oleh: wahyu bhekti prasojo
Teks Hadits dan Terjemahnya
حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ
عَمَّارٍ قَالَ: حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ سُلَيْمَانَ قَالَ: حَدَّثَنَا كَثِيرُ
بْنُ شِنْظِيرٍ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «طَلَبُ الْعِلْمِ
فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ، وَوَاضِعُ الْعِلْمِ عِنْدَ غَيْرِ أَهْلِهِ
كَمُقَلِّدِ الْخَنَازِيرِ الْجَوْهَرَ وَاللُّؤْلُؤَ وَالذَّهَبَ»[1]
Hisyam bin
Ammar meriwayatkan kepada kami, dia berkata: Hafs bin Sulaiman meriwayatkan
kepada kami, dia berkata: Kathir bin Shindhir
meriwayatkan kepada kami, dari Muhammad bin
Sirin, dari Anas bin Malik, dia berkata: Rasulullah, shalallahu alaihi wasallam, bersabda: “Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim, dan orang
yang meletakkan ilmu pada orang yang bukan ahlinya, ibarat mengalungi babi dengan permata,
mutiara dan emas.”
Takhrij Hadits
Daftar periwayat hadits ini adalah sebagai berikut: Hisyam bin ‘Ammar
adalah seorang Qari’ yang jujur dan menjadi orang yang mendiktekan ilmu.[2]
Kemudian Hafs bin Sulayman. Menurut Syaikh Muhammad Fuad Abdul Baaqy, di dalam
Al-Zawa'id, rantai sanad hadits ini lemah karena lemahnya Hafs bin Sulaiman.[3]
Kemudian berturut-turut Kathir bin Syindzhiri dan Muhammad bin Sirrin.
Sementara Anas bin Malik ra sudah terkenal di kalangan ummat Islam, beliau
adalah salah satu sahabat Rasulullah saw, yang hidupnya sangat dekat dengan
beliau saw.
Sementara itu Imam Al-Suyuti mengatakan bahwa Syekh Muhyi al-Din al-Nawawi rahimahullah,
ketika ditanya tentang hadits ini, dia menjawab bahwa hadits itu dhaif, yaitu
dari sisi rantai sanadnya. Sekiranya hadits ini shahih yakni dari sisi
maknanya. Tetapi muridnya, Jamal al-Din al-Mazzi berkata, “Hadits ini
diriwayatkan dari rangkaian perawi yang mencapai derajat Hasan.”[4]
Dalam Bayan al wahm wa al Iham disebutkan sebuah riwayat melalui Al-Bazzar,
bahwa Muhammad bin Muammar Al-Najrani menceritakan kepada kami, Abu Asim
menceritakan kepada kami, dari Ibrahim bin Salam, dari Hammad yaitu Ibnu Abi
Sulaiman, dari Ibrahim Al-Nakha'i, dari riwayat Anas bin Malik, yang berkata:
Rasulullah saw bersabda: “Mencari ilmu adalah wajib bagi setiap Muslim.”
Meski ada kelemahan pada khabar ini berkaitan dengan ketidaktahuan tentang
Ibrahim bin Salam, inilah jalur yang lebih shahih, yang diriwayatkan dari Anas
bin Malik.[5]
Lebih lanjut Al-Bazzar menjelaskan bahwa ia tidak mengetahui jalur riwayat
lain tentang hadits ini kecuali jalur yang berdasarkan riwayat Abu Asim. Selain itu, riwayat Al-Nakha'i
dari Anas bin Malik mempertegas permasalahan ini. Diketahui bahwa
An Nakha’iy wafat pada tahun 96 H.[6] Sedangkan Anas bin Malik wafat pada tahun 93H.[7]
Mufradat atau Kosa kata Hadits
|
طَلَبُ |
menuntut |
|
الْعِلْمِ |
ilmu |
|
فَرِيضَةٌ |
kewajiban |
|
عَلَى |
atas |
|
كُلِّ |
setiap |
|
مُسْلِمٍ |
orang Islam |
Penjelasan dan Faidah Hadits
Hadits ini mengandung perintah Nabi Muhamad saw kepada ummatnya untuk
menuntut ilmu. Faridlah bermakna kewajiban. Jadi menuntut ilmu sifatnya wajib
bagi ummat Islam.
