraan dan kemandirian. Masyarakat pada
umumnya menginginkan adanya perubahan sosial kearah yang lebih baik.Oleh
karenanya perubahan sosial harus dilakukan secara berkesinambungan dan terarah.
Rekayasa sosial adalah salah satu cara yang bisa
dilakukan untuk menciptakan masyarakat yang bersih, kuat, disiplin dan
berbudaya.
[1] A.S Hornby, Oxford Advanced Learner’s
Dictionary of Current English, Oxford University Pree, Oxford, 1980,
hal.818.
[2] Ibid, hal.285.
[3] Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2007, hal.942.
[4] Beban Sammy Chumbow, Social
Engineering Theory: A Model for the Appropriation of Innovations with a Case
Study of the Health MDGs, Social Sciences and Cultural Studies – Issues
of Language, Public Opinion, Education and Welfare, University of Yaounde 1 and
Cameroon Academy of SciencesCameroon, hal.457.
[5] Rachmat Imampuro .1982. Ilmu
Dakwah. Badan Penerbitan Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang,
Semarang, hal.32
[6] Jalaludin Rakhmat, 1999, Rekayasa Sosial: Reformasi atau Revolusi?, Bandung: Rosda, hal.3
[7] M.Munir & Wahyu Ilaihi, Manajemen
Dakwah, 2009, Prenada Kencana Group, Jakarta, hal.254.
[8] A.W Munawwir, Kamus Al Munawwir,
Surabaya, Pustaka Progressif, 1997, hal.1026.
[9] Ibd, hal.210.
[10] Ibid,hal.253.
[11] M.Munir & Wahyu Ilaihi, op.cit,
hal.256
[12] M.Munir & Wahyu Ilaihi, ibid,
hal.256
[13] M.Munir & Wahyu Ilaihi, op.cit,
hal.254.
[14] Jalaludin Rakhmat,op.cit, hal.45
