Saungpikir

Saturday, September 27, 2025

Sifat-sifat dan Karakter Rasulullah saw




oleh Wahyu B Prasojo

            Nabi Muhammad SAW adalah teladan sempurna bagi umat manusia, yang tidak hanya dikenal sebagai utusan Allah, tetapi juga sebagai pribadi dengan akhlak mulia yang menjadi panutan sepanjang zaman. Sifat dan karakternya yang luhur, seperti kejujuran, kesabaran, kasih sayang, dan keteguhan dalam menyampaikan risalah, telah menginspirasi miliaran umat Islam di seluruh dunia. Artikel ini akan mengupas berbagai sifat dan karakter Nabi Muhammad SAW yang mencerminkan keunggulan moral dan spiritual, serta bagaimana nilai-nilai tersebut tetap relevan sebagai pedoman hidup hingga kini.

1. Sifat-sifat Wajib Bagi Para Nabi

Sebagai Nabi utusan Allah ia memilki sifat-sifat yang wajib bagi para Rasul. Yaitu:

Sidiq (benar)

Muhammad mempunyai sifat siddiq, yaitu jujur menyatakan mana yang benar dan mana yang salah. Sifat siddiq berarti mengikuti dan menetapi kebenaran. Tidak mengikuti hawa nafsunya sehingga menjauhkan diri dari kebenaran.

وَٱلَّذِي جَآءَ بِٱلصِّدۡقِ وَصَدَّقَ بِهِۦٓ أُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُتَّقُونَ ٣٣

Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa (Az Zumar 33)

وَمَا يَنطِقُ عَنِ ٱلۡهَوَىٰٓ ٣  إِنۡ هُوَ إِلَّا وَحۡيٞ يُوحَىٰ ٤

3. dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya

4. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya) (An Najm 3 & 4)

            Dia tidak pernah berdusta, karena itu akan menghilangkan kepercayaan orang kepada kata-katanya. Sehingga tidak mau membenarkan dan mengikuti ajarannya. Kaisar Heraklius pernah bertanya kepada abu Sufyan ketika ia masih musyrik, “Sebelum ia membawa seruan ini, pernahkah kamu ketahui ia sebagai seorang pembohong? Abu Sufyan menjawab, “Sekalipun tidak”. Heraklius menyimpulkan, “Kalau orang tidak berani berdusta dalam urusan dengan manusia, dia pasti lebih takut untuk berdusta dalam urusannya dengan Tuhan.”

Amanah (dapat dipercaya)

Amanah secara umum berarti bertanggungjawab terhadap tugas yang dipikulkan di pundaknya. Selalu sama antara kata dan perbuatan, selalu menepati janji, melaksanakan perintah, menunaikan keadilan, memberikan hukum yang sesuai dan dapat menjalankan sesuatu yang disepakatinya. Muhammad terkenal dengan dua sifat ini di kalangan masyarakat Quraisy. Mereka menjulukinya As Sadiq Al Amin, yang benar lagi terpercaya.

إِنَّ ٱللَّهَ يَأۡمُرُكُمۡ أَن تُؤَدُّواْ ٱلۡأَمَٰنَٰتِ إِلَىٰٓ أَهۡلِهَا وَإِذَا حَكَمۡتُم بَيۡنَ ٱلنَّاسِ أَن تَحۡكُمُواْ بِٱلۡعَدۡلِۚ إِنَّ ٱللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم بِهِۦٓۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ سَمِيعَۢا بَصِيرٗا ٥٨

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat (An Nisaa :58)

 

Tabligh (menyampaikan)

Sebagaimana lazimnya tugas para Nabi, Muhammad menyampaikan apa saja yang datang dari Tuhannya kepada ummatnya. Tidak ada bujukan dan rayuan bahkan ancaman yang dapat membuatnya menahan dan menyembunyikannya. Meski itu berlawanan dengan hawa nafsu dan keinginan manusia, tetap ia sampaikan. Sehingga tak jarang ia dimusuhi karenanya.

