oleh wahyu bhekti prasojo
mpat peribadatan agama Hindu. Lingkungan di sekitarnya bersih dari sampah atau rontokan daun-daun dari pepohonan yang lebat lazimnya sebuah hutan taman nasional.
Sebuah arca menyerupai seekor hewan mamalia berkaki empat yang disebut batu
kalde, menjadi nama bagi situs ini. Di samping itu beberapa batu yang terpahat terlihat
menyebar tidak tertata juga mengisi kompleks situs. Beberapa batu berbentuk
lingkaran tebal (umpak batu) ditengarai sebagai batu tempat memasang
tiang-tiang bangunan rumah kayu. Beberapa batu yang nampak seperti pondasi
bangunan atau dinding nampak berserakan. Selain itu di sisi sebelah barat terdapat
juga 2 makam yang ditandai sebagai makam orang-orang pertama yang menganut
agama Islam di wilayah Pangandaran.
Situs ini pertama kali dieskavasi pada 2016 dan 2017 oleh Balai
Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Banten. Mereka
memperkirakan situs tersebut adalah candi dengan luas 46 meter x 49,5 meter
dengan denah persegi.[1]
Sebagian besar dari candi itu masih terkubur di bawah tanah. Menurut Kang Yogi,
petugas penjaga situs, area keseluruhan situs mencapai luas 1 hektar, sebagian besarnya belum dieskavasi. Program eskavasi yang dilaksanakan terhenti karena
pandemi corona covid 19 pada 2020. [2]
Asal-usul Nama Batu Kalde
Menurut Kang Yogi, ada beberapa versi asal muasal penamaan Batu Kalde yang
berkembang, yaitu;
1.
Berasal dari nama hewan keledai
Versi pertama tentang asal muasal nama Batu Kalde menyebutkan bahwa nama
tersebut berasal dari nama hewan keledai, yang mengalami perubahan bunyi dalam
percakapan lisan masyarakat sekitar menjadi kalde.
2. Dari nama hewan kijang
Versi lainnya tentang nama kalde adalah dari nama hewan kijang yang banyak
hidup di dalam hutan.[3]
Karena masyarakat tidak pernah melihat ada keledai atau ada tanda-tanda bekas
kehidupan, seperti tulang belulang keledai di dalam hutan maupun lingkungan
sekitar hutan.
3. Dari nama hewan sapi
Versi ke tiga menyebutkan bahwa kalde adalah sebutan lain untuk lembu atau
sapi dalam bahasa sansekerta. Nama ini dikaitkan dengan pandangan bahwa situs
ini berasal dari zaman hindu-budha. Yang mana dalam tradisi masyarakat hindu
ada kepercayaan tentang entitas Nandi, sapi atau lembu yang dihormati
sebagai tunggangan Batara Wishnu.
Arca Batu Kalde adalah simbol lembu kendaraan Batara Wishnu yang dibangun
untuk menghormati Patih Sapi Gumarang yang setia dan berjasa dalam memajukan
pertanian dan perikanan di Kerajaan Pananjung.[4]
Peninggalan Masa Hindu Budha
Situs ini diperkirakan berasal dari masa Hindu-Budha. Yaitu antara tahun
800 – 1400 M.[5]
Ini sesuai dengan pendapat Nina Herlina Lubis dan kawan-kawan, bahwa sampai
abad ke 15 Raja-raja Galuh masih menganut agama Hindu.[6]
Sementara dalam buku Sejarah Nasional Indonesia Jilid II, disebutkan bahwa
kehidupan masyarakat di Kerajaan Sunda bercorak Hindu-Budha dalam kerajaan
Sunda terjadi dalam rentang abad VII sampai abad XVI.[7]
Sedangkan akhir pengaruh hindu Budha di Tatar Sunda ditandai dengan runtuhnya
Kerajaan Sunda kira-kira pada 1579 Masehi.[8]
Prabu Haur Kuning sendiri berkuasa di Galuh Pangauban pada rentang 1535-1580
Masehi.[9]
Tanda lainnya yang menunjukkan bahwa situs ini adalah peninggalan periode
Hindu Budha adalah adanya batu lingga-yoni, selain arca batu kalde itu sendiri.
