wahyu bhekti prasojo
Seperti kemarin dan hari-hari yang sudah berlalu, sore itu ia mengumpulkan upah pekerjaannya lalu membaginya menjadi dua. Setengahnya untuk menghidupi keluarganya, dan setengahnya lagi untuk bersedekah kepada orang-orang di sekitarnya.
Ia bukanlah orang
kaya. Pekerjaannya sebagai tukang kayu kecil, sesungguhnya tidaklah dapat
dikatakan cukup. Apalagi belakangan, kekuatan fisiknya mulai berkurang karena digerogoti
penyakit belang. Di tambah lagi, orang-orang juga memandanginya dengan jijik semakin
menyulitkannya untuk mempertahankan pelanggan.
Tetapi penyakitnya,
pekerjannya yang tak seberapa menghasilkan, dan kelemahannya tidak menghalanginya
untuk beramal demi Tuhannya. Setelah selesai urusannya membagikan sedekah,
seperti biasa Ia pergi ke goa rahasianya di luar kota Antiokhia[1], untuk beribadah kepada
Tuhannya.
Dulu, Ia suka menjelaskan
kepada kaumnya tentang agamanya dan menunjukkan cara beribadahnya kepada Tuhan,
serta memberitahu mereka bahwa tiada yang bisa mendatangkan manfaat atau pun
mudharat selain Allah.
Tetapi kini tidak
lagi karena tidak ada orang dari kaumnya yang percaya kepada keyakinannya.
Mereka tetap saja musyrik dan menyembah berhala. Bahkan mereka mulai mengecam
dan mengancamnya, jika ia terus mengajak mereka kepada iman yang benar. “Sesungguhnya
kami menjadi sial gara-gara ajakanmu kepada Tuhanmu”. Sungut mereka.
Jadilah ia sendiri
menjaga imannya dalam sunyi di rumahnya yang jauh di salah satu gerbang kota.
Sampai suatu ketika,
ia mendengar orang-orang mengatakan bahwa Nabi Isa telah mengirim 3 orang hawariyyun
beliau untuk menyadarkan Raja dan para penduduk dari kesesatan. Meski agak
ragu, mengapa untuk itu Allah tidak mengutus rasulNya, tetapi hatinya berbunga,
jiwanya seperti terbang. Panas terasa diwajahnya yang terbakar oleh bahagia.
Dengan bergegas ia mendatangi orang-orang saleh itu.
Untuk meyakinkan
hatinya, bahwa ini bukanlah mimpi, ia bertanya kepada mereka, “Apakah kalian
meminta upah atas apa yang kalian bawa?"
Mereka menjawab, "Tidak."
Yakinlah ia akan
berita baik itu. Ia lalu berkata kepada mereka, “Bersaksilah untukku tentang
apa yang aku katakan kepada kalian di hadapan Tuhan dan aku telah beriman serta
mengikuti kalian.”
Seperti mendapat
tenaga baru, ia berkata kepada kaumnya, “Ikutilah orang yang tidak meminta
upah atas nasihat yang diberikannya kepada kalian. Tidak ada yang mereka
inginkan dari kalian kecuali keselamatan kalian.”
Tetapi Raja dan
penduduk kota tak peduli pada ajakan itu. Mereka tetap pada kesesatan bahkan
menghina para utusan itu. Mereka juga berencana untuk menangkap dan membunuh
murid-murid Nabi Isa itu. Suatu rencana jahat yang dengan cepat menyebar dalam
bisik-bisik masyarakat kota.
Lelaki itu
merasa wajib untuk memperingatkan dan menolong para utusan itu supaya mereka dapat
terhindar dari bahaya. Sementara para utusan itu meloloskan diri, ia sendiri
menghadapi kaumnya, mengalihkan perhatian mereka sambil mengajak mereka beriman
kepada Allah.
Demi mengetahui
rencana mereka telah gagal, orang-orang menjadi marah. Sebagian orang mulai
melemparinya dengan batu sementara ia hanya berdoa berulang-ulang, “Ya
Allah, berilah petunjuk kepada kaumku. ya Allah berilah petunjuk kepada
kaurnku. ya Allall berilah petunjuk kepada kaumku”.
Doanya yang tulus tidak
meredakan kemarahan orang-orang. Mereka pun segera menerjangnya bersama-sama.
Tidak ada seorang pun yang membelanya padahal laki-laki itu dalam keadaan lemah
dan sakit. Mereka menginjak-injaknya. Sampai akhirnya mereka membunuhnya di
tempat itu, sedangkan laki-laki itu tetap dalam keyakinannya.
Dikatakan
(kepadanya): "Masuklah ke dalam surga". Ia berkata: "Alangkah
baiknya sekiranya kaumku mengetahui, apa yang menyebabkan Tuhanku memberi ampun kepadaku dan menjadikan aku
termasuk orang-orang yang dimuliakan".(Yaasin 26-27)
Dalam kematiannya
yang indah, ia masih juga berharap kebaikan bagi kaumnya. Lelaki itu bernama
Habib bin Mari.[2]
[1]
Muhammad ibnu Jarir Abu
Ja’far Ath Thabary, 1420/2000, Jami’ul Bayan fii Ta’wil Al Quran,
Muasasah Risalah, Juz 20, hlm.504.
[2]Muhammad ibnu Jarir Abu
Ja’far Ath Thabary, ibid, Juz 20, hlm.504
mabruk
ReplyDeleteآمين
ReplyDelete