يَٰٓأَيُّهَا ٱلرَّسُولُ بَلِّغۡ مَآ أُنزِلَ إِلَيۡكَ مِن رَّبِّكَۖ وَإِن لَّمۡ تَفۡعَلۡ فَمَا بَلَّغۡتَ رِسَالَتَهُۥۚ وَٱللَّهُ يَعۡصِمُكَ مِنَ ٱلنَّاسِۗ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَهۡدِي ٱلۡقَوۡمَ ٱلۡكَٰفِرِينَ ٦٧

Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang ingkar. (Al Maidah 67)

Fatanah (cerdas)

Meskipun ia seorang ummi (tidak pandai membaca dan menulis), namun akalnya sangat cerdas, pendapatnya sangat jitu, wajahnya berseri, lebih suka diam dari pada berbicara dan pandai bergaul.[1] Thomas Carlyle menyebutnya “tahu hakikat segala sesuatu, bukan sebatas kulitnya saja.”[2] Kecerdasan Muhammad dapat dilihat bagaimana ia merencanakan, mengorganisasi, melaksanakan dan mengendalikan gerakan perubahan sosialnya.[3] Hamka juga mengartikan fathanah sebagai bijaksana dan dapat mengatur kekuatan kaumnya. [4]

2. Keunggulan Kualitas Pribadi

            Nabi Muhammad memiliki kepribadian unggul dan sempurna dalam segala segi, fisik, akal, budi pekerti dan adab sopan santun.[5] Ia adalah manusia yang paling tinggi mutunya.[6] Beberapa sifat dan karakter kepemimpinan yang penting pada diri Nabi Muhammad antara lain;

Tidak mementingkan dunia

            Dia tidak peduli pada dunia yang hanya sementara. Meski pintu-pintu kekayaan dunia di timur dan di barat sudah berada di tanganya. Hidupnya sangat sederhana. Makanannya hanya sekedar mengenyangkan perutnya, pakaiannya hanya sekedar yang perlu dipakainya. Peninggalannya ketika wafat hanya sebilah pedang, seekor kuda tunggangan dan tanah yang disedekahkan.[7]

            Jurji Zaidan menuliskan bahwa sebagian penulis sejarah menuduh bahwa Muhammad menyiarkan agama karena menginginkan kebesaran dan kemegahan dunia. Padahal sejarah hidup Muhammad itu cukup jelas untuk menunjukkan bahwa ia bekerja dengan ikhlash. Sekiranya ada motivasi yag seperti dituduhkan itu, tentu ia tidak akan kuat menerima siksaan orang-orang yang menolaknya.[8]

Thomas Carlyle menjelaskan ketulusan hati dari orang yang agung adalah sesuatu yang tidak bisa diungkapkan. Bahkan saya pikir orang itu sendiri tidak sadar akan ketulusan hatinya. Untuk apa seseorang berlaku benar hanya untuk satu hari? Tidak, orang yang besar tidak akan menyombongkan ketulusan hatinya sendiri.[9] Jiwa yang besar yang pendiam: adalah orang yang walaupun tidak bisa, ia akan bersungguh-sungguh karena sifat dasarnya membawa dia untuk berlaku sungguh-sungguh. Sewaktu orang lain berpura-pura seolah-olah bersungguh-sungguh, laki-laki ini tidak bisa berbuat demikian dan dia sendirian dengan jiwanya dan kenyataan terhadap apa yang terjadi ... Kesungguhan telah ada dalam kebenaran tuhan. Kata-kata dari laki-laki ini adalah suara hatinya langsung tanpa berpura-pura. Orang-orang harus mendengarkan apa yang dikatakannya daripada mendengarkan yang lain. Yang lain adalah bagaikan angin lalu.[10]

Ambisi? Apa yang dilakukan oleh seluruh orang Arab pada laki-laki ini. Dengan mahkota kerajaan Heraclius, Persia dan semua mahkota di dunia Apa yang bisa mereka lakukan padanya? Itu bukanlah tentang surga di atas dan neraka di bawah. Menjadi kepala suku di Makkah atau Arab, dan mempunyai sebidang tanah- akankah itu menjadi keselamatan bagi seseorang? Saya pikir tidak. Kita akan meninggalkan semuanya. Semua kekayaan dan keberuntungan, semua akan kita tinggalkan juga."[11]

Kesetiaan dan Kebaikan Hati

Seorang laki-laki yang jujur dan setia. Jujur dalam perbuatan, perkataan dan pemikirannya. Mereka mencatat bahwa beliau selalu bersungguh-sungguh terhadap segala sesuatu. Seorang laki-laki yang pendiam. Diam apabila tidak ada yang harus dikatakan, tetapi selalu bijak dan tulus apabila berbicara. Selalu menerangi setiap persoalan. Ini adalah bagian dari apa yang disebut perkataan yang bernilai.[12]

