Seorang Lelaki dari Ujung Kota Antiokhia - Saungpikir

Tuesday, July 26, 2022

Seorang Lelaki dari Ujung Kota Antiokhia





wahyu bhekti prasojo

Seperti kemarin dan hari-hari yang sudah berlalu, sore itu ia mengumpulkan upah pekerjaannya lalu membaginya menjadi dua. Setengahnya untuk menghidupi keluarganya, dan setengahnya lagi untuk bersedekah kepada orang-orang di sekitarnya.

Ia bukanlah orang kaya. Pekerjaannya sebagai tukang kayu kecil, sesungguhnya tidaklah dapat dikatakan cukup. Apalagi belakangan, kekuatan fisiknya mulai berkurang karena digerogoti penyakit belang. Di tambah lagi, orang-orang juga memandanginya dengan jijik semakin menyulitkannya untuk mempertahankan pelanggan.

Tetapi penyakitnya, pekerjannya yang tak seberapa menghasilkan, dan kelemahannya tidak menghalanginya untuk beramal demi Tuhannya. Setelah selesai urusannya membagikan sedekah, seperti biasa Ia pergi ke goa rahasianya di luar kota Antiokhia[1], untuk beribadah kepada Tuhannya.

Dulu, Ia suka menjelaskan kepada kaumnya tentang agamanya dan menunjukkan cara beribadahnya kepada Tuhan, serta memberitahu mereka bahwa tiada yang bisa mendatangkan manfaat atau pun mudharat selain Allah.

Tetapi kini tidak lagi karena tidak ada orang dari kaumnya yang percaya kepada keyakinannya. Mereka tetap saja musyrik dan menyembah berhala. Bahkan mereka mulai mengecam dan mengancamnya, jika ia terus mengajak mereka kepada iman yang benar. “Sesungguhnya kami menjadi sial gara-gara ajakanmu kepada Tuhanmu”. Sungut mereka.

Jadilah ia sendiri menjaga imannya dalam sunyi di rumahnya yang jauh di salah satu gerbang kota.

Sampai suatu ketika, ia mendengar orang-orang mengatakan bahwa Nabi Isa telah mengirim 3 orang hawariyyun beliau untuk menyadarkan Raja dan para penduduk dari kesesatan. Meski agak ragu, mengapa untuk itu Allah tidak mengutus rasulNya, tetapi hatinya berbunga, jiwanya seperti terbang. Panas terasa diwajahnya yang terbakar oleh bahagia. Dengan bergegas ia mendatangi orang-orang saleh itu.

Untuk meyakinkan hatinya, bahwa ini bukanlah mimpi, ia bertanya kepada mereka, “Apakah kalian meminta upah atas apa yang kalian bawa?"

Mereka menjawab, "Tidak."

Yakinlah ia akan berita baik itu. Ia lalu berkata kepada mereka, “Bersaksilah untukku tentang apa yang aku katakan kepada kalian di hadapan Tuhan dan aku telah beriman serta mengikuti kalian.”

Seperti mendapat tenaga baru, ia berkata kepada kaumnya, “Ikutilah orang yang tidak meminta upah atas nasihat yang diberikannya kepada kalian. Tidak ada yang mereka inginkan dari kalian kecuali keselamatan kalian.”

Tetapi Raja dan penduduk kota tak peduli pada ajakan itu. Mereka tetap pada kesesatan bahkan menghina para utusan itu. Mereka juga berencana untuk menangkap dan membunuh murid-murid Nabi Isa itu. Suatu rencana jahat yang dengan cepat menyebar dalam bisik-bisik masyarakat kota.

Lelaki itu merasa wajib untuk memperingatkan dan menolong para utusan itu supaya mereka dapat terhindar dari bahaya. Sementara para utusan itu meloloskan diri, ia sendiri menghadapi kaumnya, mengalihkan perhatian mereka sambil mengajak mereka beriman kepada Allah.

Demi mengetahui rencana mereka telah gagal, orang-orang menjadi marah. Sebagian orang mulai melemparinya dengan batu sementara ia hanya berdoa berulang-ulang, “Ya Allah, berilah petunjuk kepada kaumku. ya Allah berilah petunjuk kepada kaurnku. ya Allall berilah petunjuk kepada kaumku”.

Doanya yang tulus tidak meredakan kemarahan orang-orang. Mereka pun segera menerjangnya bersama-sama. Tidak ada seorang pun yang membelanya padahal laki-laki itu dalam keadaan lemah dan sakit. Mereka menginjak-injaknya. Sampai akhirnya mereka membunuhnya di tempat itu, sedangkan laki-laki itu tetap dalam keyakinannya.



Dikatakan (kepadanya): "Masuklah ke dalam surga". Ia berkata: "Alangkah baiknya sekiranya kaumku mengetahui, apa yang menyebabkan Tuhanku memberi ampun kepadaku dan menjadikan aku termasuk orang-orang yang dimuliakan".(Yaasin 26-27)

Dalam kematiannya yang indah, ia masih juga berharap kebaikan bagi kaumnya. Lelaki itu bernama Habib bin Mari.[2]



[1] Muhammad ibnu Jarir Abu Ja’far Ath Thabary, 1420/2000, Jami’ul Bayan fii Ta’wil Al Quran, Muasasah Risalah, Juz 20, hlm.504.

[2]Muhammad ibnu Jarir Abu Ja’far Ath Thabary, ibid, Juz 20, hlm.504

2 comments:


EmoticonEmoticon