Sifat-sifat dan Karakter Rasulullah saw
Nabi
Muhammad SAW adalah teladan sempurna bagi umat manusia, yang tidak hanya
dikenal sebagai utusan Allah, tetapi juga sebagai pribadi dengan akhlak mulia
yang menjadi panutan sepanjang zaman. Sifat dan karakternya yang luhur, seperti
kejujuran, kesabaran, kasih sayang, dan keteguhan dalam menyampaikan risalah,
telah menginspirasi miliaran umat Islam di seluruh dunia. Artikel ini akan
mengupas berbagai sifat dan karakter Nabi Muhammad SAW yang mencerminkan
keunggulan moral dan spiritual, serta bagaimana nilai-nilai tersebut tetap
relevan sebagai pedoman hidup hingga kini.
1. Sifat-sifat Wajib Bagi Para Nabi
Sebagai Nabi utusan Allah ia memilki
sifat-sifat yang wajib bagi para Rasul. Yaitu:
Sidiq
(benar)
Muhammad mempunyai sifat siddiq, yaitu jujur menyatakan mana
yang benar dan mana yang salah. Sifat siddiq berarti mengikuti dan menetapi
kebenaran. Tidak mengikuti hawa nafsunya sehingga menjauhkan diri dari
kebenaran.
وَٱلَّذِي جَآءَ بِٱلصِّدۡقِ
وَصَدَّقَ بِهِۦٓ أُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُتَّقُونَ ٣٣
Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan
membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa (Az
Zumar 33)
وَمَا يَنطِقُ عَنِ ٱلۡهَوَىٰٓ ٣ إِنۡ هُوَ إِلَّا وَحۡيٞ
يُوحَىٰ ٤
3.
dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya
4. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan
(kepadanya) (An Najm 3 & 4)
Dia tidak
pernah berdusta, karena itu akan menghilangkan kepercayaan orang kepada
kata-katanya. Sehingga tidak mau membenarkan dan mengikuti ajarannya. Kaisar
Heraklius pernah bertanya kepada abu Sufyan ketika ia masih musyrik, “Sebelum
ia membawa seruan ini, pernahkah kamu ketahui ia sebagai seorang pembohong? Abu
Sufyan menjawab, “Sekalipun tidak”. Heraklius menyimpulkan, “Kalau orang tidak
berani berdusta dalam urusan dengan manusia, dia pasti lebih takut untuk
berdusta dalam urusannya dengan Tuhan.”
Amanah
(dapat dipercaya)
Amanah secara umum berarti
bertanggungjawab terhadap tugas yang dipikulkan di pundaknya. Selalu sama
antara kata dan perbuatan, selalu menepati janji, melaksanakan perintah,
menunaikan keadilan, memberikan hukum yang sesuai dan dapat menjalankan sesuatu
yang disepakatinya. Muhammad terkenal dengan dua sifat ini di kalangan
masyarakat Quraisy. Mereka menjulukinya As Sadiq Al Amin, yang benar lagi
terpercaya.
إِنَّ ٱللَّهَ
يَأۡمُرُكُمۡ أَن تُؤَدُّواْ ٱلۡأَمَٰنَٰتِ إِلَىٰٓ أَهۡلِهَا وَإِذَا حَكَمۡتُم
بَيۡنَ ٱلنَّاسِ أَن تَحۡكُمُواْ بِٱلۡعَدۡلِۚ إِنَّ ٱللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم
بِهِۦٓۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ سَمِيعَۢا بَصِيرٗا ٥٨
Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan
(menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha
Melihat (An Nisaa :58)
Tabligh
(menyampaikan)
Sebagaimana
lazimnya tugas para Nabi, Muhammad menyampaikan apa saja yang datang dari
Tuhannya kepada ummatnya. Tidak ada bujukan dan rayuan bahkan ancaman yang
dapat membuatnya menahan dan menyembunyikannya. Meski itu berlawanan dengan
hawa nafsu dan keinginan manusia, tetap ia sampaikan. Sehingga tak jarang ia dimusuhi
karenanya.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلرَّسُولُ
بَلِّغۡ مَآ أُنزِلَ إِلَيۡكَ مِن رَّبِّكَۖ وَإِن لَّمۡ تَفۡعَلۡ فَمَا
بَلَّغۡتَ رِسَالَتَهُۥۚ وَٱللَّهُ يَعۡصِمُكَ مِنَ ٱلنَّاسِۗ إِنَّ ٱللَّهَ لَا
يَهۡدِي ٱلۡقَوۡمَ ٱلۡكَٰفِرِينَ ٦٧
Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari
Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti)
kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan)
manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang ingkar.