Ini adalah tentang kebaikan hati yang tiada batasnya beliau tidak pernah lupa pada istri pertamanya Khadijah. Lama setelah Khadijah meninggal, Aisyah merupakan istri muda beliau yang tersayang, wanita yang berbeda dengan wanita-wanita lain karena budi pekertinya yang luhur. Pada suatu hari, Aisyah yang pandai ini mengajukan pertanyaan pada beliau, "Sekarang, apakah saya lebih baik daripada Khadijah? Dia adalah janda, tua dan sudah tidak begitu cantik. Kamu lebih mencintaiku dibandingkan Khadijah, bukan?"--"Tidak, demi Allah!", jawab Rasulullah. "Demi Allah, tidak! Dia mempercayaiku sewaktu orang-orang di dunia ini menjauhiku, hanya dialah teman baikku!"[13]

Tidaklah mudah menolak godaan syetan untuk mengalahkan ego dari istrinya yang masih muda, cantik dan pandai, Aisyah binti Abu Bakar Shiddiq. Mengapa tidak membiarkannya mendengar sanjungan yang menyenangkan dirinya. Bahkan Khadijah-pun sudah tidak ada lagi sehingga tidak mungkin sakit hati. Akan tetapi Rasulullah tidak mau berbohong. Perlakuan seperti itu menunjukkan kepada kita bahwa beliau adalah orang yang mulia, yang tetap tercatat sejak 40 abad yang lalu.

Keindahan Akhlaq

Ia tidak suka dipuji, baik pujian pada tempatnya, apalagi bukan pada tempatnya. Dua orang penyanyi mendendangkan lagu menyebut-nyebut syuhada perang badar. Ketika mereka bersyair, “Ada Nabi di sisi kami mengetahui yang terjadi esok”, Nabi menegur mereka: “Yang demikian jangan diucapkan.”

Keramahan dan kasih sayangnya mencakup segala orang. “Kasihanilah petinggi satu kaum yang jatuh hina,” demikian sabdanya. Ketika seseorang begitu takut dan gemetar menghadapnya, ia menenangkan orang itu sambil mengingat jasa ibunya: “Aku tidak lain adalah anak seorang wanita suku Quraisy yang memakan dendeng.”

Sebagai penghormatan kepada orang lain, ia mengulurkan tangan terlebih dahulu untuk bersalaman. Ia menoleh dengan seluruh badannya, jika dipanggil orang. Ia menunjuk dengan seluruh jarinya, dan tidak terlihat meluruskan kaki sambil duduk di tengah sahabatnya. Ia memanggil mereka dengan panggilan mesra atau panggilan penghormatan, yakni dengan kunyah (nama panggilan yang didahului oleh “Abu” atau “Ummu”).

Kemurahan dan kerendahan hati Nabi saw sangat menonjol. Tidak pernah ada orang yang datang kepadanya meminta pertolongan pulang dengan tangan kosong. Jika ia sedang tidak punya sesuatu untuk diberikan, ia berjanji akan memberikannya ketika ia sudah punya sesuatu yang dibutuhkan, dan pasti ditepatinya janjinya itu.

Daftar Pustaka

Abduh, Muhammad, 1995, Risalah Tauhid, alih Bahasa Firdaus AN, Bulan Bintang, Jakarta.

Arnold, Thomas W, tt, The Preaching of Islam, (terj. Nawawi Rambe) Jakarta: Widjaya.

Carlyle, Thomas, Heroes and Heroes Whorshipers, Kuliah Umum Pada tanggal 8 Mei 1840. 

Hamka, 1997, Sejarah Ummat Islam, Pustaka Nasional PTE LTD, Singapura,.

_______, tt, Pelajaran Agama Islam, Bulan Bintang, Jakarta.



[1] Hamka, 1997, Sejarah Ummat Islam, Pustaka Nasional PTE LTD, Singapura, hal.134.

[2] Hamka, 1997, ibid, hal.137.

[3] Thomas Arnold, tt, The Preaching of Islam, (terj. Nawawi Rambe) Jakarta: Widjaya.hal.29.

[4] Hamka, 1986, Pelajaran Agama Islam, Bulan Bintang, Jakarta, hal.189.

[5] Muhammad Abduh, 1995, Risalah Tauhid, alih Bahasa Firdaus AN, Bulan Bintang, Jakarta, hal.113.

