Sejarah KH Abdul Halim Pahlawan Nasional dari Majalengka - Saungpikir

Sunday, November 12, 2023

Sejarah KH Abdul Halim Pahlawan Nasional dari Majalengka

 

Kelahiran dan Kekerabatan KH Abdul Halim


KH. Abdul Halim dilahirkan pada 26 Juni 1887 di Desa Sutawangi, Kecamatan Jatiwangi, Kabupaten Majalengka 
nama kecil Abdul Halim adalah Mohammad Sjatari, tetapi nama Otong lah yang paling dikenal oleh masyarakat. Otong Syatori merupakan anak bungsu dari 7 bersaudara pasangan K.H. Muhammad Iskandar dengan Hj. Siti Mutmainah.[1]


Darah Ulama Pejuang mengalir deras dalam tubuh dan jiwa Otong Syatori. Ayahnya, KH. Muhammad Iskandar adalah keturunan ke 6 dari Sunan Gunung Jati melalui jalur Maulana Hasanudin, penguasa Banten. Sementara Ibundanya Hj. Siti Muthmainnah juga merupakan keturunan Sunan Gunung Jati. Meskipun ada juga pendapat yang menyebutkan bahwa Hj. Siti Muthmainnah adalah keturunan Pangeran Sabrang Lor dari Demak.[2] Meski keturunan Priyayi, Otong Syatori kecil tidak membedakan dirinya dengan masyarakat pada umumnya. Beliau sangat ramah dan mudah bergaul dengan segala tingkatan golongan masyarkat.

Giat dan Bersemangat Menuntut Ilmu

Beliau mendapatkan pendidikan dasar keagamaan dari kedua orang tuanya terutama dari Ibundanya, seperti shalat 5 waktu dan membaca Al Qur’an.[3] Setelah mampu membaca Al Qur’an beliau dikirimkan kepada seorang Kyai di Cideres Dawuan, untuk melanjutkan pendidikan Al Qur’an. Di samping itu beliau juga belajar membaca huruf latin dari Mr. van Hoeven seorang pendeta yang bertanggung jawab atas kegiatan zending di Majalengka.[4]

Meski sangat cerdas sehingga dikagumi oleh gurunya yang kristen itu, Abdul Halim tidak tertarik masuk pendidikan formal Belanda yang ditawarkan Sang Pendeta. Beliau justru tertarik masuk pesantren. Sejak tahun 1897, orang tua Otong Syatori memasukkan dirinya ke pesantren untuk memperdalam ilmu keislaman yang dasar-dasarnya telah diberikan di lingkungan keluarganya. Sejak tahun itulah, ia berkelana dari satu pesantren ke pesantren lain selama kurang lebih 11 sampai 12 tahun. Yaitu kepada KH. Anwar di Ranji Wetan Majalengka, KH. Abdullah di Lantangjaya, KH.Sujak di Brobos, Cirebon, KH. Ahmad Sobari di Ciwedus, Kuningan, dan KH. Agus di Pekalongan.[5] Meski demikian beliau tidak tertinggal dalam masalah pengetahuan umum, karena kegemarannya membaca dan belajar.

Setelah menikah pada 1908, beliau pergi ke Mekkah untuk berhaji dan belajar. Selama 3 tahun mukim di Mekkah, H. Abdul Halim berguru kepada empat orang ulama pembaru Islam, yaitu Syekh Ahmad Khatib, Syekh Ahmad Khayyat, Emir Syakib Arslan, dan Syekh Tanthawi Jauhari. Keempat gurunya itu berhasil mempengaruhi jiwanya ketika ia kembali tanah air dan berjuang memperbaiki kondisi umat yang sudah timpang. Namun sayangnya, keterangan mengenai gurunya itu tidak ditemukan secara lengkap, kecuali Syekh Akhmad Khatib dan Emir Syakib Arslan.

