Situs Batu Kalde di Taman Nasional Pananjung Pangandaran - Saungpikir

Friday, July 19, 2024

Situs Batu Kalde di Taman Nasional Pananjung Pangandaran


 oleh wahyu bhekti prasojo

Terletak di Taman Nasional Pangandaran, Situs Batu Kalde terlihat cukup terawat. Meski belum dapat dibayangkan perkiraan bentuk bangunannya, situs ini disebut sebagai candi te
mpat peribadatan agama Hindu. Lingkungan di sekitarnya bersih dari sampah atau rontokan daun-daun dari pepohonan yang lebat lazimnya sebuah hutan taman nasional.

Sebuah arca menyerupai seekor hewan mamalia berkaki empat yang disebut batu kalde, menjadi nama bagi situs ini. Di samping itu beberapa batu yang terpahat terlihat menyebar tidak tertata juga mengisi kompleks situs. Beberapa batu berbentuk lingkaran tebal (umpak batu) ditengarai sebagai batu tempat memasang tiang-tiang bangunan rumah kayu. Beberapa batu yang nampak seperti pondasi bangunan atau dinding nampak berserakan. Selain itu di sisi sebelah barat terdapat juga 2 makam yang ditandai sebagai makam orang-orang pertama yang menganut agama Islam di wilayah Pangandaran.

Situs ini pertama kali dieskavasi pada 2016 dan 2017 oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Banten. Mereka memperkirakan situs tersebut adalah candi dengan luas 46 meter x 49,5 meter dengan denah persegi.[1] Sebagian besar dari candi itu masih terkubur di bawah tanah. Menurut Kang Yogi, petugas penjaga situs,  area keseluruhan situs mencapai luas 1 hektar, sebagian besarnya belum dieskavasi. Program eskavasi yang dilaksanakan terhenti karena pandemi corona covid 19 pada 2020. [2]

Asal-usul Nama Batu Kalde

Menurut Kang Yogi, ada beberapa versi asal muasal penamaan Batu Kalde yang berkembang, yaitu;

1.     Berasal dari nama hewan keledai

Versi pertama tentang asal muasal nama Batu Kalde menyebutkan bahwa nama tersebut berasal dari nama hewan keledai, yang mengalami perubahan bunyi dalam percakapan lisan masyarakat sekitar menjadi kalde.

2.     Dari nama hewan kijang

Versi lainnya tentang nama kalde adalah dari nama hewan kijang yang banyak hidup di dalam hutan.[3] Karena masyarakat tidak pernah melihat ada keledai atau ada tanda-tanda bekas kehidupan, seperti tulang belulang keledai di dalam hutan maupun lingkungan sekitar hutan.

3.     Dari nama hewan sapi

Versi ke tiga menyebutkan bahwa kalde adalah sebutan lain untuk lembu atau sapi dalam bahasa sansekerta. Nama ini dikaitkan dengan pandangan bahwa situs ini berasal dari zaman hindu-budha. Yang mana dalam tradisi masyarakat hindu ada kepercayaan tentang entitas Nandi, sapi atau lembu yang dihormati sebagai tunggangan Batara Wishnu.

Arca Batu Kalde adalah simbol lembu kendaraan Batara Wishnu yang dibangun untuk menghormati Patih Sapi Gumarang yang setia dan berjasa dalam memajukan pertanian dan perikanan di Kerajaan Pananjung.[4]

Peninggalan Masa Hindu Budha

Situs ini diperkirakan berasal dari masa Hindu-Budha. Yaitu antara tahun 800 – 1400 M.[5] Ini sesuai dengan pendapat Nina Herlina Lubis dan kawan-kawan, bahwa sampai abad ke 15 Raja-raja Galuh masih menganut agama Hindu.[6] Sementara dalam buku Sejarah Nasional Indonesia Jilid II, disebutkan bahwa kehidupan masyarakat di Kerajaan Sunda bercorak Hindu-Budha dalam kerajaan Sunda terjadi dalam rentang abad VII sampai abad XVI.[7] Sedangkan akhir pengaruh hindu Budha di Tatar Sunda ditandai dengan runtuhnya Kerajaan Sunda kira-kira pada 1579 Masehi.[8] Prabu Haur Kuning sendiri berkuasa di Galuh Pangauban pada rentang 1535-1580 Masehi.[9]

Batu Lingga Yoni

Tanda lainnya yang menunjukkan bahwa situs ini adalah peninggalan periode Hindu Budha adalah adanya batu lingga-yoni, selain arca batu kalde itu sendiri. Sayangnya, hanya terdapat batu lingga, tanpa yoni. Para arkeolog optimis bahwa batu yoni pasangan batu lingga tersebut masih terpendam di area situs.[10]

Umpak Batu

Di bagian timur situs terdapat batu-batu terpahat seperti reruntuhan bangunan. Kebanyakan dari batu-batu itu tidak dapat dipastikan bentuk awalnya. Sehingga tidak dapat dipastikan fungsi dan bagian apa dulu dalam keseluruhan bentuk bangunan.