[6] Muhammad Abduh, ibid, hal.113.

[7] Hamka, op.cit, hal.115.

[8] Hamka,1997, ibid, hal.135.

[9] Thomas Carlyle, Heroes and Heroes Whorshipers, Kuliah Umum Pada tanggal 8 Mei 1840, hal.59. 

[10] Thomas Carlyle, ibid, hal.71.

[11] Thomas Carlyle, ibid, hal.61.

[12] Thomas Carlyle, ibid, hal.69.

[13] Thomas Carlyle, ibid, hal.76. 

Sunday, March 9, 2025

Padahal sudah Aku Discount...

 



Di desanya, memasuki bulan Ramadhan, orang-orang biasanya suka bertanya kepada Nashrudin tentang hitungan waktu berpuasa dan shalat Iedul Fithri. Belajar dari pengalaman, agar tidak kehilangan hitungan, ia kemudian mempersiapkan sebuah pot bunga baru, lalu disimpannya dalam kamarnya.

“Jika aku memasukkan 1 batu setiap hari, aku tidak perlu mengingat sudah berapa hari kami berpuasa.”, katanya dalam hati.

Maka setiap sore sepulang dari pekerjaannya ia memasukkan sebuah batu ke dalam pot bunganya tersebut.

Tanpa disadarinya, anak perempuan kecilnya memperhatikan perbuatannya. Anak itu berfikir, “Kasihan Ayah, mungkin ia beliau sangat letih. Sehingga hanya mampu memasukkan satu batu saja sehari. Sebaikanya aku membantunya.”

Singkat cerita, menjelang akhir Ramadhan, orang-orang pun berdatangan ke rumah Nashrudin dan bertanya tentang hitungan puasa mereka.

“Sebentar ya, aku lihat dulu hitungannya.” Nashrudin lalu masuk kekamar dan menghitung batu di dalam pot bunga. Betapa terkejutnya ia menemukan batu yang terkumpul berjumlah 130 buah. Ia pun panik.

“Waduh! Jika kuberitahu bahwa mereka sudah berpuasa selama 130 hari pasti mereka marah. Sebaiknya aku beritahu setengahnya saja.”, pikirnya.

Lalu ia keluar menemui orang-orang dan berkata, “Alhamdulillah kawan-kawan, kita semua sudah berpuasa selama 65 hari.”

Mendengar jawaban Nashrudin orang-orang pun marah. “Wah, hitungan kamu ngawur nashrudin! Masa’ kita puasa sampai 65 hari?”. Sergah mereka beramai-ramai.

Nashrudin lalu menjawab mereka, “Lho kalian ini bagaimana, padahal itu sudah saya discount. Memangnya kalian mau berpuasa sampai 130 hari?”.

Friday, September 27, 2024

Mengapa Islam Turun di Jazirah Arab?

 

oleh Wahyu Bhekti Prasojo


Agama, Peradaban dan Politik

Sejak ribuan tahun, bangsa-bangsa membangun peradaban dengan segala aspeknya, mulai ilmu pengetahuan, teknologi, pertanian, perdagangan, militer dan lain sebagainya  dengan  bersumber  dari  agama.[1]  Meskipun  agama  yang  menjadi  sumber peradaban itu berbeda-beda.

Pada lingkungan masyarakat yang menyandarkan peradabannya kepada sumber agama seperti itulah, para Rasul yang membawa agama-agama dilahirkan. Di Mesir, Nabi Musa dilahirkan dan dibesarkan dalam asuhan Fir’aun. Setelah menghadapi tentangan bangsa Mesir terhadap dakwahnya, beliau lalu hijrah ke Palestina.

Di Palestina, Nabi Isa dilahirkan. Murid-muridnya kemudian menyebarkan ajarannya sehingga mereka mengalami banyak penganiayaan. Namun kemudian agama Kristen  menyebar  luas  di  tangan  bangsa  Romawi, sehingga sebagian  besar  wilayah kekuasaannya menganutnya. Di wilayah Timur Tengah daerah daerah seperti Suriah, Libanon dan Palestina juga menganut Kristen. Dari Mesir, Kristen lalu menyebar ke Sudan dan Ethiopia di arah selatan. Sementara itu, di Persia, ada agama Majusi juga mendapat pengikut yang luas hingga Timur Jauh dan India.