Perjuangan KH. Abdul Halim dalam Pergerakan Kemerdekaan Indonesia

Sekembalinya dari Mekkah, beliau mendirikan sebuah kelompok kajian Islam yang diberi nama Hayatul Qulub, pada1911.[6] Hayatul Qulub (HQ) berarti “Hati yang hidup”. Perkumpulan ini bukan sekedar kelompok kajian agama, melainkan juga semacam komunitas pedagang dan petani pribumi muslim, yang secara sadar memperkuat jaringannya untuk menghadapi persaingan usaha dengan para pedagang asing, terutama dari kalangan Tionghoa. Kelompok ini bahkan bentuknya lebih mirip koperasi ketimbang Majelis Ta’lim. Pengajian memang dilakukan untuk menanamkan jatidiri muslim dan ukhuwah islamiyah. Sehingga tumbuh kesadaran untuk saling membantu sesama anggotanya terutama dalam bidang ekonomi dan bisnis. Di antara usahanya adalah simpan pinjam. Dengan dana patungan anggota mereka sempat mendirikan sebuah pabrik tekstil. Meskipun saat ini keberadaan pabrik tersebut sudah tidak diketahui.

Pada tahun 1915, HQ dibubarkan pemerintah kolonial Belanda, pasca konflik kerusuhan anti Tionghoa. Kegiatan HQ yang sifatnya ekonomi terhambat. Tetapi kegiatan pengajian masih tetap berlangsung dalam lembaga yang disebut Majelis Ilmi. Majelis Ilmi adalah juga lembaga yang dibentuk KH Abdul Halim bersamaan dengan HQ. Bedanya Majelis Ilmi lebih bersifat pengajian agama.

Setahun kemudian yaitu 1916, MI membangun sekolah dengan nama Jam’iyah I’anat Al Muta’alimin.[7] Nama ini sekaligus menjadi nama baru organisasi. Mereka membangun satu musholla dan tiga ruang untuk madrasah. Sekolah ini di samping menggunakan sistem halaqah, di mana siswa duduk melingkar di sekitar guru yang mengajar, juga menggunakan sistem klasikal eropa seperti yang kita kenal sekarang. Sistem halaqoh untuk belajar agama, sedangkan sistem kelas untuk belajar ilmu pengetahuan umum.  Pada 1932 didirikan pula Santi Asrama, sebagai wadah baginya untuk menyampaikan gagasannya menyebarkan agama Islam melalui kegiatan pembaharuan pendidikan.[8] 

 Pada tahun 1917, atas usul HOS Cokroaminoto, Jam’iyah mengajukan pengakuan sebagai sekolah resmi kepada pemerintah Belanda. Pengajuan ini diluluskan pada 21 Desember 1917, dengan pergantian nama organisasi menjadi Persyarikatan Oelama.[9]

Selain berjuang melalui organisasinya sendiri KH. Abdul Halim juga punya hubungan yang kuat dengan organisasi Nahdhatul Ulama; yaitu dengan KH. Wahab Hasbullah yang sangat mempengaruhi cara pandang dan pemikirannya.[10] Bahkan beliau adalah salah satu Pengurus Pusat NU di awal pendiriannya dan berperan penting dalam segala pencatatan dokumen organisasi, sebab jabatannya sebagai Naibul Katib, wakil sekertaris.[11] Begitu pula organisasinya saling dukung-mendukung  dengan Syarikat Islamnya HOS Cokroaminoto, sehingga Persyarikatan Oelama dapat berkembang meluas sampai Madura.[12]

Dua Gelar Pahlawan Nasional

K.H. Abdul  Halim wafat pada tahun 1962 M.[13] Sepeninggal ulama besar tersebut, jejak, warisan dan semangat  perjuangannnya di dalam menyebarkan agama Islam di daerah Majalengka   tidak pernah  terputus. Para keturunan dan para alumni yang dibesarkan di dalam lembaga pendidikan yang didirikannya banyak yang melanjutkan kepemimpinannnnya dengan membuka  pesantren dan mendirikan  lembaga pendidikan keagamaan  di bawah naungan organisasi Persatuan Umat Islam yang tersebar di daerah sekitar Majalengka seperti  Maja,  Talaga,  Cikijing, Bantarujeg, Cipeundeuy dan Malausma.