(Al Maidah 67)
Fatanah
(cerdas)
Meskipun ia seorang ummi (tidak pandai
membaca dan menulis), namun akalnya sangat cerdas, pendapatnya sangat jitu,
wajahnya berseri, lebih suka diam dari pada berbicara dan pandai bergaul.[1]
Thomas Carlyle menyebutnya “tahu hakikat segala sesuatu, bukan sebatas kulitnya
saja.”[2]
Kecerdasan Muhammad dapat dilihat bagaimana ia merencanakan, mengorganisasi,
melaksanakan dan mengendalikan gerakan perubahan sosialnya.[3]
Hamka juga mengartikan fathanah sebagai bijaksana dan dapat mengatur kekuatan
kaumnya. [4]
2. Keunggulan Kualitas Pribadi
Nabi
Muhammad memiliki kepribadian unggul dan sempurna dalam segala segi, fisik,
akal, budi pekerti dan adab sopan santun.[5]
Ia adalah manusia yang paling tinggi mutunya.[6]
Beberapa sifat dan karakter kepemimpinan yang penting pada diri Nabi Muhammad
antara lain;
Tidak
mementingkan dunia
Dia tidak
peduli pada dunia yang hanya sementara. Meski pintu-pintu kekayaan dunia di
timur dan di barat sudah berada di tanganya. Hidupnya sangat sederhana.
Makanannya hanya sekedar mengenyangkan perutnya, pakaiannya hanya sekedar yang
perlu dipakainya. Peninggalannya ketika wafat hanya sebilah pedang, seekor kuda
tunggangan dan tanah yang disedekahkan.[7]
Jurji
Zaidan menuliskan bahwa sebagian penulis sejarah menuduh bahwa Muhammad
menyiarkan agama karena menginginkan kebesaran dan kemegahan dunia. Padahal
sejarah hidup Muhammad itu cukup jelas untuk menunjukkan bahwa ia bekerja
dengan ikhlash. Sekiranya ada motivasi yag seperti dituduhkan itu, tentu ia
tidak akan kuat menerima siksaan orang-orang yang menolaknya.[8]
Thomas Carlyle menjelaskan ketulusan
hati dari orang yang agung adalah sesuatu yang tidak bisa diungkapkan. Bahkan
saya pikir orang itu sendiri tidak sadar akan ketulusan hatinya. Untuk apa
seseorang berlaku benar hanya untuk satu hari? Tidak, orang yang besar tidak
akan menyombongkan ketulusan hatinya sendiri.[9]
Jiwa yang besar yang pendiam: adalah orang yang walaupun tidak bisa, ia akan
bersungguh-sungguh karena sifat dasarnya membawa dia untuk berlaku
sungguh-sungguh. Sewaktu orang lain berpura-pura seolah-olah
bersungguh-sungguh, laki-laki ini tidak bisa berbuat demikian dan dia sendirian
dengan jiwanya dan kenyataan terhadap apa yang terjadi ... Kesungguhan telah
ada dalam kebenaran tuhan. Kata-kata dari laki-laki ini adalah suara hatinya
langsung tanpa berpura-pura. Orang-orang harus mendengarkan apa yang
dikatakannya daripada mendengarkan yang lain. Yang lain adalah bagaikan angin
lalu.[10]
Ambisi? Apa yang dilakukan oleh seluruh
orang Arab pada laki-laki ini. Dengan mahkota kerajaan Heraclius, Persia dan
semua mahkota di dunia Apa yang bisa mereka lakukan padanya? Itu bukanlah
tentang surga di atas dan neraka di bawah. Menjadi kepala suku di Makkah atau
Arab, dan mempunyai sebidang tanah- akankah itu menjadi keselamatan bagi
seseorang? Saya pikir tidak. Kita akan meninggalkan semuanya. Semua kekayaan
dan keberuntungan, semua akan kita tinggalkan juga."[11]
Kesetiaan dan Kebaikan Hati
Seorang laki-laki yang jujur dan setia.