Selama  berabad-abad Barat  dan  Timur  saling menghormati keyakinan agama masing-masing. Peradaban Asyiria dan Mesir Kuno yang membentang sepanjang Funisia telah menghalangi perbenturan di antara peradaban-peradaban yang tumbuh di kedua sisinya. Sampai ketika Mesir dikuasai Romawi, terbukalah penghalang itu karena sifat Romawi yang ekspansif. Dengan dikuasainya Mesir, mereka langsung berbatasan dengan

Persia di Timur.[2]

Secara  geopolitis kondisi ini  menempatkan Jazirah Arab di  tengah kekuatan- kekuatan politik besar dunia yang merupakan pesaing bagi hegemoni Islam di masa datang. Pada awal abad ke enam itu, kedua kekuatan itu telah mulai berbenturan, melalui konflik-konflik di antara beberapa negara kecil di wilayah Jazirah Arab yang menjadi vasal kedua negara besar itu.[3]

Dalam pertarungan yang panjang, Persia nampak unggul pada awalnya. Motifnya politik dan ekonomi. Orang-orang Persia tidak berminat mengajarkan agamanya kepada orang-orang Romawi. Mereka tetap pada keyakinan mereka masing-masing, begitu pula ketika pada akhirnya Romawi memenangi persaingan itu. Namun demikian persaingan yang panjang itu telah membawa kedua negara kepada keruntuhan masing-masing. Romawi   kemudian   kalah   bersaing   dengan   Bizantium   yang   sama-sama   Kristen. Sedangkan Persia mengalami kemunduran karena sebab-sebab internal sampai kemudian -nantinya- ditaklukkan Islam.

 

Lalu-lintas Perdagangan

Secara geografis letak semenanjung Arab strategis.[4] Ia berada diantara benua Asia dan Afrika, seolah-olah berada di pusat dunia. Munawar Kholil menyebutnya seperti Hati Bumi (dunia).[5] Ia diapit oleh wilayah-wilayah berpenduduk ramai di utara, barat dan timur. Sedangkan di selatan adalah laut. Situasi ini sekaligus menempatkan Jazirah Arab pada jalur perdagangan antar bangsa. Mereka yang datang dari barat (afrika terutama bagian utara), barat laut dan utara (eropa) lewat darat (jalur sutra atau silk road) bertemu dengan yang dari timur (india dan tiongkok) dan dari selatan (asia tenggara) melalui jalur pelayaran  (sea  road)[6]  di  jazirah  arab  yaitu  di  pelabuhan-pelabuhan Yaman.  Jalur perdagangan laut ini telah dilalui pedagang internasional selama berabad-abad, dalam berbagai  periode.[7]   Mekkah,  yang  dilewati  jalur  ini  juga  tumbuh  menjadi  kota perdagangan internasional. Para  pedagang dan  pemodalnya telah  menjadi  kaya  raya melebihi harapan mereka sendiri.[8] Jalur ini melewati pasar-pasar antara lain;

Fumatul Jandal di ujung utara Hijaz dekat perbatasan Syiria, Mushshaqar di Bahrain, Suhar di Oman, Dabba salah satu pelabuhan Oman, Maharah di antara Aden dan Oman, Aden, Sana, Rabyah di Hadramaut, Ukaz di ujung Nejd dekat Thaif, Dzul Majaz dekat Thaif, Mina, Nazat dekat Khaybar, Hijr di Yamamah dan Bashrah di Syiria.[9]

 

Pada awalnya, orang-orang Arab hanya memanfaatkan jalur ini untuk kepentingan ekonomi semata. Baru kemudian setelah Muhammad memulai misi kenabiannya, berita tumbuh dan berkembangnya Islam yang terjadi di sana dapat dengan cepat tersebar dan diketahui orang banyak.[10]

 

Bahasa, Budaya dan Karakter Bangsa Arab

  Abu Hasan Ali An Nadawi menyebutkan adanya faktor kelebihan karakteristik bangsa Arab yang membuat mereka pantas menyandang tugas memperbarui peradaban manusia. Yaitu; hati mereka bersih, kebanyakan mereka memiliki kemauan yang kuat, suka berterus terang dan to the point, mereka menghormati kejujuran, kuat menjaga amanah dan berani serta mereka itu pada umumnya berjiwa bebas dan egaliter.[11] Mereka juga pada umumnya dermawan, menjaga harga diri, santun dan bersahaja.[12] Karakter semacam  ini,  menurut    Mubarakfury disebabkan  karena  belum  adanya  agama  atau peradaban besar yang mempengaruhi  pola fi
kir
bangsa Arab ketika itu.[13] Ramadhan Al Buthi menjelaskan hal ini membuat pola fikir bangsa Arab pada umumnya ummy, maksudnya bersih dari ideology-ideologi.[14] Kondisi masyarakat yang seperti ini lebih cocok untuk menyemaikan suatu ajaran baru karena hati dan jiwa yang masih bersih (kosong) cenderung lebih mudah menerima suatu pengetahuan ketimbang hati dan jiwa yang sudah terisi pengetahuan sebelumnya.