Berdasarkan jasa dan perjuangan beliau pemerintah menganugerahkan Gelar Pahlawan Nasional kepada KH. Abdul Halim.  Gelar pahlawan nasional yang pertama diberikan kepada Abdul Halim bertepatan pada peringatan Hari Pahlawan tanggal 10 November 2008. Keputusan ini disampaikan oleh Menteri Komunikasi dan Informatika Kabinet Indonesia Bersatu, Muhammad Nuh pada tanggal 2 November 2008 di Jakarta berdasarkan SK Presiden no /TK/2008 (6 November 2008). Sedangkan Gelar Pahlawan Nasional yang kedua berdasarkan surat dari Kementerian Sekretariat Negara RI Nomor R-09/KSN/SM/GT.02.00/11/2023 tertanggal 3 November 2023. Diseleggarakan pada tanggal 10 November 2023 dan disematkan langsung oleh Presiden Joko Widodo.

Semoga Allah Tuhan Yang Mahapengasih membalas segala jasa para Pahlawan dan kita semua dapat mengambil pelajaran dan manfaat dari perikehidupan mereka. Amin.


Daftar Pustaka

Falah, Miftahul, Riwayat Perjuangan KH Abdul Halim, Masyarakat Sejarah Indonesia Cabang Jawa Barat, 2008.

Suryanegara, Ahmad Mansur, Api Islam, Mahakarya Ulama dan Santri dalam Menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Suryadinasti, Bandung, 2014.

Sumber Internet

Hernawan, Wawan, Kebangkitan Islam di Majalengka; Menelusuri Jejak Perjuangan KH Abdul Halim dalam Mempelopori Gerakan Kebangkitan Islam di daerah Majalengka 1911-1962, (https://aweygaul.wordpress.com/). Akses 13 November 2023.

Nu Online, https://www.nu.or.id/nasional/6-tokoh-yang-akan-bergelar-pahlawan-nasional-ada-kh-abdul-chalim-leuwimunding-OKsJC akses, 13 November 2023.



[1] Miftahul Falah, Riwayat Perjuangan KH Abdul Halim, Masyarakat Sejarah Indonesia Cabang Jawa Barat, 2008, hlm.4.

[2] Ibid, hlm.3

[3] Wawan Hernawan, Kebangkitan Islam di Majalengka; Menelusuri Jejak Perjuangan KH Abdul Halim dalam Mempelopori Gerakan Kebangkitan Islam di daerah Majalengka 1911-1962, (https://aweygaul.wordpress.com/). Akses 13 November 2023, 10:50 wib.

[4] Miftahul Falah, op.cit, hlm.7

[5] Ahmad Mansur Suryanegara, Api Islam, Mahakarya Ulama dan Santri dalam Menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Suryadinasti, Bandung, 2014, Jilid I, hlm.460.

[6] ibid, hlm.460.

[7] Miftahul Falah, op.cit, hlm.40.

[8] Wawan Hernawan, Kebangkitan Islam di Majalengka; Menelusuri Jejak Perjuangan KH Abdul Halim dalam Mempelopori Gerakan Kebangkitan Islam di daerah Majalengka 1911-1962, (https://aweygaul.wordpress.com/). Akses 13 November 2023, 10:50 wib.

[9] Miftahul Falah, op.cit, hal.40.

[10] Ahmad Mansur Suryanegara, loc.cit, hlm.460.

[12] ibid, hlm.461.

[13] Wawan Hernawan, Kebangkitan Islam di Majalengka; Menelusuri Jejak Perjuangan KH Abdul Halim dalam Mempelopori Gerakan Kebangkitan Islam di daerah Majalengka 1911-1962, (https://aweygaul.wordpress.com/). Akses 13 November 2023, 10:50 wib.

 

Comments


EmoticonEmoticon