Sedangkan ilmu maknanya al fahmu wa al idrak[8]
(pemahaman dan pengetahuan) yang kajiannya dikembangkan berdasarkan standar
metode ilmiah pada beragam masalah.
Allah telah membekali Adam –setelah penciptaannya- dengan ilmu yang
dibutuhkannya. Dengan ilmu itu Allah telah meninggikan Adam as dari malaikat,
karena ilmu adalah wasilah menuju kebaikan dan ketaqwaan yang dengannya manusia
dapat mencapai kemuliaan dari Allah dan kebahagiaan abadi.[9]
Karena perkembangan ilmu pengetahuan menjadi sangat luas dan beragam, tidak
semua ilmu wajib dipelajari setiap muslim. Tetapi setiap muslim wajib
mempelajari setiap keadaan yang akan mereka jalani. Jika seseorang akan
menjalani pekerjaannya sebagai pedagang, ia wajib mempalajari segala sesuatu
tentang perdagangan agar ia dapat menjalankan pekerjaannya dengan baik dan
terhindar dari hal-hal yang dapat merugikannya. Begitu pula dalam
masalah-masalah keagamaan dan ibadahnya. Dengan kata lain, ia wajib mempelajari
hal-hal yang terkait dengan pelaksanaan kewajiban-kewajibannya.
Ibnu Qudamah berpendapat, ilmu yang terpuji untuk dipelajari ada dua macam.
Yang pertama ilmu yang terpuji karena tujuannya yang utama, di mana semakin
banyak dimiliki semakin baik bagi pemiliknya di manapun. Yaitu ilmu tentang
Allah Ta’ala, sifat-sifatNya, perbuatanNya. Juga hikmah-Nya dalam mengatur
rutan kehidupan akhirat setelah dunia. Itu adalah ilmu yang dituntut dari
DzatNya dan dengan itu manusia dapat mencapai kebahagiaan akhirat. Dialah
lautan ilmu yang kedalamannya tak terkira, dan hanya orang-orang yang mengarungi
dan menyeaminya akan menemukan pantai dan tepiannya yang nyaman bagi mereka.[10]
Yang kedua Ilmu-ilmu yang hanya dapat dianggap terpuji dengan ketetapan dan ukuran tertentu.
Atau yang disebut dengan ilmu-ilmu kifayah, karena
pada masing-masing ilmu tersebut terdapat kekurangan, keterbatasan, dan membutuhkan penyelidikan.[11]
Diwajibkan pula untuk menuntut ilmu tentang seluruh akhlaq seperti kedermawanan, keberanian, rendah hati, dan lain sebagainya, serta lawan dari akhlaq-akhlaq yang baik tersebut. Karena seseorang dapat dikatakan telah memahami ilmunya dari keadaan yang sebaliknya.[12]
[1] Sunan Ibnu Majah, Juz I, hlm.81
[2] Jalal al Din al Suyuthy, Jami’ Ahadits, Juz
I, hlm.38.
[3] Ibnu Majah, loc.cit, hlm.81.
[4] Ibid, hlm.81.
[5] Bayan
al wahm wa al Iham fii hadits al Ahkam, Juz V,
hlm.124.
[6] Ibid, hlm.125
[7] al Bidayah wa al Nihayah, Juz IX, hlm.109.
[8] Mabahits fii Ulum al Quran, hlm.15.
[9] Ta’lim al Muta’allim, terjemah Abdurrahman
Azzam, hlm. 39.
[10] Mukhtashar
Minhaj al Qashidin, hlm.20.
[11] Ibnu Qudamah, ibid, hlm.20.
[12] Burhanudin al Zarnuji, op.cit, hlm.41.