Juga  karena  kondisi  jazirah  yang  kering  dan  berbukit-bukit  seolah  menjadi benteng alam yang melindungi penduduknya dari kemungkinan ekspansi bangsa-bangsa lain. Kondisi alam yang kering dan keras melahirkan jiwa-jiwa bebas dan pemberani.[15] Karakter ini bersama karakter-karakter yang disebutkan Syaikh An Nadawi sebelumnya terbukti sangat dibutuhkan bagi perjuangan menyebarkan Islam di kemudian hari.

Karakter dan budaya ini mempengaruhi pembentukan bahasa yang digunakan masyarakat. Bahasa Arab adalah bahasa yang tumbuh dan berkembang mengikuti sifat dan karakter bangsa Arab yang terbuka. Ia tidak banyak mengandung kiasan-kiasan. Idiom-idiomnya menjelaskan maksud dan arti kata sebagaimana adanya, tidak ada sayap- sayap. Bahasa Arab juga adalah bahasa yang sangat detail membedakan suatu hakikat dengan hakikat yang lainnya. Karakter bahasa seperti ini juga sangat baik untuk menjelaskan maksud dari pernyataan-pernyataan. Karakter bahasa semacam inilah yang sesuai untuk menjelaskan hakikat, maksud dan tujuan-tujuan Islam dengan benar dan jelas.

 

Tradisi Monotheisme

Sejak beratus-ratus tahun yang lalu, Jazirah Arab adalah salah satu tempat diturunkannya para Nabi untuk mengajarkan kepada manusia tentang keEsaan Tuhan (tauhid). Nabi Hud diutus kepada kaum Aad, di suatu wilayah bernama Ahqaf, yang terletak antara Yaman dan Oman.[16]

Nabi Saleh dikirim kepada kaum Tsamud yang mendiami sebuah wilayah antara Hijaz dan Syam yang disebut Hijr.  Lokasi tempat tinggal Kaum Tsamud dapat diketahui dari hadits Nabi Muhammad SAW ketika Perang Tabuk tahun 630 M. Tabuk saat ini provinsi di  utara Arab Saudi. Tabuk berbatasan dengan  Provinsi Madinah di  selatan. Dalam Perang Tabuk, pasukan Rasulullah melintasi Al-Hijr sekitar 400 kilometer dari Madinah dan 500 kilometer dari Petra di Yordania.[17] Al Hijr disebut juga oleh orang-orang Arab dengan Madain Saleh (Kota Nabi Saleh).[18]

Nabi Hud berdakwah sampai akhir hayatnya dan dimakamkan di Hadramaut. Sedangkan Nabi Saleh pasca kaumnya diazab, hijrah ke Ramallah Palestina bersama 120 pengikutnya. Sebagian riwayat menyebutkan beliau hijrah ke Mekkah sampai wafatnya dan di makamkan di sana.[19]

Kemudian Nabi Ibrahim mengajarkan tauhid dan membangun peradaban di Mekkah. Sepeninggal beliau,  Nabi  Ismail  melanjutkan dakwahnya sampai ajarannya dianut penduduk Jazirah Arab dan sekitanya. Kebanyakan orang Arab pada masa-masa menjelang turunnya Islam mengklaim bahwa mereka mengikuti millah (agama) Nabi Ibrahim. Mereka menjalankan beberapa ritual peninggalan Nabi Ibrahim seperti Haji dan Qurban.

Di Mekkah pula, untuk keperluan peribadatan monotheistik itu, Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail membangun Ka’bah. Al Quran menceritakan tentang hal itu.