Yang dapat dipastikan adalah batuan yang terpahat berbentuk lingkaran cukup tebal sekitar 50 cm, yang disebut umpak. Yaitu batu tempat meletakkan ting-tiang utama bangunan rumah kayu. Terlihat ada 6 batu umpak tersebar di area yang dipagari bambu. Diperkirakan seluruhnya ada 12 umpak di sekitar situs, dengan enam yang belum ditemukan. Jika benar bahwa batu-batu itu adalah umpak tempat meletakkan kayu tiang bangunan, maka kemungkinan besar bangunan tersebut adalah bangunan profan, yaitu bangunan yang digunakan untuk keperluan hidup keseharian, bukan bangunan candi. Karena candi biasanya berbahan batu. Kalaupun ada kaitannya dengan candi, mungkin tempat tinggal para bhiksu.



Petilasan Tokoh Islam

Di bagian paling barat terletak susunan batu menyerupai bentuk makam yang ditandai sebagai makam orang-orang pertama yang menganut agama Islam di Pangandaran. Mereka adalah Kyai Terong Peot dan Kyai Nurbait. Tetapi kedua makam itu bukanlah makam yang sebenarnya. Hanya simbol untuk menandai masuknya Islam di wilayah ini.[11]

Semoga eskavasi situs batu kalde ini dapat dilanjutkan sehingga dapat merekonstruksi sejarahnya dengan lebih lengkap. Akan sangat berguna bagi penguatan jati diri bangsa, juga sebagai usaha pengembangan pariwisata sejarah dan budaya.



[1] Afkar Aristoteles Mukhaer, Menguak Sisa-sisa Kerajaan Pananjung, Kuasa yang Hilang di Pangandaran,  https://nationalgeographic.grid.id/read/132556991/menguak-sisa-kerajaan-pananjung-kuasa-yang-hilang - di-pangandaran?page=all, waktu akses 11/7/2024, 13:04 wib.

[2] Wawancara dengan Kang Yogi, Petugas Penjaga Situs.

[3] Dalam dua kali kunjungan, pada kesempatan yang pertama saya melihat cukup banyak kijang dewasa dan anak-anak, di sekitar lokasi pantai yang disebut pantai pasir putih. Pada kali kedua (Juli 2024) saya hanya melihat 2 ekor kijang jantan dewasa di sekitar lokasi pantai yang sama.

[4] Afkar Aristoteles Mukhaer, Menguak Sisa-sisa Kerajaan Pananjung, Kuasa yang Hilang di Pangandaran,  https://nationalgeographic.grid.id/read/132556991/menguak-sisa-kerajaan-pananjung-kuasa-yang-hilang - di-pangandaran?page=all, waktu akses 11/7/2024, 13:04 wib.

[5] Wawancara dengan Kang Yogi, Petugas Penjaga Situs.

[6] Wahyu B. Prasojo, Sejarah Penyebar Islam ke Galuh Ciamis, https://saungpikir.blogspot.com/2023/01/sejarah-penyebar-islam-ke-galuh-ciamis-1.html, waktu akses 15 Juli 2024, pukul 14:11 wib.

[7] Tim Nasional Penulisan Sejarah Indonesia, 2019, Sejarah Nasional Indonesia, Jakarta; Balai Pustaka, Jilid II, hlm.409.

[8] Tim Nasional Penulisan Sejarah Indonesia, 2019, ibid, hlm.400.

[9] U. Runalan . S, Situs Cagar Budaya Sanghyang Maharaja Cipta Permana Prabudigaluh Salawe Dusun Tunggal Rahayu Desa Cimaragas Kecamatan Cimaragas Kabupaten Ciamis, Jurnal Artefak Vol. 3 No. 2 – Agustus 2015 [ISSN: 2355-5726], hlm.178.

[10] Wawancara dengan Kang Yogi, Petugas Penjaga Situs.

[11] Wawancara dengan Kang Yogi, Petugas penjaga Situs.

Comments


EmoticonEmoticon