Sayangnya, hanya terdapat batu lingga, tanpa yoni. Para arkeolog optimis bahwa batu
yoni pasangan batu lingga tersebut masih terpendam di area situs.[10]
Umpak Batu
Di bagian timur situs terdapat batu-batu terpahat seperti reruntuhan
bangunan. Kebanyakan dari batu-batu itu tidak dapat dipastikan bentuk awalnya. Sehingga
tidak dapat dipastikan fungsi dan bagian apa dulu dalam keseluruhan bentuk
bangunan.
Yang dapat dipastikan adalah batuan yang terpahat berbentuk lingkaran cukup tebal sekitar 50 cm, yang disebut umpak. Yaitu batu tempat meletakkan ting-tiang utama bangunan rumah kayu. Terlihat ada 6 batu umpak tersebar di area yang dipagari bambu. Diperkirakan seluruhnya ada 12 umpak di sekitar situs, dengan enam yang belum ditemukan. Jika benar bahwa batu-batu itu adalah umpak tempat meletakkan kayu tiang bangunan, maka kemungkinan besar bangunan tersebut adalah bangunan profan, yaitu bangunan yang digunakan untuk keperluan hidup keseharian, bukan bangunan candi. Karena candi biasanya berbahan batu. Kalaupun ada kaitannya dengan candi, mungkin tempat tinggal para bhiksu.
Petilasan Tokoh Islam
Di bagian paling barat terletak susunan batu menyerupai bentuk makam yang
ditandai sebagai makam orang-orang pertama yang menganut agama Islam di
Pangandaran. Mereka adalah Kyai Terong Peot dan Kyai Nurbait. Tetapi kedua
makam itu bukanlah makam yang sebenarnya. Hanya simbol untuk menandai masuknya
Islam di wilayah ini.[11]
Semoga eskavasi situs batu kalde ini dapat dilanjutkan sehingga dapat
merekonstruksi sejarahnya dengan lebih lengkap. Akan sangat berguna bagi
penguatan jati diri bangsa, juga sebagai usaha pengembangan pariwisata sejarah
dan budaya.
[1] Afkar Aristoteles Mukhaer, Menguak
Sisa-sisa Kerajaan Pananjung, Kuasa yang Hilang di Pangandaran, https://nationalgeographic.grid.id/read/132556991/menguak-sisa-kerajaan-pananjung-kuasa-yang-hilang - di-pangandaran?page=all, waktu
akses 11/7/2024, 13:04 wib.
[2] Wawancara dengan Kang Yogi, Petugas
Penjaga Situs.
[3]
Dalam dua kali kunjungan, pada
kesempatan yang pertama saya melihat cukup banyak kijang dewasa dan anak-anak,
di sekitar lokasi pantai yang disebut pantai pasir putih. Pada kali kedua (Juli
2024) saya hanya melihat 2 ekor kijang jantan dewasa di sekitar lokasi pantai
yang sama.
[4] Afkar Aristoteles Mukhaer, Menguak Sisa-sisa Kerajaan Pananjung, Kuasa yang Hilang di Pangandaran, https://nationalgeographic.grid.id/read/132556991/menguak-sisa-kerajaan-pananjung-kuasa-yang-hilang - di-pangandaran?page=all, waktu akses 11/7/2024, 13:04 wib.
[5]
Wawancara dengan Kang Yogi, Petugas
Penjaga Situs.
[6]
Wahyu B. Prasojo, Sejarah
Penyebar Islam ke Galuh Ciamis, https://saungpikir.blogspot.com/2023/01/sejarah-penyebar-islam-ke-galuh-ciamis-1.html,
waktu akses 15 Juli 2024, pukul 14:11 wib.
[7]
Tim Nasional Penulisan Sejarah
Indonesia, 2019, Sejarah Nasional Indonesia, Jakarta; Balai Pustaka,
Jilid II, hlm.409.
[8] Tim Nasional Penulisan Sejarah
Indonesia, 2019, ibid, hlm.400.
[9] U. Runalan . S, Situs
Cagar Budaya Sanghyang Maharaja Cipta Permana Prabudigaluh Salawe Dusun Tunggal
Rahayu Desa Cimaragas Kecamatan Cimaragas Kabupaten Ciamis, Jurnal Artefak Vol. 3 No. 2 – Agustus
2015 [ISSN: 2355-5726], hlm.178.
[10]
Wawancara dengan Kang Yogi, Petugas
Penjaga Situs.
[11]
Wawancara dengan Kang Yogi, Petugas
penjaga Situs.

.jpeg)


.jpeg)