 

وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَاهِيمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَإِسْمَاعِيلُ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

 

Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): "Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Al Baqarah127)

 

At  Thabary  menjelaskan  bahwa  Ibrahim  membangun  pondasi  Kabah  yang sebelumnya dibangun oleh Nabi Adam.[20]

 

إِنَّ أَوَّلَ بَيْتٍ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِي بِبَكَّةَ مُبَارَكًا وَهُدًى لِلْعَالَمِينَ

Sesungguhnya rumah  yang  mula-mula dibangun untuk  (tempat beribadah) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia.(Ali Imran 96)

 

Dzahir ayat ini menjelaskan bahwa Ka’bah adalah bangunan pertama yang khusus dibangun untuk menyembah Allah. Jadi Kabah adalah symbol Tauhid yang akan memudahkan manusia mengingat kembali agama yang telah diajarkanNya melalui para nabi yang diutusNya. Sangat lazim jika tempat dimana bermulanya risalah tauhid diajarkan, juga menjadi tempat penutup dan penyempurna risalah tauhid itu.

Daftar Pustaka

Akbar, Ali Arkeologi Al Quran, Lembaga Kajian dan Peminatan Sejarah, Depok, 2020.

Armstrong, Karen, Muhammad, Prophet of Our Time, terjemahan, Bandung, Mizan, 2013.

Fauzia, Ika Yunia & Abdul Kadir Riyadi, Prinsip Dasar Ekonomi Islam, Perspektif Maqashid Syari’ah, Jakarta, Kencana Prenada Media, 2014

Haekal, Muhammad  Husain, Sejarah  Hidup  Muhammad,  terjemahan,  Pustaka  Akhlaq, Indonesia, 2015.

Kholil, Munawar,    Kelengkapan  Tarikh  Nabi  Muhammad  saw,  Jakarta,  Gema  Insani Press,2001.

al Mubarakfury, Shafiyurrahman, Ar Rahiq Al Maktum, terjemahan, Jakarta, Robbani Press, 2002.

Al Nadawy, Abu Hasan Ali Sirah Nabawiyah, Jeddah, Darusy Syuruq, 1979.

Souyb, Yousuf Orientalisme dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1985.

Al Thabary, Abu Jafar, Jami’ul Bayan fii Ta’wil Al Quran, Muasasah Ar Risalah, 2000.

Van Leur, J.C., Perdagangan dan Masyarakat Indonesia, terjemahan, Yogyakarta, Penerbit Ombak, 2015.



[1] Muhammad  Husain  Haekal,  Sejarah  Hidup  Muhammad,  terjemahan,  Pustaka  Akhlaq, Indonesia, 2015, hlm.56.

[2] Haekal, ibid,hlm.58.

[3] Haikal, ibid, hlm.62

[4] Shafiyurrahman Al Mubarakfury, Ar Rahiq Al Maktum, terjemahan, Jakarta, Robbani Press, 2002, hlm.1.

[5] Munawar  Kholil,  Kelengkapan  Tarikh  Nabi  Muhammad  saw,  Jakarta,  Gema  Insani

Press,2001, Jilid 1, hlm.13.

[6] Yousuf Souyb, Orientalisme dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1985, hlm.56.

[7] J.C. Van Leur, Perdagangan dan Masyarakat Indonesia, terjemahan, Yogyakarta, Penerbit

Ombak, 2015, hlm.5.

[8] Karen Amstrong, Muhammad, Prophet of Our Time, terjemahan, Bandung, Mizan, 2013, hlm. 42.

[9] Ika Yunia Fauzia & Abdul Kadir Riyadi, Prinsip Dasar Ekonomi Islam, Perspektif Maqashid Syari’ah, Jakarta, Kencana Prenada Media, 2014, hlm. 198-199.

[10] Haikal, op.cit, hlm.66.

 

[11] Abu Hasan Ali An Nadawy, Sirah Nabawiyah, Jeddah, Darusy Syuruq, 1979, hlm.36

[12] Al Mubarakfury, op.cit, hlm. 45.

[13] Al Mubarakfury, ibid, hlm. 45.

[14] Ramadhan Al Buthy, op.cit, hlm.6

[15] Al Mubarakfury, loc.cit, hlm.1.

[16] Munawar Kholil, op.cit, hlm 20

[17] Ali Akbar, Arkeologi Al Quran, Lembaga Kajian dan Peminatan Sejarah, Depok, 2020, hlm.137.

[18] Ali Akbar, ibid,hlm.138.

[19] Munawar Kholil, op.cit, hlm 21.

[20] Abu Jafar, Jami’ul Bayan fii Ta’wil Al Quran, Muasasah Ar Risalah, 2000, Juz 3, hlm.57.