Jujur dalam perbuatan, perkataan dan pemikirannya. Mereka mencatat bahwa beliau
selalu bersungguh-sungguh terhadap segala sesuatu. Seorang laki-laki yang
pendiam. Diam apabila tidak ada yang harus dikatakan, tetapi selalu bijak dan
tulus apabila berbicara. Selalu menerangi setiap persoalan. Ini adalah bagian
dari apa yang disebut perkataan yang bernilai.[12]
Ini adalah tentang kebaikan hati yang
tiada batasnya beliau tidak pernah lupa pada istri pertamanya
Khadijah. Lama setelah Khadijah meninggal, Aisyah merupakan istri muda beliau
yang tersayang, wanita yang berbeda dengan wanita-wanita lain karena budi
pekertinya yang luhur. Pada suatu hari, Aisyah yang pandai ini mengajukan
pertanyaan pada beliau, "Sekarang, apakah saya lebih baik daripada
Khadijah? Dia adalah janda, tua dan sudah tidak begitu cantik. Kamu lebih
mencintaiku dibandingkan Khadijah, bukan?"--"Tidak, demi
Allah!", jawab Rasulullah. "Demi Allah, tidak! Dia mempercayaiku
sewaktu orang-orang di dunia ini menjauhiku, hanya dialah teman baikku!"[13]
Tidaklah mudah menolak godaan syetan
untuk mengalahkan ego dari istrinya yang masih muda, cantik dan pandai, Aisyah
binti Abu Bakar Shiddiq. Mengapa tidak membiarkannya mendengar sanjungan yang
menyenangkan dirinya. Bahkan Khadijah-pun sudah tidak ada lagi sehingga tidak
mungkin sakit hati. Akan tetapi Rasulullah tidak mau berbohong. Perlakuan
seperti itu menunjukkan kepada kita bahwa beliau adalah orang yang mulia, yang
tetap tercatat sejak 40 abad yang lalu.
Keindahan
Akhlaq
Ia tidak suka dipuji, baik pujian pada
tempatnya, apalagi bukan pada tempatnya. Dua orang penyanyi mendendangkan lagu
menyebut-nyebut syuhada perang badar. Ketika mereka bersyair, “Ada Nabi di sisi
kami mengetahui yang terjadi esok”, Nabi menegur mereka: “Yang demikian jangan
diucapkan.”
Keramahan dan kasih sayangnya mencakup
segala orang. “Kasihanilah petinggi satu kaum yang jatuh hina,” demikian
sabdanya. Ketika seseorang begitu takut dan gemetar menghadapnya, ia
menenangkan orang itu sambil mengingat jasa ibunya: “Aku tidak lain adalah anak
seorang wanita suku Quraisy yang memakan dendeng.”
Sebagai penghormatan kepada orang lain,
ia mengulurkan tangan terlebih dahulu untuk bersalaman. Ia menoleh dengan
seluruh badannya, jika dipanggil orang. Ia menunjuk dengan seluruh jarinya, dan
tidak terlihat meluruskan kaki sambil duduk di tengah sahabatnya. Ia memanggil
mereka dengan panggilan mesra atau panggilan penghormatan, yakni dengan kunyah
(nama panggilan yang didahului oleh “Abu” atau “Ummu”).
Kemurahan dan kerendahan hati Nabi saw
sangat menonjol. Tidak pernah ada orang yang datang kepadanya meminta
pertolongan pulang dengan tangan kosong. Jika ia sedang tidak punya sesuatu
untuk diberikan, ia berjanji akan memberikannya ketika ia sudah punya sesuatu
yang dibutuhkan, dan pasti ditepatinya janjinya itu.
Daftar Pustaka
Abduh, Muhammad, 1995, Risalah Tauhid, alih Bahasa Firdaus AN, Bulan Bintang, Jakarta.
Arnold,
Thomas W, tt, The Preaching of Islam, (terj. Nawawi Rambe)
Jakarta: Widjaya.
Carlyle, Thomas, Heroes and Heroes Whorshipers,
Kuliah Umum Pada tanggal 8 Mei 1840.
Hamka,
1997, Sejarah
Ummat Islam, Pustaka
Nasional PTE LTD, Singapura,.
_______, tt, Pelajaran
Agama Islam, Bulan
Bintang, Jakarta.
[1] Hamka, 1997, Sejarah Ummat Islam, Pustaka Nasional PTE LTD,
Singapura, hal.134.
[2] Hamka, 1997, ibid, hal.137.
[3] Thomas Arnold, tt, The Preaching of Islam,
(terj. Nawawi Rambe) Jakarta: Widjaya.hal.29.
[4] Hamka, 1986, Pelajaran Agama Islam, Bulan Bintang, Jakarta,
hal.189.
[5] Muhammad Abduh, 1995, Risalah
Tauhid, alih Bahasa Firdaus AN, Bulan Bintang, Jakarta, hal.113.
[6] Muhammad Abduh, ibid,
hal.113.
[7] Hamka, op.cit,
hal.115.
[8] Hamka,1997, ibid, hal.135.
[9] Thomas Carlyle, Heroes and
Heroes Whorshipers, Kuliah Umum Pada tanggal 8 Mei 1840, hal.59.
[10] Thomas Carlyle, ibid,
hal.71.
[11] Thomas Carlyle, ibid,
hal.61.
[12] Thomas Carlyle, ibid,
hal.69.
[13] Thomas Carlyle, ibid, hal.76.